Upaya Kingswood Capital Ltd (KCL) mencaplok status operator Wilayah Kerja (WK) Migas Langgak di Provinsi Riau dari BUMD milik Riau PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) Langgak disinyalir kuat sudah dilakukan sejak lama dan secara terstruktur serta masif melibatkan orang-orang berpengaruh hingga mafia peradilan kelas kakap.
Demikian diungkapkan Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi kepada Radar Aktual, Kamis (5/6/2025).
“Terakhir Country Manager KCL Effendi Situmorang melalui surat tanggal 19 Februari 2025 lalu mendesak Direktur Utama PT Sarana Pembangunan Riau untuk menunjuk KCL sebagai operator WK Langgak. Ia menyebutkan desakan itu sesuai Putusan Perkara Nomor 3895 K/Pdt/2024 tanggal 30 Oktober 2024,” ungkap Hengki.
Mengenai putusan perkara itu, Hengki mengutarakan, CERI telah memperoleh informasi bahwa dalam proses kasasi di Mahkamah Agung, KCL menggunakan jasa pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso.
“Sepak terjang kedua nama pengacara ini sudah terbongkar ke publik dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam praktek suap kepada hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan,” ungkap Hengki.
Hengki mengatakan, melihat sepak terjang kedua pengacara itu yang bahkan bisa mengorkestrasi pemberitaan dan penggalangan opini media dengan menabarkan fulus ke oknum redaksi media massa, maka bukan tidak mungkin putusan perkara antara KCL dan PT SPR serta PT SPR Langgak tersebut berbau suap kepada majelis hakim oleh Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso.
“Oleh sebab itu, untuk memastikannya, kita meminta Kejagung untuk bergerak cepat menindaklanjuti informasi keterlibatan Ari Bakri dan Marcella di kasus KCL ini,” ungkap Hengki.
Apalagi, lanjut Hengki, kasus antara KCL dan PT SPR dan PT SPR Langgak ini juga sempat mendapat perhatian BPKP, dimana pada 30 Desember 2014 BPKP Perwakilan Provinsi Riau menyampaikan laporan audit kinerja yang menyebutkan bahwa Kesepakatan Bersama tanggal 19 April 2010 antara PT SPR dan KCL berindikasi merugikan PT SPR karena PT SPR harus menanggung seluruh biaya joint study sebesar USD 400.000, PT SPR dan PT SPR Langgak harus menanggung seluruh signature bonus sebesar USD 1.005.000 dan seluruh performance bond senilai USD 1.000.000. Sedangkan hasil WK Langgak dibagi dua antara PT SPR dan KCL.
Akibat adanya temuan BPKP itu, sejak Maret 2015, PT SPR tidak lagi memberikan bagian PI 50% kepada KCL. Sejak saat itu KCL menuntut telah terjadi wanprestasi oleh PT SPR dan berdasarkan kesepakatan tanggal 19 April 2010 itu, jika PT SPR melakukan wanprestasi, maka PT SPR dan KCL sepakat menunjuk KCL sebagai operator WK Langgak.
“Menurut penelusuran CERI, kesepakatan bisnis minyak antara PT SPR dan KCL pun sudah salah sejak awal. Kesepakatan tahun 2010 yang ditandatangani Direktur PT SPR Rahman Akil di kala Gubernur Riau dijabat Rusli Zainal dengan KCL juga tak lepas dari campur tangan Menteri ESDM kala itu yang dijabat Purnomo Yusgiantoro. Kita tidak tau apakah deal kongkalikong apa yang mereka buat sehingga secara tidak masuk akal Direktur PT SPR kala itu menekan perjanjian yang justru menjerat leher PT SPR sendiri,” ungkap Hengki.
Tak hanya melakukan upaya gugatan hukum dengan memakai jasa pengacara yang kini terungkap sebagai tersangka penyuap hakim, KCL juga berniat menjerat dua petinggi PT SPR dan PT SPR Langgak dengan tuduhan tidak masuk akal, penggelapan.
“Tapu syukurlah pada akhirnya Mahkamah Agung menyatakan keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan dan memerintahkan pemulihan nama baik keduanya,” ungkap Hengki.
Hengki lebih lanjut membeberkan, sejak awal CERI sudah mengendus adanya keterlibatan pengusaha Migas Edi Yosfi dan Eka Chandra ada di balik sepak terjang KCL untuk berupaya menguasai WK Langgak melalui upaya mendepak PT SPR Langgak dari posisi operator WK Langgak.
“Jaringan oknum pengacara Ari Bakri dan Marcella Santoso ini juga rumornya banyak dikaitkan dengan Yohanes Eka Chandra dan AM Hendropryono. Ini santer disebut di obrolan-orolan warung kopi yang kami dengar belakangan ini,” ungkap Hengki.