News  

80.000 Koperasi Merah Putih, Gde Siriana: Berpotensi ‘Bom Waktu’ Kredit Macet Nasional Rp. 240 Triliun

Pemerintah telah meluncurkan program ambisius bernama Koperasi Merah Putih, dengan target pembentukan 80.000 koperasi desa di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, 60.806 koperasi telah terbentuk, dan seluruh koperasi dijadwalkan mulai operasional serentak pada 28 Oktober 2025. Peluncuran resminya sendiri digelar pada 12 Juli 2025 mendatang.

Setiap koperasi mendapatkan pinjaman sebesar Rp3 miliar dari bank-bank Himbara, dengan jangka waktu pengembalian selama enam tahun. Namun, di balik angka-angka fantastis ini, muncul kritik tajam dari sejumlah pihak, termasuk dari Direktur Eksekutif INFUS, Gde Siriana Yusuf.

“Kedengarannya keren ya? Tapi… lo yakin ini solusi buat rakyat? Atau ini cuma proyek lagi?” ujar Gde kepada Radar Aktual, Kamis (12/6/2025).

Gde menyebut program ini berpotensi menjadi “bom waktu” kredit macet nasional. Pasalnya, menurutnya, koperasi tidak bisa dibentuk secara instan hanya karena ada target politik dan kucuran dana.

Ia mengingatkan bahwa koperasi sejati dibangun atas tiga prinsip dasar:

-Berdasar kebutuhan bersama,

-Dibentuk dengan kesadaran anggota,

-Dijalankan dengan kepercayaan dan partisipasi.

“Koperasi bukan mie instan. Lo nggak bisa membangun koperasi cuma karena ada target dan dana,” tegasnya.

Banyak laporan di lapangan menunjukkan masyarakat masih bingung dengan model koperasi yang dipaksa tumbuh cepat, tanpa edukasi dan literasi yang memadai. Di beberapa daerah, legalitas koperasi dikejar-kejar secara serampangan, tanpa memastikan apakah para anggotanya memahami tujuan dan fungsi koperasi itu sendiri.

Jika seluruh target 80.000 koperasi tercapai dan masing-masing mendapat Rp3 miliar pinjaman, maka potensi kredit macet nasional bisa mencapai Rp240 triliun, jika tak dikelola dengan baik.

“Koperasi itu alat perlawanan ekonomi rakyat. Tapi kalau salah niat dan salah cara, dia bisa jadi alat elite buat bagi-bagi proyek,” ujar Gde, menyindir kemungkinan praktik politisasi dan patronase dalam implementasi program ini.

Ia juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memfokuskan dukungan pada koperasi-koperasi yang sudah eksis dan terbukti bertahan, namun selama ini kesulitan akses permodalan, digitalisasi, dan perluasan pasar.

“Kalau pemerintah serius bangun ekonomi rakyat, kenapa nggak bantu koperasi yang udah hidup aja?”

Gde menyimpulkan, kepercayaan masyarakat terhadap koperasi akan tumbuh jika pemerintah berhasil menunjukkan keseriusan membantu koperasi yang sudah jalan dan menghadirkan success story yang konkret.

“Gak keren kalau gak jadi anggota koperasi,” sindirnya tajam, mengacu pada tren “koperasi instan” yang justru berisiko menimbulkan krisis kepercayaan baru.