News  

Survei: RUU PPRT Paling Didukung Publik, UU TNI dan RUU Kejaksaan Picu Kontroversi

Pembahasan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) kembali menjadi perhatian publik. Survei terbaru dari National Kawula Survey (NKS) kuartal kedua 2025 yang dirilis oleh Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas (PP17) mengungkap adanya ketimpangan sikap antara masyarakat dengan para pengambil kebijakan di Senayan.

Masyarakat lebih condong mendukung RUU yang memperkuat perlindungan publik dan prinsip demokrasi, sementara mayoritas partai politik justru menunjukkan keseragaman arah yang sering kali bertolak belakang dengan suara publik.

Dari sejumlah RUU yang tengah dibahas, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) mendapat perhatian dan dukungan terbesar dari masyarakat. Sebanyak 42% responden menyatakan dukungannya terhadap RUU ini, yang dinilai penting untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan kepada pekerja rumah tangga kelompok yang selama ini belum memiliki payung hukum yang memadai.

Desakan agar RUU PPRT segera disahkan bukan hal baru. Kelompok masyarakat sipil telah lama menyuarakan pentingnya aturan yang melindungi pekerja rumah tangga dari potensi eksploitasi. Survei juga menunjukkan bahwa dukungan paling banyak datang dari wilayah Jawa, dengan 48% responden menyatakan setuju.

Momentum peringatan Hari Buruh pada 1 Mei lalu menjadi sorotan setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk mempercepat pembahasan RUU PPRT. Dalam pernyataannya, ia menegaskan, “RUU tersebut akan segera dibahas di DPR sehingga dapat selesai tidak lebih dari tiga bulan.”

Meski demikian, tidak semua responden sepenuhnya mendukung. Sekitar 24% menyuarakan kekhawatiran bahwa keberadaan UU ini bisa menggeser relasi kerja berbasis kekeluargaan menjadi hubungan formal yang berpotensi menimbulkan gesekan. Persepsi ini lebih banyak datang dari kalangan laki-laki (29%).

UU TNI dan RUU Kejaksaan Dianggap Problematis

Sementara RUU PPRT mendapatkan dukungan positif, revisi terhadap UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kontroversi tajam. Maret lalu, aksi penolakan terhadap perubahan UU ini mencuat ke permukaan, dipicu oleh kekhawatiran soal perluasan peran TNI di wilayah sipil dan pengaruhnya terhadap netralitas serta profesionalisme militer.

Meski DPR beralasan bahwa revisi UU TNI dibutuhkan demi menyesuaikan dengan tantangan keamanan terkini, publik tak sepenuhnya sependapat.

Sekitar 48% responden menyatakan penolakan terhadap perubahan tersebut. Penolakan ini lebih besar di kalangan masyarakat yang merasa kinerja pemerintah buruk, yakni mencapai 61%.

RUU Kejaksaan juga tak luput dari sorotan publik. Draf undang-undang yang ditujukan untuk memperkuat institusi Kejaksaan ini justru dikhawatirkan memberi ruang terlalu besar bagi jaksa tanpa pengawasan yang ketat. Fitur kontroversial seperti hak imunitas dianggap berpotensi menciptakan impunitas hukum.

47% masyarakat menganggap bahwa peningkatan kewenangan tersebut bisa membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Mayoritas penolakan datang dari laki-laki (52%), sementara perempuan cenderung lebih netral.

RKUHAP dan RUU ASN: Kekhawatiran terhadap Potensi Penyalahgunaan

Perubahan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) juga tak luput dari kritik. Hanya 26% responden yang menyatakan setuju dengan revisi tersebut. Isu utama yang menjadi perhatian adalah pembatasan akses bantuan hukum serta ketentuan penyadapan yang belum jelas dan rawan disalahgunakan.

Adapun dalam RUU Aparatur Sipil Negara (ASN), usulan yang memberi Presiden wewenang langsung dalam pengangkatan dan pemberhentian ASN turut menimbulkan kekhawatiran soal independensi birokrasi. Sebanyak 36% responden menolak usulan ini, dengan proporsi laki-laki (41%) yang lebih menonjol dalam penolakan dibanding perempuan (37%). Di Sumatera, sebanyak 44% masyarakat cenderung memilih tidak mengambil sikap.

Indeks Keselarasan Partai Politik dengan Publik Terus Menurun

Salah satu temuan penting dalam survei NKS Q2 2025 adalah menurunnya indeks keselarasan antara partai politik dan aspirasi masyarakat. Indeks ini mengukur sejauh mana posisi partai politik di parlemen mencerminkan pandangan publik. Partai Demokrat dan NasDem berada di posisi teratas dengan indeks 37,8, disusul oleh PKB dengan skor 37,6. Namun demikian, dibandingkan kuartal sebelumnya, tren indeks ini menurun tajam.

Peneliti CSIS, Nicky Fahrizal, menjelaskan bahwa fenomena ini tidak terlepas dari dominasi eksekutif dalam proses legislasi. “Kecenderungannya jelas, anggota DPR dan partai politik lebih banyak memainkan kepentingan eksekutif daripada publik. Pengaruh eksekutif yang sangat besar ini membuat DPR hanya menjadi instrumen untuk mengesahkan kepentingan presiden atau eksekutif,” jelas Nicky.

Ia menambahkan bahwa meski dalam sistem demokrasi tidak semua suara publik bisa diakomodasi, ruang partisipasi seharusnya tetap dijaga. Menurutnya, proses penyusunan kebijakan di Indonesia saat ini justru mempersempit ruang publik tersebut.

Maria Angelica, program manager dari Kawula17, turut menegaskan pentingnya mengutamakan suara rakyat. Ia menyampaikan, “di tengah berbagai isu krusial yang menyentuh hajat hidup orang banyak, suara publik yang menginginkan perlindungan dan keadilan harus menjadi prioritas utama,” ucapnya, seperti dikutip dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).

Maria menekankan bahwa jika ketidaksesuaian antara kebijakan dan aspirasi masyarakat terus dibiarkan, maka potensi apatisme dan ketidakpercayaan publik terhadap proses politik akan semakin besar.

“Oleh karena itu, sinergi antara aspirasi rakyat dan kebijakan yang dihasilkan menjadi kunci untuk menciptakan legislasi yang benar-benar transformatif dan berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat,” tutupnya. (Sumber)