Pemerintah akhirnya mencabut 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, menyusul pelanggaran serius terhadap aturan lingkungan. Salah satu IUP yang dicabut adalah milik Agung Sedayu Group (Aguan), konglomerat yang disebut-sebut memiliki jaringan bisnis besar di kawasan elit Pantai Indah Kapuk (PIK).
Pernyataan resmi pencabutan disampaikan langsung oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, didampingi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri LHK Hanif Faisal Nurofik, dan Menteri Kehutanan Raja Juli, di Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
Keempat IUP yang dicabut antara lain:
-PT Anugrah Surya Pratama (ASP)
-PT Nurham
-PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
-PT Mulia Raymond Perkasa (MRK)
Pencabutan ini menjadi pukulan telak terhadap eksploitasi tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat yang telah lama menuai kontroversi. Penambangan nikel dinilai mengancam keindahan alam dan kelestarian Geopark Raja Ampat, salah satu dari tujuh situs Geopark yang diakui UNESCO di Indonesia.
Yang paling menyita perhatian publik adalah pencabutan izin PT KSM, yang berdasarkan data AHU Kemenkumham, tercatat dimiliki oleh Susanto Kusuma (kerabat Aguan), serta dua putra Aguan: Richard Halim Kusuma dan Alexander Halim Kusuma. PT KSM terindikasi membuka tambang di luar wilayah konsesi IUP, yakni seluas 5 hektar, melanggar perizinan yang diberikan pemerintah.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Nurofik menegaskan, temuan ini menjadi bukti bahwa pengelolaan tambang oleh KSM tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga membahayakan ekosistem kawasan hutan pulau Kawe.
Ketua Umum Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB), Erick Sitompul, menyatakan dukungan penuh atas langkah pemerintah. “Kawasan Raja Ampat adalah warisan dunia. Siapa pun yang merusaknya, baik korporasi asing atau konglomerat lokal, harus ditindak tegas,” ujar Erick kepada Radar Aktual, Jumat (13/6/2025).
Ia menyebut bahwa sistem pertambangan “open mining” yang merajalela saat ini sangat tidak ramah lingkungan. Apalagi bila dijalankan oleh kelompok usaha yang menurutnya “sering mengabaikan hak masyarakat adat dan minim kepedulian lingkungan.”
“Ini bukan hanya soal tambang, ini soal masa depan ekosistem laut dan hutan tropis terakhir yang kita punya. Kalau terus dibiarkan, kita akan kehilangan Raja Ampat yang merupakan hamparan terumbu karang terbesar dan terkaya di dunia,” tegas Erick.
Langkah tegas pemerintah tak lepas dari tekanan publik, terutama dari aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia dan tokoh masyarakat adat Papua Barat, yang sejak awal menolak penambangan nikel di pulau-pulau Raja Ampat. Mereka menegaskan bahwa kawasan tersebut harus dijaga sebagai destinasi pariwisata ekologis dan wilayah sakral masyarakat adat.