News  

Mahfud MD: MK Membuat Kerumitan Hukum

Mahfud MD ((ST)

Polemik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah terus terjadi. Terlebih, putusan itu dikhawatirkan justru menimbulkan banyak masalah.

Kendati menimbulkan perdebatan, semua pihak menyadari bahwa putusan MK tersebut bersifat final, sehingga apapun alasannya, pemerintah dan DPR harus melaksanakannya.

Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD bahkan menyarankan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang melaksanakan putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal, meski menimbulkan kerumitan baru.

Mahfud mengatakan bahwa putusan MK, termasuk Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, bersifat final dan mengikat sehingga tetap harus dilaksanakan.

“Putusan itu tidak boleh tidak, harus dilaksanakan, putusan MK ini menurut saya harus diterima meskipun menimbulkan kerumitan hukum baru,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis, Rabu (9/7/2025).

Mahfud memandang putusan MK yang amarnya memerintahkan pemilu DPRD dan kepala/wakil kepala daerah 2 atau 2,5 tahun digelar sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden mulai tahun 2029 berpotensi menimbulkan permasalahan.

Dengan adanya putusan itu, katanya, jabatan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia akan mengalami kekosongan.

Meskipun dapat diangkat penjabat kepala daerah, hak demokrasi dikhawatirkan terampas karena masa jeda bisa hingga 2 tahun 6 bulan.

“MK telah membuat kerumitan hukum, saya melihatnya juga MK terlalu masuk ke open legal policy, seharusnya hal itu tidak diatur oleh MK, masalah jadwal masalah apa, mestinya urusan pembentuk undang-undang,” tuturnya.

“Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy, banyak, tetapi kalau betul-betul melanggar UUD, kalau ini, apa, tidak ada pelanggaran hukumnya,” lanjut mantan ketua MK itu.

Menko Polhukam di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu juga menyoroti konstruksi hukum jadwal pemilihan kepala daerah yang sudah berkali-kali diuji ke Mahkamah.

Pada 2004, katanya, sudah ada Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa pemilu yang demokratis yang berlaku bagi pilkada bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

“Dengan adanya putusan MK bisa liar loh ini, bisa muncul lagi, ‘Sudah, kalau begitu kita kembali ke DPRD saja, wong itu dulu sudah didukung dan sudah berjalan.’ Bisa karena kata MK itu bisa langsung atau tidak langsung itu sama konstitusionalnya. Jangan-jangan bisa liar ke situ nanti,” ujar Mahfud.

Sementara itu, mengenai jenis-jenis pemilihan yang konstitusional, Mahmud menyebut MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 memutuskan bahwa pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu anggota lembaga perwakilan, yakni DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan secara serentak mulai 2019.

Namun, melalui putusan terbarunya, Mahmud menilai MK inkonsisten, memasuki ranah kebijakan hukum terbuka, dan berpotensi memicu kegaduhan politik.

“Tetapi kita tetap harus bersikap konstitusionalis. Putusan MK ini harus dilaksanakan, dalam arti harus segera dibuat undang-undang, apa pun ujung dari undang-undang itu, apakah ke yang semula Putusan Nomor 72 atau ke ujung yang lain, itu perdebatan di lapangan politik,” ujarnya mengingatkan. (Sumber)