News  

Andai Berbagi Kesejahteraan Semudah Membagi Kekuasaan

Ilustrasi Berbagi

Kekuasaan? Jika ditawarkan, rasanya tidak akan ada yang menolak. Kalaupun menolak, pasti orang itu jauh lebih menguasai dirinya sendiri dibanding mencoba berkuasa atas orang lain.

Persoalan kekuasaan ini yang seringkali ditunjukkan ke hadapan publik secara telanjang oleh penguasa yang berkepentingan di atasnya. Di Indonesia, pembagian kekuasaan ini dimulai dari berbagi kursi Pimpinan DPR, Pimpinan MPR, sampai berbagi kursi-kursi untuk diduduki para menteri.

Belum lagi jika menghitung porsi pembagian untuk komisaris BUMN, penunjukkan duta besar, sampai pada badan-badan adhoc yang nantinya akan dibentuk. Namanya berbagi, pasti akan baik tujuannya, anggaplah kita sepolos itu.

Tapi sebentar! Pembagian ini untuk kemaslahatan siapa? Kepentingan apa dan cara yang bagaimana? Pentingkah untuk kita pahami kalau apa yang dibagi di atas meja kekuasaan, bisa jadi tidak akan pernah sampai dinikmati oleh rakyat yang sedang meringkuk di bawah kasur penderitaan?

Atau itu hanya pandangan skeptis saya? Namun yang jelas, pola pembagian kekuasaan seperti yang ditunjukkan pemerintahan Jokowi di periode kedua ini sangat patut bagi kita semua untuk mendapatkan penjelasan.

Salah satu pembagian yang sempat menjadi polemik adalah mengenai jumlah kursi Pimpinan MPR RI, yang dibahas melalui revisi UU MD3 di akhir masa jabatan MPR periode 2014-2019.

Melalui UU MD3, saat itu disepakati mengenai penambahan kursi Pimpinan MPR. Dari yang sebelumnya hanya 5 pimpinan menjadi 8 orang sebagai Pimpinan MPR.

Tidak puas berhenti di situ, wacana penambahan kursi Pimpinan MPR terus bergulir.

Sampai dengan sekarang, UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang telah dua kali mengalami revisi sejak pengesahannya di tahun 2018, menghasilkan peraturan bahwa kursi Pimpinan MPR berhak diduduki oleh semua partai di DPR dan utusan daerah (DPD).

Artinya, jumlah pimpinan MPR kini menjadi 10 kursi, dengan komposisi, 9 utusan partai di DPR dan 1 orang utusan DPD.

Yang patut kita pertanyakan adalah, Apa essensi dari penambahan kursi Pimpinan MPR? Kalau kita fair, penambahan kursi Pimpinan MPR sama sekali tidak memiliki fungsi strategis baik secara peningkatan peran, efektifitas kinerja lembaga maupun bagi masyarakat secara langsung.

Persoalan penambahan kursi Pimpinan MPR, murni dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dengan mengedepankan prinsip berbagi. Sungguh baik hati elit politik kita. Karena berbagi adalah kunci. 

Eksekutif Tak Mau Kalah, Berbagi Sebagai Wujud Baik Hati 

Dalam matematika, kita akan selalu menemukan pola-pola perhitungan dengan cara, penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Bagaimana kalau pola perhitungan itu diterapkan di politik?

Maka pengurangan dan pembagian seharusnya tidak pernah ada sama sekali, yang ada hanyalah penambahan dan perkalian. Lalu prinsip berbagi untuk kursi Pimpinan MPR itu? Faktanya tidak ada jatah yang berkurang akibat dibagi-bagikan.

Justru anggaran membengkak guna mengakomodir kepentingan dan segala fasilitas dari adanya penambahan kursi, untuk Pimpinan MPR misalnya.

Mirisnya, bukan hanya legislatif, sepertinya sindrom ‘latah’ yang mengedepankan prinsip berbagi untuk kebaikan dalam spektrum kekuasaan sudah menjalar sampai tingkatan eksekutif.

Mengenai persoalan ini, saya ingin memberi penebalan pada cara pemerintahan Jokowi berbagi kursi, utamanya pada posisi menteri.

Pertama, Joko Widodo sebagai Presiden RI sangat berbaik hati memberikan kursi kepada Prabowo Subianto yang notabene adalah lawan politiknya, pada Pemilu 2019.

Pasalnya, Prabowo Subianto adalah Ketua Umum Partai Gerindra, partai yang 5 tahun terakhir menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan di tingkatan legislatif.

Meski terminologi oposisi tidak ada dalam sistem politik Indonesia, minimal kita ketahui kalau Gerindra mempunyai posisi yang senantiasa berlawanan dengan arah kebijakan pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada periode 2014-2019 lalu.

Namun untuk yang kesekian kalinya, saya ingin berbaik sangka, kalau fenomena bergabungnya Prabowo Subianto ke dalam pemerintahan Jokowi periode kedua ini merupakan essensi dari rasa cinta Ketua Umum Partai Gerindra tersebut kepada Indonesia.

Toh nantinya apa yang didapat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan akan dibagikan kepada rakyat Indonesia, jika tidak cukup dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia, minimalnya kader Partai Gerindra akan turut merasakan.

Kedua adalah pembagian kursi wakil menteri. Banyak yang kemudian mengatakan, dalam persoalan pembagian kursi wakil menteri, Presiden Joko Widodo sudah kelewat baik cara berbaginya.

Saat Presiden Joko Widodo menjabat di periode 2014-2019, hanya terdapat 3 posisi untuk Wakil Menteri (Wamen), yakni Arcandra Tahar sebagai Wamen ESDM, Mardiasmo sebagai Wamenkeu, dan Abdurrachman Mohammad Fachir sebagai Wamenlu.

Sedangkan sekarang, Presiden Joko Widodo memiliki 12 Wamen untuk 11 pos kementerian. Dari dua belas figur tersebut, ada lima orang yang merupakan bagian dari partai politik dan tujuh orang lainnya memiliki latar belakang profesional.

Lalu bagaimana dengan proyeksi kinerja kementerian yang memiliki menteri dan wakil menteri? Tidakkah ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang selalu didengungkan Presiden Joko Widodo?  

Berbagi Kesejahteraan adalah Menjaga Keseimbangan Politik Sesungguhnya

Mungkin kita bisa belajar pada era Presiden SBY di periode kepemimpinannya yang kedua. Saat itu, terdapat 18 wakil menteri di kabinet, kurang lebih kondisinya mirip seperti saat ini, penguasa memiliki koalisi yang gemuk dan rata-rata semuanya minta diakomodir.

Pada akhirnya, mereka tidak memiliki kontribusi positif yang signifikan terhadap berbagai indikator keberhasilan program pemerintah.

Lalu untuk apa Presiden Jokowi memiliki banyak Wamen jika dampaknya tidak bisa berikan kontribusi yang positif? Ya, namanya juga usaha. Lagipula mereka belum bekerja kan, jadi kita tidak tahu, seberapa jauh mereka akan membalas posisi yang diberikan dengan ganjaran terhadap keberhasilan.

Maka saya mencoba adil pada harapan yang disematkan, bahwa keberadaan para Wamen ini akan mampu memberikan dampak yang signifikan nantinya.

Tetapi satu hal menjadi catatan saya, dengan banyaknya Wamen dan komposisi menteri yang turut mengakomodir Partai Gerindra, keseimbangan politik adalah hal paling lumrah yang bisa dijangkau pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Artinya, dengan postur kabinet yang gemuk seperti sekarang, sasaran paling dekat serta harapan paling optimis tentu adalah keseimbangan politik yang akan berdampak pada stabilitas nasional.

Jika kondisi nasional stabil, maka ekonomi juga akan tumbuh dengan harapan akan minus hambatan. Stabilitas politik adalah pangkal yang seharusnya memang dibenahi.

Namun, persoalan stabilitas politik bagi saya tidak melulu harus dititikberatkan pada pembagian kekuasaan yang merata. Lebih penting daripada itu, persoalan pembagian kesejahteraan kepada rakyat ada di atas segalanya.

Terkadang alibi ini pula yang digunakan para politisi untuk mereguk kekuasaan. Seringkali menurut mereka, “justru dengan berbagi kekuasaan seperti ini nantinya, saluran pembagian kesejahteraan akan lebih merata.”

Rasanya hal itu tidak menjamin, kecuali pembagian kesejahteraan yang dimaksud terbatas pada kelompok serta golongannya saja.

Lalu kenapa untuk membagi-bagi kesejahteraan kepada rakyat saja harus ada syarat membagi-bagi kekuasaan? Untuk pertanyaan satu ini, saya tidak memiliki jawabannya.

Tetapi sebagai negara demokrasi, berbagi kekuasaan adalah keniscayaan. Prinsip dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat adalah benar adanya dalam sistem demokrasi. Toh elit politik juga merupakan bagian dari rakyat, tetapi bagian yang diprioritaskan.

Prioritas yang dimaksud seperti, prioritas untuk menjangkau penggunaan anggaran negara, program pemerintah, ataupun prioritas jaminan kehidupan.

Sebegitu sulitnya kah memunculkan stigma bahwa bukan penguasa atau elit politik yang harus jadi prioritas, tetapi rakyat kebanyakan yang selama Pemilu sudah kenyang menjadi barang dagangan?

Sebenarnya tidak sulit juga untuk membagikan kesejahteraan pada rakyat. Asal sekolah gratis, biaya berobat gratis, kebutuhan bahan pangan terjangkau, pendapatan di atas UMR, hal itu sudah sangat cukup guna menumbuhkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Lalu apa sulitnya? Padahal katanya negara kita negara kaya, sumber daya melimpah, lalu di mana masalahnya?

Berpikir di mana masalahnya ini lebih sulit dibanding mencetuskan solusi atas masalah. Terlalu banyak benang kusut yang mengitari keinginan agar rakyat Indonesia senantiasa sejahtera.

Kesulitan mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat agaknya berbanding terbalik dengan betapa mudahnya memberi posisi dan menambah berbagai postur pemerintahan secara struktural. Bahkan, ada wacana lagi untuk menambah jumlah wakil menteri.

Sedangkan untuk rakyat, juga ada wacana mengenai penambahan. Yakni penambahan beban negara untuk dipikul bersama oleh rakyat dengan cara menaikkan tarif BPJS Kesehatan, menaikkan TDL tahun 2020, dan tarif tol. Sama-sama memiliki prinsip berbagi bukan?

Sepertinya memang berbagi kekuasaan lebih mudah, tinggal telfon, senyum sana sini, dekati pemilik partai, esoknya akan kebagian berkuasa.

Penguasa juga hanya tinggal menikmati siapa yang paling pintar memuji hingga hatinya terbang lupa daratan, maka dialah yang dianggap bisa menjalin kedekatan bahkan diamanahi kekuasaan.

Sedangkan rakyat? Sudah senyum saban hari sampai gigi mengering, berbicara dengan niat silaturahmi sampai habis bercangkir kopi, sudah remuk pula tulang punggung kebanyakan bekerja, esoknya masih berpikir, apakah bisa uang hari ini membeli lauk untuk makan? Atau harus berteman dengan obat sakit maag lagi? Sialnya.

Opini Ditulis Oleh

Elang Galuh

Penulis dan Pemerhati Sosial Politik Kemasyarakatan