News  

Omnibus Law, Karpet Merah Untuk Taipan Batubara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya menuntaskan rancangan undang-undang (RUU) sapu jagad atau omnibus law. Salah satunya adalah omnibus law yang mengatur tentang Cipta Lapangan Kerja.

“Saya minta RUU selesai dalam minggu ini,” ujar Jokowi tegas, dalam rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu kemarin (16/01/2020).

Tidak banyak yang tahu, RUU yang mengatur banyak hal dan sektor ini juga berimbas ke sektor mineral dan batu bara.

Dalam dokumen yang diterima CNBCIndonesia, baik berupa daftar rancangan maupun resume analisis kelompok kerja hukum perusahan tambang nasional, RUU Cipta lapangan kerja berdampak pada 24 pasal UU Minerba dan terdapat 6 pasal tambahan.

Rincinya; mengubah 9 pasal UU Minerba, menghapus 15 pasal UU Minerba, dan menambah 6 pasal baru.

Pasal yang diubah, dihapus, dan ditambah ini adalah pasal-pasal krusial dalam UU Minerba. Pasal yang jika dibedah lebih dalam mengatur Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Contohnya adalah Pasal 76 UU Minerba yang mengatur tentang IUPK, dinyatakan dihapus.

Perlu dicatat sejarahnya, IUPK merupakan istilah yang dibuat oleh pemerintah untuk mengubah status pertambangan yang semula berbasis rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Berlaku untuk pertambangan mineral maupun batu bara.

Pada rezim kontrak, kontraktor raksasa mineral disebut Kontrak Karya (KK) seperti Freeport, Vale, Amman Mineral, dan lainnya. Sementara, kontraktor batu bara raksasa disebut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) seperti Adaro, KPC, Arutmin, dan lainnya.

Jika mengikuti Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009, KK dan PKP2B yang habis masa kontraknya akan berubah menjadi IUPK.

Namun, dengan kehadiran Omnibus Law ini, istilah IUPK menghilang atau dihapus. Terminologi IUPK berganti menjadi Perizinan Berusaha Pertambangan Khusus (PBPK).

Pertanyaannya adalah, apakah PBPK sama dengan IUPK namun hanya berganti istilah saja? Ternyata tidak sama.

Dokumen yang diterima CNBC Indonesia membedah perbedaan antara IUPK dan PBPK, dua hal paling kunci dalam perbedaan tersebut adalah pengaturan soal luas wilayah produksi dan perpanjangan jangka waktu operasional tambang.

Omnibus Law mengatur luas wilayah Operasi Produksi pada PBPK tak lagi dibatasi. Tidak seperti IUPK pada UU Minerba yang dibatasi di angka 25 ribu hektare.

Penentuan luas wilayah ditentukan berdasar evaluasi pemerintah terhadap rencana kerja yang diajukan oleh pelaku usaha.

Kedua adalah soal penentuan perpanjangan kontrak, baik bagi kontrak karya maupun PKP2B yang nantinya akan menjadi PBPK tak memerlukan lelang. Luas wilayah tambang mereka akan disesuaikan dengan rencana kerja yang telah disetujui pemerintah. Hal ini, nantinya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Dua ketentuan ini jelas berbeda dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, termasuk ketentuan PP 77/2014 yang mengatur luas wilayah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan yaitu 25 ribu hektare untuk mineral, dan 15 ribu hektare untuk batu bara.

Di ketentuan aturan sebelumnya juga diatur PKP2B yang habis masa kontraknya, sebelum menjadi IUPK bisa dimiliki oleh BUMN dan atau BUMN dengan cara lelang atau prioritas.

Perlu dicatat, saat ini ada 9 PKP2B generasi I yang memiliki luas melebihi 23 ribu hektare, dan sempat menjadi incaran BUMN kala digawangi Menteri Rini Soemarno pada tahun lalu.

9 PKP2B tersebut adalah;
1. Arutmin 70.153 hektare
2. Kaltim Prima Coal 90.000 hektare
3. Berau Coal 118.400 hektare
4. Borneo Indobara 24.100 hektare
5. Adaro 31.379 hektare
6. Indominco Mandiri 25.121 hektare
7. Kideco Jaya Agung 50.921 hektare
8. Multi Harapan Utama 46.063 hektare
9. Tanito Harum 34.583 hektare

Terkait hal ini, para pengusaha batu bara yang berada di bawah Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) belum mau berkomentar banyak.

“Intinya kami belum bisa berkomentar banyak, karena belum tahu info resmi sehingga kami menyerahkan ke pemerintah sebagai regulator. Kami yakin pemerintah sangat memahami urgensi dari isu tersebut sehingga kami serahkan opsi terbaik yg akan diambil pemerintah,” kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, dalam pesan singkatnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, khususnya Direktorat Mineral dan Batu Bara juga belum mau bersuara soal isu omnibus law dan perpanjangan operasi PKP2B yang hampir pasti.

Sementara 7 tambang raksasa bakal habis masa kontraknya dalam waktu dekat, Kementerian ESDM hanya menyatakan akan ikut aturan yang ada. Pernyataan terakhir dilontarkan oleh Dirjen Minerba Bambang Gatot yang mengatakan dari 7 tambang tersebut, baru satu yang sudah ajukan perpanjangan yakni Arutmin pada November silam.

“Belum ada, ya (cuma Arutmin),” ungkap Bambang singkat, akhir Desember lalu.