News  

Untung Bu Risma Bukan Gubernur DKI Jakarta

Andai saja hari-hari ini Tri Rismaharini (Risma) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta,
bisa dibayangkan apa yang terjadi.
Polisi dipastikan bakal kewalahan.
Saking banyaknya netizen yang dilaporkan dan harus ditangkap.

Penjara bakal penuh.
Beban negara c/q Depkumham bakal kian berat menampung dan harus memberi makan para “penghina” Risma.

Gegara dianggap menghina Risma.
Menyebut Risma seperti “kodok betina” di media sosial,
Dzikria Dzatil asal Bogor, Jawa Barat
dicokok dan digelandang polisi ke Surabaya.

Ibu tiga orang anak, termasuk seorang balita yang masih harus disusui itu harus meringkuk di penjara menunggu persidangan.

Ya..
Dzikria melalui unggahan di akun facebooknya memajang foto Risma tengah duduk di tepi sebuah sungai (kolam?)
dengan komentar
“Anjirrrrr…. asli ngakak habis…. nemu nih sang legendaris kodok betina.”

Unggahan ini ternyata membuat Risma berang.
”Terus terang, itu pribadi saya, karena saya kalau kodok, berarti orangtua saya kodok. Saya tidak ingin orangtua saya direndahkan,” ujar Risma kepada wartawan.

Anehnya masalah pribadi itu dibawa-bawa menjadi urusan dinas.
Dia memberi kuasa Kepala Biro Hukum Pemkot Surabaya mengadukan Dzikria ke polisi.

Langkah Risma inilah yang kemudian banyak disoal.
Sejumlah aktivis melaporkan Risma kelembaga Ombudsman. Dia dinilai telah nenyalahgunakan kewenangan ( abuse of power ).

Penghinaan seperti dituduhkan oleh Risma adalah delik aduan.
Sudah seharusnya bila memang merasa terhina,
Risma sendiri lah yang mengadukan.
Bukan menggunakan biro hukum yang nota bene dibiayai oleh uang pajak rakyat.

( Tidak siap menjadi pejabat publik )
Banyak yang menilai Risma tidak / belum siap menjadi pejabat publik.

Baperan dan emosional.
Video dan link berita Risma memaki-maki bawahannya dengan kata-kata kasar kembali beredar luas di medsos.

Publik lantas membanding-bandingkan sikap Risma dengan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Dibandingkan dengan Anies, pem-buly-an terhadap Risma gak ada apa-apanya.
Bagi Anies tiada hari, tanpa bully.

Rasanya terlalu banyak olok-olok yang disematkan kepada Anies.
Mulai dari plesetan Gubernur menjadi “Gakbener”
sampai yg lebih sadis lagi.
You Name it!

Foto resmi Anies dengan pakaian dinas pernah dirusak. Wajahnya dibuat seperti Joker. Seorang penjahat psikopat berwajah badut yg tampil dalam serial komik Batman.

Reaksi Anies sangat berbeda dengan Risma.
Dia hanya tersenyum dan mengaku tidak akan pernah melaporkan para penghinanya ke polisi.
Setiap warga negara, menurutnya berhak menyampaikan kritik.
Seorang pejabat publik harus mau dikritik, harus. Bahkan dicaci maki pun harus biasa-biasa saja.
Gak boleh baper.

“Kalau di wilayah publik jangan minta dipuji saja.
Di wilayah publik itu harus siap dicaci maki,
diminta turun atau naik.
Itu prinsipnya sama.
Dicaci tidak tumbang, dipuji tidak terbang,”
tegas Anies.

Wajar bila publik kemudian membanding-bandingkan dengan Anies.

Di kalangan pendukung pemerintah,
Risma tampaknya didorong-dorong menjadi kompetitor Anies di Jakarta.
Foto-foto dan Risma yg terkesan “merakyat” beredar luas di medsos.
Risma terlihat tengah mengatur lalu lintas di tengah derasnya hujan.
Aksinya mengecek saluran gorong-gorong ketika kota Surabaya tengah kebanjiran, sampai foto yg kemudian dikomentari Dzikria.

Para penentang Anies mengusung narasi
bila Risma menjadi Gubernur DKI Jakarta,
dia akan menjadi “Goodbener.”
Beda dengan Anies.

Risma sendiri tampaknya juga menunjukkan intensi yg sama. Secara tidak langsung dia menyerang Anies dengan menyatakan buruknya kualitas udara di Jakarta.
“Banyak warga Jakarta pindah ke Surabaya karena anaknya asma. Begitu ke Surabaya mereka enggak sakit lagi,” kata Risma saat jadi pembicara di Forum Indonesia Millenial Summit 2020 di Gedung Tribrata, Jalan Dharmawangsa, Jakarta (17/1/2020).

“Sayangnya klaim Risma ternyata salah”.
Media menunjukkan kualitas udara Jakarta lebih baik dibanding Surabaya.
Hal itu merujuk pada Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Indeks (AQI) dan polusi udara berdasarkan situs Airvisual.

Dari sisi personal branding kasus Dzikria jelas menjadi nilai minus bagi Risma.

Sangat merugikan dan bisa menjadi penghalang ambisinya. Bila benar dia disiapkan dan ingin mendaki posisi lebih tinggi, termasuk sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Sikapnya yg temperamental. Tak bisa mengendalikan emosi di depan publik, menjadi angka merah di tengah branding dan marketing politik Keberhasilannya membenahi kota Surabaya.

Yang perlu disadari oleh Risma dan para pendukungnya,
bagi sebagian besar warga Jakarta,
kenangan buruk bersama Ahok masih sulit dilupakan.

Jangan sampai muncul Ahok baru yg kali ini dalam bentuk perempuan bernama Risma. [sumber]

Hersubeno Arief, Jurnalis Senior