Konvensi: Ketua Umum PAN Hanya Satu Periode!

Spirit Partai Amanat Nasional (PAN) adalah semangat reformasi. Akibat konteks ini, PAN menolak kemandegan dan senantiasa pelopor pembaharuan sistem politik, hukum dan ketatanegaraan.

Bertolak dari semangat selaku pelopor pembaharuan tadi, maka PAN menolak stagnasi politik; menolak politik pembusukan, termasuk politik ambigu yang dikembangkan Ketum Zulkifli Hasan (Zulhas).

Itu fakta sepanjang petahana (2015 – 2020), di mana Zulhas berambisi ke periode kedua yang haram itu. Yaitu, konvensi di PAN: Ketum hanya satu periode! Itu satu. Saat ini, muncul nama-nama kandidat Ketum PAN yang akan maju dalam Kongres PAN, salah satunya Zulhas.

Kedua, sebelum Zulhas, PAN selalu tegas mengambil posisi, baik pendukung pemerintah atau di luar pemerintahan (oposisi), selalu tegas dan jelas jenis kelaminnya. Misal, periode 1998 – 2004 sebagai oposisi pemerintah (Gus Dur dan Megawati).

Pada 2004 – 2014 mengambil posisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Namun dalam kepemimpinan Zulhas (2015 – 2020), PAN ambigu, terombang-ambing. Artinya tak jelas kelaminnya. Beroposisi tapi tidak penuh, mendukung tapi malu-malu.

Hasilnya kader PAN bingung dan limbung, sehingga suara PAN di Pemilu 2019 tergerus. Bandingkan Pemilu 2014, PAN memperoleh 48 kursi DPR, merosot menjadi 44 kursi (Pemilu 2019), dan gatot (gagal total) di Pemilu Presiden. Begitu rapornya, toh Zulhas masih mau maju. Sudah gatot, haram pula.

Gatot, Tolak Zulhas!
Ketiga, reason: kepemimpinan Zulhas telah gagal mengemban visi partai. Yaitu terwujudnya PAN sebagai parpol terdepan dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri yang adil dan makmur. Bahkan gagal mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) di kehidupan sosial Indonesia yang demokratis dan berdaulat, serta diridoi Allah SWT.

Berkenaan hal itu, segenap komponen PAN harus pasang cermin: Zulhas itu telah gagal memberi teladan, bagi terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih, khususnya keterlibatannya dalam kasus korupsi yang Kini diproses KPK, termasuk adik-adiknya yang sudah masuk bui, memberi dampak buruk kepada PAN secara keseluruhan.

Keempat, selain itu, kepemimpinan Zulhas juga gatot mengemban misi partai, yaitu: (1) Memenangkan PAN dalam tiap pemilu, (2) Mewujudkan kader yang berkesadaran spiritual, sosial dan politik yang tinggi, cerdas, ikhlas, pluralis, tangguh, profesional, mandiri, progresif, inovatif, konsisten, (3) Menempatkan PAN untuk selalu dekat dan membela kepentingan rakyat, (4) Membangun organisasi PAN yang modern; serta (5) Mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan sosial, makmur, damai, cerdas, mandiri dan partisipatif.

Pertanyaannya kemudian, apakah kelima misi ini telah dilaksanakan secara baik selama kepemimpinan Zulhas, 2015 – 2020? Sama sekali gatot! Karena jelas dan tegas partai justru berada dalam situasi ambigu.

Pada masa awal pemerintahan (2014) atau pada masa-masa akhir kepempinan Hatta Rajasa, posisi partai sangat jelas, solid dan tangguh sebagai oposisi, sehingga meskipun hanya sebagai partai tengah (48 kursi DPR), namun dapat memenangkan posisi strategis. Yaitu merebut posisi Ketua MPR. Dalam perjalanannya kemudian, Ketum PAN (periode 2015 – 2020) pengganti Hatta Rajasa justru tidak konsisten dalam mengambil keputusan dengan menempatkan kakinya di pemerintahan.

Hasilnya kader partai menjadi bingung dan limbung karena tidak paham dengan keputusan dan langkah Ketum. Di sisi lain pendukung lawan (lawan politik) memiliki peluru berlimpah untuk menelanjangi PAN habis-habisan, seolah PAN adalah partai yang kemaruk kekuasaan.

Kelima, azas PAN jelas tegas, berazaskan “akhlak politik berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam”. Dan politik berlandaskan agama ini telah bangkit dan menemukan momentumnya sejak tahun 2016 yang ditandai dengan kemenangan umat dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2017).

Namun kemenangan dan kebangkitan ini kemudian jelas dan terang dikhianati oleh kepemimpinan PAN periode 2015 – 2020, sehingga PAN justru perolehan suaranya turun drastis pada Pemilu 2019. Suatu ironi di tengah-tengah momentum kebangkitan umat. Fakta-fakta tersebut menjadi dasar dan pertimbangan kuat untuk menolak pertanggungjawaban Zulhas sekaligus menolak pencalonan kembali Zulhas pada suksesi 2020 – 2025.

Keenam, konvensi PAN bahwa ketum hanya sati periode perlu dinyatakan untuk menolak Zulhas. Bahwa sejak berdiri dan dideklarasikannya PAN pada tanggal 23 Agustus 1998, kepemimpinan PAN untuk jabatan Ketum hanya berlangsung untuk satu periode masa jabatan. Mulai dari kepemimpinan Ketua Umum Amin Rais (23 Juni 1998 – 23 Agustus 2004), Soetrisno Bachir (2005 – 2010), hingga Hatta Rajasa (2010 – 2015).

Adalah benar, secara yuridis AD/ART PAN tidak secara eksplisit membatasi dan melarang Ketum PAN mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Namun secara sosiologis, sejak awal berdirinya Ketum PAN hanya dijabat untuk satu periode. Sejak dari era Amin Rais, Soetrisno Bachir hingga Hatta Rajasa. Keadaan ini telah dicontohkan secara sangat baik dan bijaksana oleh bapak reformasi kita, Amin Rais.

Bilamana menghendaki, sebagai Bapak Reformasi tentu Amin Rais dapat menjadi Ketum seumur hidup, namun hal itu tidak dilakukan, karena justru akan mengingkari semangat reformasi. Menciptakan kader partai terbaik untuk dipersembahkan kepada bangsa dan negara lebih penting dan bermartabat, daripada mengangkangi partai untuk kepentingan dan kekuasaan dirinya sendiri.

Secara filosofis, dengan merujuk kepada lambang PAN (misalnya) yang berupa matahari putih dengan 32 pancaran sinar, dengan latar belakang bujur sangkar berwarna biru tua dengan tulisan PAN dan nama partai di bawahnya, sudah mencerminkan simbolisasi bahwa PAN membawa suatu pencerahan baru menuju masa depan yang lebih baik.

Matahari melambangkan sumber cahaya dan sumber kehidupan. Warna putih merupakan ekspresi dari kebenaran, keadilan dan semangat baru. Pancaran sinar merupakan refleksi dari kemajemukan. Adapun bujur sangkar berwarna biru tua merupakan cerminan laut dan langit yang merefleksikan kemerdekaan dan demokrasi.

Berdasarkan filosofi lambang partai tersebut, maka seyogyanya pergantian kepemimpinan dalam partai harus menghidupkan dan mengedepankan pengkaderan, sehingga setiap kali terjadi suksesi kepemimpinan PAN harus dapat memancarkan dan merefleksikan adanya semangat baru, sehingga demokratisasi di dalam PAN senantiasa menumbuhkan kesegaran dan pencerahan.

Karena itu petahana yang sangat berambisi untuk mencalonkan kembali, apalagi sudah jelas dan nyata petahana dimaksud dalam kenyataannya terbukti tidak memberi kemajuan kepada partai, maka pencalonannya harus ditolak, atau setidaknya tidak usah dipilih kembali. Dalam keadaan demikian, kader PAN sudah semestinya melihat dan mempertimbangkannya secara cerdas!

Marwah Partai
PAN adalah partai yang lahir dari rahim reformasi. Saat rezim Presiden Soeharto kokoh dengan tirani dan anti demokrasi, Bapak reformasi kita, Amien Rais, beserta para mahasiswa berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari jabatannya, sehingga lahir satu era yang mencerahkan yaitu era reformasi.

Ketika kekuasaan Orde Baru sudah runtuh, sebenarnya saat itu Amien Rais ingin kembali ke organisasi Muhammadiyah yang saat itu beliau menjabat sebagai ketua umumnya, namun saat itu Amien Rais telah dianggap sebagai pembawa harapan rakyat untuk mengantarkan perubahan yang akan dialami oleh Indonesia paska lengsernya presiden Soeharto.

Keadaan ini yang kemudian mendorong Amien Rais dan membawanya pada rapat PP Muhammadiyah pada saat itu. Sebagian orang yang mengikuti rapat saat itu menyarankan agar Amien Rais ikut terjun ke ranah politik sementara yang lainnya berpentapat bahwa sebagai cendekiawan tugas Amien Rais dianggap telah selesai dan diharapkan segera kembali ke Muhammadiyah.

Saat itu Amien Rais memilih untuk terjun ke dunia politik. Sebagai tokoh reformasi sudah tentu banyak tawaran dari berbagai partai politik, namun adanya berbagai desakan, akhirnya Amien Rais membentuk partai baru dimulai dari konsolidasi Muhammadiyah di daerah seperti Jawa Tengah dan DKI Jakarta, serta melibatkan berbagai perkumpulan seperti MARA (Majelis Amanat Rakyat), PPSK (Pusat Pengkajian Strategi Kebijakan), serta kelompok Tebet Society.

Ringkasnya, PAN dideklarasikan pada hari Minggu/Ahad, 23 Agustus 1998, di Istora Senayan, dihadiri puluhan ribu massa, yang salah satu misinya adalah menyelamatkan umat dari perpecahan.

Selain itu tujuan utama dari PAN adalah masuk ke gelanggang politik dengan mengikuti pemilihan umum dan memenangkan kadernya untuk Pemilihan Presiden dan mengisi kursi lembaga legislatif.

Sehubungan dengan visi, misi, dan tujuan partai, maka dengan mengingat kepada sejarah partai dan program-program strategis yang sejak semula PAN berdiri telah diberikan pondasinya, maka dengan mengingat keadaan dan dinamika politik yang berkembang sekarang, program yang semestinya menjadi prioritas adalah mengembalikan marwah PAN sebagai pelopor reformasi dan demokrasi.

Dan untuk mengembalikan marwah partai, tidak bisa tidak, kepemimpinan dan suksesi partai harus diisi oleh kader PAN terbaik, bukan petahana yang jelas dan terang telah terbukti gagal membawa kemajuan PAN, dan sebaliknya justru memberikan contoh buruk karena sikapnya yang ambigu, serta gagal memberikan contoh dalam konteks kepemimpinan yang bersih dan berintegritas.

DR Herman Kadir, SH, M.Hum, Deklarator PAN 23 Agustus 1998, Wakil Presiden DPP KAI (Kongres Advokat Indonesia).