News  

ISIS, Tabut dan Rechstaat

Berapa lama usia Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) dalam kalender bumi? Dua puluh tahun. ISIS berdiri tahun 1999, rubuh tahun 2019. Dalam tiga pelita, cahaya ISIS lindap dalam gemuruh badai Al Qaeda. Kibaran bendera ISIS baru dapat perhatian dunia pada tahun 2014.

Eksistensi ISIS menguat bersamaan dengan periode pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla. ISIS bak sinar bulan sabit yang melingkar terbalik. Timbul, menanjak, tenggelam. Bisa jadi ISIS bakal dicatat sebagai kekhalifahan yang paling cepat sirna. Tentu tidak secepat Sunda Empire yang super lucu itu.

Jujur, penulis tak melakukan kajian mendalam terkait kekhalifahan apapun di dunia. Sedari kecil. kisah Karbala menjadi mimpi buruk bagi penulis. Kematian Husain bin Ali bin Abi Talib terasa menyeramkan. Cerita yang beredar, kepala cucu Nabi Muhammad SAW itu dijadikan bola. Perayaan Hoyak Tabut di Kota Pariaman setiap tanggal 10 Muharram menjadi lonceng pengingat. Kalau tidak bisa disebut sebagai penghambat rasa ingin tahu penulis atas perang antar dinasti, mazhab, pun tarikat.

Pernah, memang, penulis menyusun makalah panjang dengan mesin ketik tentang kematian Husain itu pada semester awal kuliah. Penulis baca sejumlah buku, terutama yang bersumber dari penulis-penulis beraliran Syiah. Kisah yang tentu penulis kaitkan dengan tradisi Tabut di kota kelahiran. Penulis sempat telusuri khazanah dari pemikiran intelektual Syiah. Tulisan Ali Syariati dan Murtadha Muthathhari termasuk yang menarik minat.

Sulit membayangkan, bagaimana umat Islam saling bantai dengan umat Islam sendiri, atas nama bendera kekhalifahan. Dinasti yang satu memburu keseluruhan keturunan dinasti lain. Makam Haji Miskin di Pandai Sikat yang sering penulis lewati pergi dan pulang sekolah di SMP (Standar) Koto Lawas, sudah cukup menjadi pengingat. Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik setelah kembali dari Makkah dan Madinah pada awal abad ke-19, menjadi hulu dari Perang Paderi.

Pun adegan “perkelahian” antara pendukung Tabut Pasar dengan pendukung Tabut Subarang memberi banyak ilustrasi. Sebelum berubah dalam bentuk sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, tak jarang darah berceceran di atas jembatan depan Bioskop Karya.

Tentu, darah dari tunganai-tunganai tabut yang kena sabetan lidi atau rotan, bahkan lemparan batu. Teriakan “Hoyak Hosen” bagaikan lukah atau bambu gila di Kabupaten Kerinci. Orang-orang seakan tak sadar, terus memanggul tabut hingga dibuang ke laut jelang magrib. Walau sah menjadi bagian dari pendukung Tabut Pasar, berdasarkan tempat lahir penulis di Kampung Perak, tetap saja penulis tak hendak turut melecut lawan.

Ternyata, “stempel” betapa perayaan Hoyak Tabut di Kota Pariaman itu melekat terus. Sejumlah teman diskusi menyebut tradisi Tabut berasal dari penganut Syiah. Penulis tentu terperangah, lalu membantah. Mana ada orang Pariaman, khususnya, dan orang Sumatera Barat, umumnya, dianggap Syiah? Hoyak Tabut memang meriah, dihadiri puluhan ribu hingga ratusan ribu pengunjung. Tapi tak pernah penulis dengar pekikan: “Setiap padang adalah Karbala! Setiap hari adalah Asyurra!” di Pariaman.

Terpaksalah penulis mencari referensi tersendiri. Sementara, Tabut di kalangan khalayak ramai, lebih banyak dibalut kabut mistis. Kuda-kuda terbang yang dihoyak, berasal dari mitologi Yunani. Kepala perempuan berambut panjang adalah bagian dari tubuh kuda-kuda itu. Belakangan, kepala perempuan itu sudah menggunakan hijab.
*
Kehadiran ISIS, diluar Perang Iran – Irak yang tak banyak dijelaskan sebagai perang Syiah – Sunni di layar televisi hitam putih, makin memperlihatkan darah yang sebenarnya. Video-video penyembelihan dan penembakan datang bak monster di internet. Tulisan-tulisan berbahasa Arab, teriakan dalam bahasa Arab, selalu hadir dalam wabah video-video itu.

Penulis tak pandai bahasa Arab, walau sempat belajar bahasa Arab Melayu di Sekolah Dasar. Keindahan mengaji Al Qur’an dalam bahasa Arab di surau-surau dalam cahaya lampu teplok, lalu pulang ke rumah menggunakan obor dengan lewati sawah, sungai, dan belukar, seakan menjauh dari pikiran dan perasaan. Dari sisi ini saja, ISIS telah mencemari “korsa” kanak-kanak penulis. ISIS menodai bahasa Arab dengan tinta darah.

Tapi, bagi sebagian orang, ISIS adalah belaian sinar matahari pagi yang menguapkan embun. Cahaya yang sedang bangkit. Mereka menempuh perjalanan panjang, datang ke kawasan ISIS. Mereka melakukan baiat kepada pemimpin-pemimpin ISIS. Passport negara asal mereka bakar. Bendera pelbagai negara mereka buang. Walau, pakaian dari negara asal tetap mereka gunakan ketika menyandang senjata.

Lima tahun di Indonesia tak terasa panjang. Walau tak disebut dengan frase “baiat”, rakyat Indonesia digempitakan oleh demokrasi elektoral. Beragam pemilihan pemimpin susul-menyusul. Parlemen nasional, parlemen lokal, presiden dan wakil presiden, kepala daerah, hingga kepala desa. Belum lagi selebrasi pemilihan ketua-ketua umum partai politik, organisasi ilmuwan, pengusaha, pengacara, mahasiswa, hingga siswa.

Ketika para pembaiat ISIS berhadapan dengan situasi hidup dan mati, rakyat Indonesia menaikkan dan menjatuhkan pemimpin-pemimpin mereka. Betul, jatuh juga korban. Walau layak dicatat dengan huruf tebal, video-video yang muncul tak semembucah video-video ISIS. Bisa jadi, di mata loyalis-loyalis ISIS, “pesta demokrasi” di Indonesia dari tingkat pusat, daerah, hingga desa itu adalah wujud dari dari kebangkitan dajal-dajal laknatullah!
*
ISIS dinyatakan kalah secara resmi. Kalender pemilihan umum 2019 selesai. Pemerintahan baru terbentuk. Etape pelaksanaan mandat dan amanat penderitaan rakyat dimulai. Tak ada angin, banyak hujan mendatangkan banjir. Tiba-tiba dalam wajah menghiba, mereka yang sudah berbaiat kepada ISIS itu menyatakan ingin kembali ke tanah air Indonesia. Mereka barangkali tak lagi melihat dajal. Namun yang jelas, mereka sering melihat ajal. Indonesia yang “sekuler” ini adalah oase yang mampu menghapus dahaga bertahun akan makna kemanusiaan.

Lebih dari 600 orang jumlahnya. Itupun kebanyakan adalah kaum perempuan yang menjadi janda, beserta anak-anak mereka yang mau memasuki usia sekolah dasar. Lelaki-lelaki mereka, sebagian besar hilang tak tentu gurun. Tak ada jasad yang dikuburkan, pemberitahuan dari pihak berwenang, sampai tahlilan hingga haul. Bisa jadi lelaki-lelaki itu sedang meneguk air dari cawan-cawan gemerlapan, mengupas buah-buahan, didampingi puluhan bidadari.

Al Qur’an memang menggambarkan sorga dengan aliran sungai dan buah-buahan. Bagi orang-orang yang hidup turun-temurun di gurun-gurun pasir dan gunung-gunung batu, pemandangan sungai dan buah-buahan itu tentu sangat langka. Tidak bagi orang-orang Indonesia. Jakarta saja dialiri 13 sungai. Banyak kampung dengan nama buah-buahan.

Entah memang tak peduli, atau ikutan kesal disamakan dengan dajal, pemerintah dan barisan pendukungnya ramai-ramai menolak manusia-manusia yang hendak pulang itu. Atau, bagi anak-anak mereka, ingin melihat tanah leluhur orang-tua mereka, bisa salah-satu, atau keduanya. Sebab, banyak perempuan ISIS yang menikah dengan sesama pembaiat yang berlainan bangsa dan negara asal. Pemerintah seolah tak menganggap mereka ada. Tinggal para aktivis yang menggerutu di media sosial.

Cukup?

Belum. Bagi penulis, pemerintah tak perlu banyak bicara. Apalagi dengan nada penuh keraguan. ISIS atau tidak, warga negara atau tidak, dalil-dalilnya tinggal dicari dalam belantara hukum dan perundangan. Laksanakanlah hukum dan perundang-undangan itu.

Beda pemimpin-pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi dengan dajal hanya itu: pemimpin bekerja berlandaskan hukum. Kalau belum ada yang spesifik, bikin terobosan hukum. Gunakan sebagai lex specialis. Sumber mataairnya banyak, baik dari filsafat Pancasila, maupun Undang-Undang Dasar 1945 dan keseluruhan naskah amandemennya.

Tak bertemu juga? Amandemen lagi konstitusi. Taruhlah guna memastikan lebih dari 600 orang perempuan dan anak-anak itu tak boleh kembali. Hitamkan mereka. Bikin rumusannya. Sepakati. Umumkan. Laksanakan. Sebab, Indonesia adalah rechstaat (negara hukum), bukan machstaat (negara kekuasaan). Singkat!

Indra J. Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara