News  

Subsidi BBM dan Listrik Langsung ke Rakyat, Pemerintah Tampar Pertamina dan PLN

Publik terkaget bak petir di siang bolong, ketika Menteri BUMN Erick Tohir dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar jumpa pers hari jumat (4/4/2020).

Berdasarkan hasil rapat Menteri BUMN dengan Menteri Keuangan serta Menteri ESDM Arifin Tasrif, Pemerintah sepakat dalam mengatasi dampak ekonomi dari penyebaran COVID-19 terhadap rakyat tak mampu Pemerintah memutuskan akan memberikan dana subsidi sektor energi langsung kepada rakyat yang berhak, sehingg dana subsidi BBM dan biaya lisrik tidak lagi diberikan kepada Pertamina dan PLN.

Tujuannya, agar subsidi itu dikucurkan prosesnya lebih transparan dan diharapkan BUMN lebih fokus menjalankan aksi korporasinya. Tidak hanya itu, peralihan subsidi ini untuk menghindari praktek akal-akalan pembukuan keuangan BUMN, yang merupakan wilayah grey area, yang akhirnya mohon maaf – melakukan praktek window dressing. “Nah ini yang saya gak mau,” kata Erick Tohir.

Memang susah dibantah apa yang dikatakan Erick Tohir dalam hal ini tentu sangat benar, kasat mata bahwa Pertamina dan PLN telah melakukan praktek memoles laporan keuangan akhir tahun supaya terlihat kinclong dimata publik, yaitu memasukan piutang subsidi Pemerintah ke dalam laporan akhir keuangannya yang sudah di audit oleh akuntan publik.

Padahal dana subsidi energi itu belum dianggarkan dalam APBN tahun itu, tetapi baru akan dianggarkan pada APBN tahun depan, sehinggal hal itulah kadang menyebabkan laporan keuangan Pertamina dan PLN sering molor disajikan ke publik dibandingkan BUMN Lainnya. Bahkan lebih jauh secara tidak langsung Erick Tohir telah mencurigai dana subsidi energi selama ini banyak diselewengkan.

Contohnya di tahun 2019 lembaga, CERI telah mengkritisi terkait laporan akhir keuangan Pertamina dan PLN tahun 2018, mendadak naik tinggi labanya dengan memasukan nilai diskon harga jual gas dari PT PGN Tbk senilai Rp 5 triliun untuk jangka waktu 15 tahun kedepan. Tetapi telah dibukukan sebagai pendapatan tahun 2018. Anehnya dilaporan keuangan PGN yang audited tidak ada catatan hutang PGN kepada PLN.

Atau bisa juga ada alasan lainnya yang tidak diungkap Erick Tohir ke media. Jangan-jangan dia telah mencurigai untuk apa diberikan subsidi BBM kepada Pertamina, karena sampai saat ini belum juga mengoreksi harga jual BBM-nya dan mereka lagi meraih untung besar.

Karena Presiden Jokowi pada 20 Maret 2020 lalu sudah menyatakan di berbagai media bahwa sudah memerintahkan para menterinya segera melakukan kalkulasi ulang supaya bisa ditentukan harga BBM baru yang sesuai harga minyak dunia yang sudah terjun bebas, paling rendah selama 18 tahun terakhir.

Kemudian tak lama Pertamina oleh VP Corporate Communication Fajriah Usman pada 23 Maret 2020 menyatakan Pertamina mungkin akan mengoreksi harga BBM apabila sampai akhir maret harga minyak mentah dunia tetap melemah.

Lebih lanjut dia mengatakan kepada sejumlah media telah mengakui bahwa sejak diumumkan pemerintah bahwa virus corona yang dikenal COVID-19 sudah menyerang kita di awal bulan maret 2020, akibat adanya kebijakan “stay at home and work from home”, komsumsi BBM nasional per harinya sudah turun 8%, yaitu dari semula 134,78 ribu liter menjadi 124,74 ribu liter perhari (1/4/2020).

Namun sangat disayangkan sampai awal April 2020, kenyataan Pertamina alih-alih menurunkan harga BBM, malah sesumbar ke media akan membeli lebih banyak lagi minyak mentah impor untuk dilakukan penimbunan di tangki-tangki dan di floating storage.

Pertanyaannya, apakah kapasitas tangki Pertamina sudah memadai? Baik di kilang maupun di Depo/ Terminal BBM. Sejak kapan Pertamina membangun fasilitas tangki yang besar, sebagai contoh proyek terminal Lawe Lawe masih sebatas judul proposal saja?

Padahal pada waktu sebelumnya, Fajiriah Usman mengatakan bahwa 92% minyak mentah produksi dalam negeri sejak bulan Febuari 2020 sudah masuk kilang Pertamina, termasuk minyak mentah milik KKKS yang sebelumnya selalu di ekspor.

Artinya, ada sekitar 670.000 barel masuk kilang Pertamina dari total lifting nasional sekitar 715.000 barel, tak pernah terjadi sepanjang sejarah, begitu banyak minyak entitlement KKKS bisa dibeli pertamina untuk masuk ke kilang minyaknya. Sudah barang tentu hal ini ada kejanggalan.

Harusnya gejala itu menjadikan pertanyaan bagi fungsi ISC ada faktor apa penyebabnya, secara sederhana peristiwa tersebut sudah dapat dipastikan bahwa KKKS mengalami kesulitan menjual minyak mentahnya ke pasar ekspor, akibat adanya perlambatan ekonomi dunia terkait mewabahnya covid19, sehingga mengakibatkan pasokan minyak mentah surplus di pasar. Maka terjadi hukum ekonomi, kelebihan pasokan membuat harga jatuh.

Sejak awal Febuari 2020, menurut laporan media Reuters 10/2/2020 trend harga minyak dunia sudah menurun akibat lockdown di China untuk mengatasi wabah covid 19. Puncaknya terjadi setelah pertemuan OPEC dengan negara Rusia gagal menentukan pembatasan produksi yang mengakibatkan harga minyak terjun bebas.

Sehingga kalau ada pendapat bahwa Pertamina saat ini belum tepat bisa menurunkan harga jual BBM, karena kontrak pembelian minyak mentah dilakukan pada bulan Febuari ketika harga minyak masih tinggi untuk penyerahan bulan April, tentu pertanyaannya berapa % volume impor minyak mentah dan BBM pada saat bulan Febuari telah dibeli oleh ISC Pertamina, apakah dealnya fixed price atau floating price, kemudian apakah status kontrak FOB atau CFR? Itu dulu harus dibuka ke publik.

Seharusnya ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina, pertama sebagai fungsi perencana dan Optimasi, kedua sebagai fungsi niaga dan komersial, serta ketiga sebagai fungsi operasional dan ekspor sudah bisa sejak awal memprediksi kedepan saat akan melakukan tender pengadaan minyak, paling tidak sekitar 3 atau 6 bulan kedepan.

Apakah tren harga minyak akan naik atau turun dengan parameter parameter yang sudah baku dalam dunia perdagangan minyak, termasuk parameter non fundamental seperti potensi pandemi COVID-19 yang sudah terjadi sejak Desember 2019, sehingga sudah bisa menentukan strategi pengadaan yang paling menguntungkan bagi Pertamina.

Bukan malah sebaliknya bertindak ceroboh dan berpotensi merugikan Pertamina dalam menjalankan proses bisnisnya, yang pada gilirannya merugikan segenap rakyat Indonesia karena dibebani ekonomi biaya tinggi.

Kalau fungsi ISC salah strategi saat itu yang berakibat Pertamina rugi, ya jangan rakyat yang lagi susah disuruh menanggungnya, harusnya gentelmen lempar handuk atau Menteri BUMN mencopot Direksi dan pejabat Pertamina yang bertanggung jawab disektor tersebut.

Akibatnya saat ini muncul polemik mengapa harga jual eceran BBM Pertamina belum turun juga, sebagai perbandingan di negara tetangga sebelah harga BBM jenis Bensin / Gasoline Ron 95 di Malaysia pertanggal. 3 April 20 sdh turun menjadi RM 1.38 / ltr atau sekitar Rp. 5.300 /ltr, sementara harga bensin Pertamax Ron 92, dijual dijakarta Rp. 9000/liter.

Padahal aturannya sudah ada soal penentuan harga BBM terbaru, sehingga ada berpendapat tidak perlu diturunkan dulu, karena tak berdampak apa apa, karena orang lagi banyak di rumah akibat wabah COVID-19.

Maka pertanyaannya bukankah dia tak paham bahwa hanya orang kaya yang patuh terhadap himbauan tetap di rumah selama 2 minggu, tentu pertanyaan berikutnya berapa persenkah orang kaya itu, bagaimana dengan nasib kelas menengah kebawah yang terpaksa harus tetap keluar rumah, meskipun terancam kena penularan akan mengakibatkan kematian, akan tetapi mereka terpaksa keluar rumah karena terancam tak bisa makan untuk keluarganya.Tentu masyarakat bawahlah yang sangat merasakan dampak harga BBM yang tak wajar.

Tentu ada pertanyaan juga, apakah pendapat diatas itu murni merupakan pendapat pengamat atau bisa juga termasuk pendapat buzzer, atau hanya pendapat calo agent LPG dan perijinan SPBU?

Yang pasti Pertamina sebagai BUMN yang khusus ditugasi Pemerintah menjamin tersedianya BBM satu harga di seluruh nusantara, harus tunduk pada aturan Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Penentuan harga jual BBM yang ditanda tangani oleh Presiden Jokowi, serta Permen ESDM nmr 34 tahun 2018 yang ditanda tangani oleh Ignatius Jonan.

Maka untuk penentuan harga BBM dengan subsidi tetap seperti Biosolar dan minyak tanah, serta harga Premium 88 penugasan ditentukan oleh Menteri ESDM, dan penentuan harga BBM umum seperti Pertalite, Pertamax 92, 95 dan 98 serta Dexlite dan Pertadex adalah wewenang penuh Pertamina.

Karena itu, Kementerian ESDM dan Pertamina seharusnya segera menerapkan kebijakan yang meringankan beban rakyat banyak yang lagi ketimpahan susah, dan mohon berempatilah akan kondisi mayoritas rakyat yang lagi paranoid COVID-19.

Rakyat tentu akan melihat apa sikap kalian dalam beberapa hari kedepan, kalau memang harga BBM tak bisa kalian turunkan, maka bukalah secara tranparan proses bisnisnya ke publik.

Jangan sampai niat baik Presiden untuk meringankan beban rakyat, tapi dikotori oleh oknum oknum di Pertamina dan KESDM.

Jakarta, 4 April 2020
Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI