News  

Staf Milenial Presiden, Anak Muda Pembunuh Citra Jokowi

Harapan saya sempat tumbuh kala Presiden Jokowi mengumumkan 7 (tujuh) nama staf milenialnya. Betapa tidak, mereka merupakan representasi dari 40 juta anak-anak muda Indonesia yang usianya saat ini 17-35 tahun.

Kehadiran tubuh mereka di Istana teramat penting ; kuping untuk mendengar suara-suara anak muda, mulut mereka sebagai jembatan aspirasi generasi milenial, tangan mereka menunjuk arah kebijakan dan mata mereka menangkap cahaya masa depan Indonesia.

Artinya semua organ tubuh staf milenial presiden adalah politik, tubuh politik yang fungsinya menangkap persoalan yang selama ini sempat luput dari lanskap kekuasaan.

Di Amerika Serikat, staf presiden itu bernama “West Wing” yang isinya didominasi oleh pemikir dan peneliti. Tugas mereka bertautan dengan kerja-kerja presiden yang secara institusi lembaga kepresidenan masih mengalami keterbatasan.

Pun keberadaan para staf kepresidenan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar seorang presiden bisa secara efektif bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Pada konteks Indonesia, tugas staf kepresiden kurang lebih sama dengan di Amerika Serikat yaitu memberikan informasi dan masukan kepada Presiden Jokowi.
Merujuk pada Pasal 19 Perpres Nomor 29 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 17/2012 Tentang Utusan Khusus Presiden Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wapres disebutkan bahwa staf khusus presiden bertanggung jawab secara administratif kepada Sekretaris Kabinet.

Namun, secara penugasan masing-masing individu, staf khusus kepresidenan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pun sampai disini, dapat disimpulkan bahwa segala aktivitas staf kepresidenan tidak bisa dilepaskan dari citra seorang Jokowi. Alasannya mereka merupakan perpanjangan tangan Jokowi dalam proses-proses kebijakan strategis presiden.
Terdapat 14 (empat belas) nama yang ditunjuk Jokowi dalam mengisi posisi staf kepresidenan, 7 (tujuh) diantaranya anak-anak muda yaitu

1. Andi Taufan Garuda Putra (CEO Amartha)
2. Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke)
3. Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru)
4. Billy Gracia Yosaphat Mambrasar (Peraih beasiswa kuliah di Oxford)
5. Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur)
6. Angkie Yudistia (Pendiri Thisable Enterprise)
7. Aminuddin Maruf (Aktivis/ Mantan Ketua PMII)

Ditunjuknya ketujuh nama tersebut menumbuhkan asa anak-anak muda satu generasi. Alasannya selama ini generasi milenial sering diremehkan dan dianggap sebagai generasi langgas. Generasi suka-suka yang kerap pula dipandang sebelah mata minim kontribusi dalam arah pembangunan bangsa.

Betapa tidak generasi ini dianggap pula sebagai generasi manja yang diuntungkan oleh perkembangan teknologi, digitalisasi dan internetisasi.

Pun sejatinya, kehadiran anak-anak milenial di istana sempat dianggap mengganggu eksistensi para senior dan menumbuhkan rasa cemburu bagi mereka yang hingga hari ini belum mendapatkankan jabatan di pemerintah.

Pada titik ini, selama ini pula saya mendukung kehadiran staf milenial di Istana. Argumennya sederhana ; bahwa diksi milenial tidak hanya untuk kampanye politik di Pemilu 2019 tapi bertautan dengan kebijakan strategis presiden.

Pun anak muda milenial menjadi bagian penting dalam masa-masa lepas landas menuju bonus demografi 10 tahun mendatang, di tahun 2030.

Semua harapan itu seakan sirna, ketika salah satu staf presiden bernama Andi Taufan Garuda Putra menyurati para camat untuk bekerjasama dengan perusahaan miliknya PT Amartha Mikro Fintek dalam program Relawan Desa Lawan Covid-19, yang rencananya akan dijalankan di Sulawesi dan Sumatera. Pun surat tersebut lengkap dengan tanda tangan Stafsus Presiden RI dan kop surat berlambang garuda.

Tak sampai di situ, belakangan perusahaan milik staf keperesidenan Adamas Belva Syah Devara bernama Ruangguru juga akan menjadi salah satu mitra pemerintah dalam program pelatihan online Kartu Prakerja. Pun total nilai proyek yang melibatkan Ruangguru tersebut mencapai Rp 5,6 Triliun.

Wajar banyak masyarakat yang meradang dengan staf milenial presiden ini, alasannya secara moral publik mereka sejatinya tidak boleh terlibat dalam proyek-proyek pemerintah karena rentan terhadap potensi korupsi, maladministrasi dan konflik kepentingan.

Tugas mereka sebagai staf kepresidenan adalah membantu tugas-tugas Presiden Jokowi mimikirkan kebijakan dan memberikan nasehat terhadap situasi strategis bukan ikut-ikutan main proyek.

Pun situasi yang melibatkan staf kepresidenan secara etika melanggar Pakta Integritas yang tertulis jelas dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 49 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Logika dasarnya staf kepresidenan adalah pejabat publik yang harus lepas dari segala bentuk konflik kepentingan antara dirinya pribadi dan pemerintah yang melibatkan dana APBN.

Tujuan Pakta Integritas tersebut adalah upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta menumbuhkembangkan keterbukaan dan kejujuran, serta memperlancar pelaksanaan tugas yang berkualitas, efektif, efisien, dan akuntabel terhadap penggunaan dana negara.

Harus ditekankan pula bahwa dana tersebut adalah milik seluruh rakyat Indonesia, yang penggunaannya berhak pula diberi masukan dan diberi kritik oleh masyarakat serta memiliki konsekuensi hukum.

Apalagi sangat jelas Andi Taufan Garuda Putra melakukan maladministrasi dan melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia yang berpotensi mendapatkan hukuman pidana.

Selanjutnya, Adamas Belva Syah Devara juga telah melanggar Pakta Integritas karena memiliki konflik kepentingan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik yang mendapatkan fasilitas dari negara.

Pun potensi penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan staf milenial kepresidenan ini harus dipertanggung jawakan secara hukum dan politik kepada seluruh masyarakat Indonesia yang membayarkan pajaknya selama ini.

Baik Andi Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara secara langsung telah menjadi “pembunuh berdarah dingin” terhadap citra Presiden Jokowi yang selama ini mengkampanyekan Revolusi Mental.

Apalagi sejak lama, Jokowi telah berusaha menjauhkan anak-anak kandung biologisnya seperti Gibran, Kahiyang dan Kaesang dari proyek-proyek pemerintah agar terhindar dari tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Justru konstruksi politik bersih yang dibangun oleh Jokowi tersebut dicoreng oleh anak muda milenial yang merupakan staf presiden dilingkungan istana.

Pun secepatnya, Presiden Jokowi sebaiknya memecat staf milenial tersebut demi mempertahankan legacy-nya sebagai pemimpin sederhana dan merakyat.

Sampai mereka benar-benar membunuh citra Presiden Jokowi, alasannya segala tindak tanduk pribadi staf milenial tersebut menyatu dan tidak bisa dilepaskan dari personal brand Presiden Jokowi.

Jika tidak segera memecat mereka, asumsi bahwa Jokowi merestui perilaku staf milenialnya akan semakin meluas dan masyarakat tidak lagi melihat Presiden Jokowi sebagai pemimpin bersih, tegas dan merakyat. [kumparan]

Anwar Saragih, Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi