PPP: Program Kartu Prakerja Bisa Jadi Kasus Hukum Usai 2024

Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani mengatakan skema pelatihan dalam program Kartu Prakerja yang melibatkan sejumlah perusahaan startup berpotensi menjadi kasus hukum. Hal tersebut bisa terjadi setelah 2024, yang menjadi akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Arsul mengatakan program yang menjadi janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2019 lalu itu tidak bermasalah. Menurutnya, yang bermasalah adalah pelaksanaannya melalui skema pelatihan kerja secara online dengan anggaran sekitar Rp5,6 triliun.

“Yang dianggap bermasalah adalah pelaksanaannya melalui skema pelatihan kerja secara online, di mana sebagian anggarannya yang Rp5,6 triliun tersebut menjadi pendapatan dan keuntungan sejumlah perusahaan start-up tersebut,” kata Arsul dikutip melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (20/5).

“Skema pelatihan kartu-prakerja yg melibatkan beberapa perusahaan start-up berpotensi menjadi kasus hukum setelah 2024,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Arsul kemudian mengingatkan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan kebijakan publik dalam kurun waktu 1998 dan 2008, yakni kasus BLBI dan Bank Century.

“Juga kasus e-KTP. Semua kasus itu tidak bermasalah pada lingkup kebijakannya, tetapi pada tataran pelaksanaan kebijakan,” ujar wakil ketua MPR itu.

Berkaitan dengan Kartu Prakerja ini, Arsul kemudian mengingatkan soal audit BPK atau BPKP. Jika ditemukan ketidakwajaran pada komponen pembiayaan yang telah dikeluarkan, kata Arsul, skema pelatihan Kartu Prakerja ini sebagai kasus hukum akan terbuka lebar.

Arsul juga mengingatkan agar para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan terkait skema pelatihan Kartu Prakerja tak hanya mengandalkan Pasal 27 Perppu 1/2020 yang kini sudah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 agar memiliki kekebalan hukum.

“Absurd kalau para pembantu presiden dan jajarannya merasa sudah aman karena diberikan kekebalan hukum oleh pasal tersebut,” katanya.

Lebih lanjut, politikus PPP itu pun meminta Jokowi dan jajarannya meninjau kembali impelentasi dan skema pelatihan hingga penganggaran Kartu Prakerja tersebut.

“Lebih baik mencegah potensi kasus hukum dari sekarang dari pada nanti berhadapan dengan lembaga penegak humum,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah meluncurkan program Kartu Prakerja di tengah pandemi virus corona. Program itu adalah janji kampanye Jokowi untuk mempersiapkan SDM Indonesia.

Namun saat corona menghantam Indonesia, pemerintah membuat Kartu Prakerja sebagai bantuan sosial. Sebanyak 5,6 juta orang jadi target peserta pelatihan. Selain itu, program pelatihan yang awalnya direncanakan tatap muka (offline), kini menjadi online.

Usai peluncuran, program ini menuai berbagai masalah. Mulai dari penunjukan mitra program yang tidak transparan, materi pelatihan yang sebenarnya bisa didapat gratis di kanal lain, hingga kemanfaatan pelatihan kerja di tengah pandemi virus corona.

Pemerintah menggelontorkan Rp20 triliun, dengan rincian biaya pelatihan Rp5,6 triliun; dana insentif Rp13,45 triliun; dana survei Rp840 miliar; dan dana PMO Rp100 juta. Anggaran ini naik dua kali lipat dari yang sudah direncanakan sebelumnya yakni Rp10 triliun.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyebut penunjukan delapan mitra Kartu Prakerja tak sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam bentuk kerja sama dan diduga munculkan monopoli.

Delapan mitra tersebut antara lain, Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Sisnaker. {CNN}