Masih Berbelit-Belit, Golkar Kritisi Cara Pemerintah Kelola Data Kemiskinan

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily meminta antar institusi Pemerintah saling bersinergi dalam pengelolaan data kemiskinan.

Menurutnya, pengelolaan data saat ini masih berbelit-belit, sehingga perlu pemutakhiran data secara cepat, tepat, dan sesuai dengan sasaran agar terwujudnya Satu Data Indonesia.

Hal tersebut disampaikannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR RI dengan Sekjen dan Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos RI.

Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa PDTT, serta Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan RB di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Senin (22/6/2020).

“Kami berharap antara institusi pemerintahan harus saling terkoordinasi dengan baik terkait dengan kepentingan rakyat. Dari penjelasan yang disampaikan Bu Rini (Deputi Bidang Kelembagaan Kemenpan RB) soal pendataan atau yang disebut Satu Data Indonesia, itu ternyata melibatkan berbagai macam institusi.”

“Bukan saja Kementerian Sosial, tapi juga Kementerian Desa, bahkan saya baru tahu berdasarkan Perpres 39 tahun 2019 yang ternyata leading sector-nya adalah Bappenas. Untuk itu, lagi-lagi kuncinya adalah sinergi antara berbagai instutisi Pemerintahan dalam hal data,” kata Ace.

Legislator Fraksi Partai Golkar itu kemudian menyinggung kesulitan yang kerap dihadapi pemerintah daerah dalam memverifikasi data kemiskinan.

Ace menyampaikan, beberapa waktu lalu Komisi VIII DPR RI mengundang beberapa kepala daerah untuk mendengarkan langsung tentang apa sesungguhnya yang menjadi kesulitan dalam hal pendataan sehingga selalu ada permasalahan ketika pemutakhiran data.

Ia menjelaskan bahwa kepala daerah mengaku sudah mengikuti prosedur pemutakhiran data dari Pusdatin Kesos Kemensos, tetapi data yang keluar (output) kemudian berbeda dari yang di-input.

“Masalahnya selalu klise, mereka mengatakan kami sudah meng-input data, tetapi data yang kami input ke Pusdatin itu, output-nya berbeda dengan data yang kami masukkan (input).”

“Saya kira kesimpulannya semua begitu kan, Pak. Ini semua saksinya yang hadir di sini, begitu Pak Sekjen (Kemensos). Kalau misalnya argumennya selalu begitu, jadinya enggak selesai-selesai masalahnya,” tegas Ace.

Untuk itu, lanjutnya, harus segera ditemukan solusi bagaimana verifikasi bisa berlangsung secara updating.

“Di sisi lain Kemensos melalui Pusdatin jangan sampai misalnya gara-gara ada satu atau dua tiga data yang dimasukkan oleh daerah sesuai dengan persyaratan yang dimintakan oleh Pusdatin, akhirnya membuat ribuan updating data menjadi mental (tertolak) kembali,” lanjut Ace.

Guna mempercepat proses pemutakhiran data, Ace mengusulkan agar memangkas alurnya. Misalnya pemutakhiran data bisa dimulai dari desa langsung kepada Pusdatin.

“Kalau saya terus terang saja Pak Sekjen, nggak perlu lagi menurut saya melalui dinas sosial. Lebih baik langsung dari desa ke Pusdatin. Supaya proses verifikasi itu menjadi cepat,” tegasnya.

Banyak jenjang yang harus dilewati jika alurnya tidak dipangkas. Di desa tentu melalui proses yang dilakukan di tingkat RT dan RW kemudian dibawa ke Desa, kemudian ada Musyawarah Desa (Musdes) dan harus diketahui oleh Camat.

Dari Camat dibawa lagi ke kabupaten/kota. Dari kabupaten/kota diserahkan kepada Dinas Sosial tingkat Provinsi untuk kemudian baru diserahkan ke Pusdatin.

Ace kemudian menyebut bahwa proses pemangkasan alur pemutakhiran data itu memang bisa melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin seperti yang dijelaskan Sekjen Kemensos. Namun, demi perbaikan, menurutnya bisa dilakukan revisi terbatas atas UU tersebut.

“Karena itu, menurut saya kalau memang dinilai melanggar UU, nanti kita rekomendasikan saja bahwa UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin terkait dengan data kemiskinan ya kita revisi.”

“Jadi dari desa, langsung ke Pusdatin. Supaya apa Pak? Supaya datanya jangan sampai berbelit-belit dalam hal pemutakhiran data tersebut,” pungkasnya. {dpr}