Hetifah: Belajar Tatap Muka Itu Opsi Terakhir Dengan Protokol Kesehatan Ketat

Pemerintah mengumumkan kebijakan penyesuaian pembelajaran di masa pandemi Covid-19 melalui kanal youtube Kemendikbud RI, Jumat (7/8/2020). Berlaku sebagai moderator Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ainun Na’im.

Hadir memberikan pengumuman tersebut Muhadjir Effendy selaku Menko PMK, Nadiem Makarim selaku Mendikbud, Doni Monardo selaku Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19, Tito Karnavian selaku Mendagri, Dr. Terawan selaku Menteri Kesehatan, dan Fachrul Razi selaku Menteri Agama.

Dalam pertemuan itu, diumumkan terdapat revisi akan SKB 4 menteri, dimana terdapat perluasan zona yang diperbolehkan menjalankan pembelajaran tatap muka.

“Zona kuning sekarang diperbolehkan melalukan tatap muka. Sekali lagi, kalimatnya adalah diperbolehkan, bukan diwajibkan,” ujar Mendikbud Nadiem Makarim. Ia menegaskan, keputusan membuka atau tidak tetap menjadi kewenangan pemda dan kepala sekolah.

“Pembukaan sekolah tetap mengikuti protokol yang telah ditetapkan sebelumnya. Yaitu, diizinkan oleh pemda/kanwil setempat, terpenuhinya daftar periksa oleh satuan pendidikan, dan adanya persetujuan dari orangtua murid,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengatakan Ia memahami kebijakan 4 menteri yang bersifat multidimensional. Meski demikian, Ia menekankan bahwa kesehatan dan keselamatan tetaplah harus menjadi prioritas.

“Harus ada mekanisme dari pemerintah untuk mengontrol memang sekolah yang akan dibuka benar-benar memenuhi daftar periksa. Jangan sampai itu hanya menjadi formalitas dan di lapangan tidak dilakukan. Jika perlu, adakan sidak-sidak untuk memantau dan berikan sanksi bagi sekolah ataupun pemda yang terbukti belum memenuhi prasyarat tapi sudah berani membuka,” paparnya.

Ia juga berharap, fasilitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap diadakan bagi orangtua yang memilih untuk tidak memasukkan anaknya ke sekolah.

“Misal ada sekolah dibuka, tapi sebagian orangtuanya belum nyaman memasukkan anaknya, mereka juga harus difasilitasi tetap menjalankan PJJ. Misalnya, proses belajar mengajar di kelas divideokan atau siswa lain bisa mengikuti melalui aplikasi telekonferensi. Jangan sampai karena sekolah dibuka dan mayoritas siswa masuk sekolah, mereka yang memilih tetap di rumah jadi terdiskriminasi,” jelasnya.

Selain itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Bidang Kesra ini berharap kurikulum adaptif ini dapat digunakan bukan hanya mereka yang melakukan pembelajaran jarak jauh, tapi juga yang melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah.

“Meski Kemendikbud memberikan opsi menggunakan kurikulum sederhana atau tetap yang biasa, saya sarankan lebih baik sudah semuanya pakai yang sederhana saja. Yang tatap muka pun di kondisi seperti ini pasti akan stres kalau disuruh mengejar materi terlalu banyak. Guru-guru juga akan banyak sekali bebannya, karena harus mengajar lebih dari satu shift,” jelasnya.

Terakhir, Hetifah berharap opsi menyekolahkan siswa menjadi opsi terakhir jika pembelajaran jarak jauh benar-benar tidak dapat dilaksanakan.

“Dari pemerintah tidak mewajibkan, tapi membolehkan. Karena itu saya berharap kebijakan dari pemda, kepala sekolah, dan garda terakhir yaitu orangtua untuk mempertimbangkan masak-masak keputusan ini. Kalau memang masih bisa di rumah, di rumah saja. Tapi kalau sulit dengan alasan keterbatasan internet, atau orangtua bekerja, barulah tatap muka ini dipilih sebagai opsi terakhir dengan protokol yang ketat.” pungkasnya.