Meresahkan! Apollinaris Darmawan, Kakek Penghina Islam Di Medsos Kembali Ditangkap Polisi

Seorang kakek bernama Apollinaris Darmawan akhirnya ditangkap polisi. Apollinaris Darmawan ditangkap polisi dikediamannya, Jalan Pelita ll, RT 003, RW 004, Kelurahan Jati Pulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, Sabtu (8/8/2020).

Kakek ini sudah pernah diadukan oleh Fadli Zon dan dipenjara karena menghina nabi dan penistaan agama, sekarang kembali mengulangi perbuatannya.

Diketahui pria berambut putih ini, telah bertahun-tahun orang meresahkan di media sosial terutama Twitter.

Ratusan Cuitannya yang kontroversial dan melecehkan agama Islam membuat umat muslim menjadi geram. Semoga bisa diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut beberapa cuitan kontroversial Apollinaris Darmawan.

“UAS, “Tapi kalau agama dihina, institusi kita dihina, wajib kita marah, wajib kita mengamuk,”>>>Saya tulis “Muhammad membangun Islam dengan jalan MERAMPOK dan MEMBUNUH, hingga sekarang tabiat itu tetap melekat di Islam.” Ada yang lihat UAS ngamuk? Tolong direkan pas lagi ngamuk,”

“Nadiem Tetapkan Sekum PP Muhammadiyah Jadi Profesor,” >>> Sudah jadi profesor silahkan bantah Allah SWT = Setan, tidak dibantah gelar profesornya akan hilang maknanya.

Saya tulis “Muhammad membangun Islam dengan jalan MERAMPOK dan MEMBUNUH, hingga sekarang tabiat itu tetap melekat di Islam.” dan gambar di bawah. >>>>> Banyak Muslim marah, mengapa anggota DPR-RI tidak ada yang MARAH, apakah tak ada Muslim di DPR?. Simak

Alquran surat ke-14 Ibrahim ayat 5 “sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami” Tampak NGAWURNYA Alquran, Musa jauh setelah Abraham, surat Ibrahim isinya GADO-GADO, mau baca cerita asli & lengkap tentang Ibrahim ada di Alkirab.

Pasal Penistaan Agama, Masih Perlukah

Pada 2011 lalu di Temanggung juga ada kasus penistaan agama, yakni Antonius Richmon Bawengan yang menyebarkan selebaran dan buku yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu.

Antonius divonis secara maksimal berdasar KUHP, yaitu 5 tahun. Tapi, ada kelompok yang tak terima atas putusan itu.

Lalu mereka merusak tempat ibadah dan sekolah milik pemeluk agama lain. Kasus lain yang dialami Syamsuriati alias Lia Eden, pendiri Komunitas Eden.

Wanita itu dinyatakan bersalah karena menyerukan penghapusan seluruh agama. Lia Eden diganjar hukuman penjara.

Ada juga Pemimpin Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho, yang dihukum dengan dakwaan penodaan dan penistaan agama.

Kasus penistaan agama yang cukup populer adalah yang dilakukan Arswendo Atmowiloto, yang kala itu menjadi Pemred Majalah Monitor pada tahun 1990.

Majalah ini mengumumkan hasil survei mengenai tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia.

Hasil survei menempatkan Presiden RI kala itu, Soeharto, menempati urutan pertama. Sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas. Hasil tersebut memicu kontroversi dan menimbulkan gelombang unjuk rasa.

Permintaan maaf Arswendo tak menghentikan kemarahan beberapa kelompok umat Islam. Hingga akhirnya Arswendo diproses hukum.

Hingga kini, Indonesia memang masih memberlakukan pasal larangan penistaan agama. Ada dua dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penistaan agama.

Pertama, Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Kedua, Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam aturan itu, banyak larangan menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.

Ada pula larangan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Pada 2010 lalu, beberapa aktivis sudah pernah mengajukan uji materi terhadap Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 itu. Pemerintah bersikukuh aturan itu masih diperlukan.

Bila ketentuan penistaan agama dicabut maka berpotensi menimbulkan konflik sosial karena para pemeluk agama bisa saling menghina.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya.

MK berpendapat bahwa pasal penistaan agama tak mengancam kebebasan beragama, tak diskriminatif, serta tak berpotensi ada kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Kehidupan beragama di Indonesia memang unik. Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, budaya dan antar golongan. Ribuan orang yang berbeda itu sehari-hari harus hidup saling berdampingan.

Salah satu kunci agar mereka tak saling bertengkar adalah adanya kesepahaman bersama bahwa kita hidup di Indonesia. Untuk itulah, di antara mereka jangan saling menghina, memfitnah, dan menyinggung.

Dalam konteks itu, pasal penistaan agama memang masih diperlukan. Ini untuk menjaga agar pemeluk agama tidak saling menghina dan menista. Tapi, penerapan pasal ini harus sangat hati-hati.

Hemat penulis, penyelesaian kasus penistaan agama melalui proses hukum di peradilan akan sangat melelahkan. Belum lagi, proses peradilan sudah selesai, tapi polemiknya masih akan terus terjadi.

Untuk itulah, perlu ada jalur-jalur penyelesaian di luar peradilan. Misalnya melalui tanpa pengadilan (non justicia), mediasi hingga saling memaafkan.

Penyelesaian model ini akan menunjukkan kedewasaan, kebijakan dan memberikan pembelajaran bagi publik. Berangkali hanya kasus-kasus tertentu yang harus diselesaikan di peradilan.

Namun, sekali lagi, harus diterapkan secara hati-hati. Jangan sampai pasal penistaan agama ini menjadi alat mengkriminalkan keyakinan atau pendapat seseorang.

Hakim harus melihat fakta hukum untuk menjunjung keadilan. Hakim jangan terpengaruh dengan tekanan massa dan pemberitaan media.

Hakim juga jangan memutuskan perkara mendasarkan pada motif sesuai keyakinan pribadi agamanya. Pertanyaannya, apakah hakim-hakim di negeri sudah bisa memiliki kualitas seperti itu? Semoga sudah. {tribun}