News  

Praktik Money Politics Musuh Utama Demokrasi Indonesia

Praktik money politics di Indonesia membuat sistem demokrasi belum menyejahterakan rakyat. Demokrasi menjadi tidak berdaya karena money politics.

Negeri ini bahkan mengalami stagnasi di berbagai sektor karena praktik itu menyebabkan partai politik gagal menghasilkan pemimpin berkualitas di berbagai bidang dan level.

“Musuh utama demokrasi adalah money politics. Kita harus bersama-sama membangun demokrasi dengan membenahi hukum dan memperkuat civil society,” kata Dr Ginandjar Kartasasmita dalam peluncuran buku keduanya yang berjudul “Reinventing Indonesia, Menata Ulang Bangsa”, Rabu (23/9).

Selain Ginandjar, diskusi yang dipandu Ichsan Loulembah itu menampilkan Profesor Toto Pranoto dari Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.

Lalu ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Salim Said, serta Profesor Timothy Buehrer dari Asia Pacific for Security Studies.

Dalam buku yang awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris ini, Ginandjar mengungkapkan pengalamannya sebagai salah menteri saat Indonesia dilanda krisis ekonomi 1998.

Kekuatan buku ini adalah berbagai cerita dan latar belakang di balik krisis ekonomi dan kemelut politik hingga jatuhnya Presiden Soeharto dan lahirnya era reformasi.

Era reformasi ditandai oleh kebebasan dan demokratisasi di berbagai bidang, terutama di bidang politik. Ada kemudahan bagi lahirnya partai politik (parpol), amendemen UUD, desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah, serta pemilihan langsung presiden dan kepala daerah.

“Kalau saya ditanya, saya lebih senang sekarang atau pada masa lalu, saya tegas menjawab, lebih senang sekarang,” kata Ginandjar, mantan menko ekuin di era Presiden BJ Habibie ini. Menurutnya, sistem demokrasi memiliki kelemahan, tapi tetap yang terbaik dibanding sistem politik lainnya.

Namun, kalau ditanya, demikian Ginandjar, sulit mana sebagai menteri dulu atau sekarang, jelas lebih sulit sekarang. Karena pada masa lalu hanya ada satu komando. Ketika menteri menetapkan satu kebijakan, pemerintah daerah hingga RT melaksanakannya.

Pada masa lalu, lanjut Ginandjar, parlemen takut kepada menteri. Karena jika ada yang dinilai kurang berkenan, menteri akan melaporkan kepada pimpinan partai. Anggota parlemen takut terkena recall. Saat ini, kebijakan menteri bisa dihambat oleh DPR.

Media massa kini tidak bisa dikontrol. Apalagi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyuburkan hidupnya media sosial. “Dulu, cukup Pak Harmoko (menteri penerangan) yang atur, beres,” ujar mantan Menteri Pertambangan dan Energi di era Presiden Soeharto.

Sedangkan saat ini, kebijakan yang diputuskan pusat belum tentu diikuti pemerintah daerah.

Pusat boleh saja membuat kebijakan, tapi kebijakan itu belum tentu dilaksanakan oleh provinsi dan kabupaten serta kota sebagai dampak dari otonomi daerah dan pilkada langsung. “Kondisi ini diperparah oleh money politics,” kata Ginandjar.

Berbagai pemilihan dan pembuatan kebijakan tak luput dari money politics. Dampaknya, Indonesia sulit mendapatkan pemimpin yang hebat, baik di eksekutif, legislatif, maupun di yudikatif.

Indonesia, kata Ginandjar, perlu belajar demokrasi yang benar dari Jepang. Meskipun negara itu dipimpin kaisar dalam budaya oligarki, sistem pemerintahan Jepang termasuk yang terbaik di dunia.

Demokrasi diterapkan dengan baik dalam pembentukan parpol, pemilihan anggota parlemen, dan perdana menteri.

Sistem demokrasi dalam tata kelola negara tidak menutup rapat peluang bagi pejabat untuk memperkaya diri. “Mana ada pejabat Jepang kaya? Dan itu juga terjadi dalam ekonomi. Kita tidak lihat orang Jepang masuk daftar orang terkaya dunia,” papar Ginandjar yang pernah lama belajar di Jepang.

Ia yakin, demokrasi Indonesia akan berkembang menuju demokrasi yang berkualitas. “Kita harus sabar. Kita benahi bersama sistem hukum. Kita harus bangun civil society,” ungkapnya.

Politik Elektoral

Sementara itu, Firmanzah berpendapat, merosotnya kualitas demokrasi di era reformasi disebabkan oleh penyempitan makna politik menjadi politik elektoral. Politik hanya sekadar upaya mendapatkan posisi politik setiap lima tahun.

Demokrasi yang dijalankan selama era reformasi tidak lagi menjadi sistem yang memberikan ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat, kebebasan, dan penegakan hukum, melainkan direduksi menjadi demokrasi yang memperkuat politik elektoral.

Politik elektoral menyuburkan praktik money politics dan menguatnya oligarki politik. Kondisi ini menghambat munculnya pemimpin politik berkualitas.

Firmanzah mengingatkan pentingnya penataan hukum. Sistem demokrasi akan berjalan baik dan memberikan manfaat optimal kepada seluruh rakyat jika berjalan seiring dengan tegaknya hukum.

Negara demokrasi adalah negara yang mendukung rule of law. Namun, yang terjadi di Indonesia saat ini, hukum terabaikan. Semua hal dipolitisasi.

“Saya kira Indonesia saat ini sudah over politicized (segala hal dipolitisasi secara berlebihan), dan kita sudah menjadi over politicized society. Ini yang membuat kita sulit maju,” papar mantan Dekan FE UI itu.

Firmanzah menyayangkan semua hal yang ada di negeri ini kerap dipolitisasi, mulai dari angka pengangguran, kemiskinan, dan defisit anggaran. “Seolah-olah tidak ada ruang lain di luar politik,” imbuhnya.

Dia mengingatkan, jika bangsa Indonesia masih terjebak pada pola pikir seperti itu, sulit untuk menyusun dan memformulasikan tata ulang dan institusi yang dulu disiapkan untuk menghadapi Indonesia 100 tahun ke depan.

Dalam menghadapi penanganan pandemi Covid-19, Firmanzah berharap sisi kepentingan politik dapat dikesampingkan sehingga penanganan pandemi bisa tepat dan cepat.

“Sekarang dengan mudahnya ada dokter masuk ke ranah politik, dan celakanya politik elektoral, bukan politik ideologi dan politik etis, tapi politik elektoral yang sifatnya lima tahunan.”

“Jadi, bangsa ini tidak pernah berhenti untuk mendiskusikan, menstigmatisasi, memfragmentasi pilar bangsanya berdasarkan kacamata politik. Ini PR besar buat kita bagaimana bisa keluar sejenak dari aktivitas politik,” ujarnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Sudirman Said. Menurutnya, manakala domain publik ditarik ke domain politik maka akan terjadi kekacauan.

“Kalau kita membiarkan jargon politik mewarnai pengambilan kebijakan, ini akan berat. Jadi, perlu ada keseimbangan di politik, kalau bisa bobotnya sedikit saja,” ujarnya.

Untuk memperkuat kualitas penyelenggara negara, khususnya di eksekutif, Sudirman Said menyarankan agar jabatan publik dibuka bagi teknokrat. Perlu ada orang ahli di bidangnya yang duduk di kabinet agar kebijakan lebih berkualitas.

Sedangkan Ninasapti Triaswati menilai, kondisi krisis saat ini lebih hebat ketimbang krisis sebelumnya. Sebab, semua sektor terkena dampaknya. Pendidikan, misalnya menghadapi tantangan luar biasa besarnya mengingat rasio elektrifikasi belum 100% di semua daerah.

Dalam kondisi itu, harus menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh. Begitupun dengan perdagangan yang terguncang karena harus menjaga jarak sebagai protokol pencegahan Covid-19.

“Tantangan ke depan ini jauh lebih berat. Pemerintah harus lebih cerdas, cepat, dan tepat dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.

Kejujuran

Pada kesempatan tersebut, semua pembicara mengakui, yang menonjol dalam buku kedua Ginandjar adalah kejujurannya dalam menjelaskan semua latar belakang peristiwa yang ingin diketahui masyarakat.

“Ginandjar menulis dengan jujur. Saya jarang membaca keterusterangan seperti yang ada di buku Reinventing Indonesia,” ungkap Ninasapti.

Menurutnya, Ginandjar menjelaskan dengan baik latar belakang tarik-menarik kepentingan di setiap kebijakan penting, khususnya saat krisis ekonomi dan krisis politik 1998. Dengan demikian, pembaca bisa mendapat konteks.

Sedangkan, bagi Firmanzah, Ginandjar adalah penulis romantis selain akademis dan berkemampuan jurnalistik dalam membuat tulisan yang mudah dipahami.

“Saya sebut penulis romantis karena Pak Ginandjar menghindari penafsiran berbeda dan tidak menimbulkan luka pada pihak tertentu. Itu sepertinya gaya para menteri Soeharto.”

“Mereka tidak mengklaim keberhasilan sebagai kontribusinya, juga tidak menjelekkan pihak lain sebagai penyebab kegagalan,” kata Firmanzah.

Sedangkan, Salim Said, selain mengapresiasi buku karya Ginandjar ini, juga berharap banyak para mantan pejabat yang juga menuliskan pengalamannya di pemerintahan.

“Alangkah baiknya langkah Pak Ginandjar dalam membuat buku diikuti oleh ekonom senior lainnya, sebut saja Emil Salim seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, dan politisi Indonesia yang juga berperan aktif di internasional.”

“Pak Ginandjar menceritakan ke kita, dan itu sumbangan besar bagi sejarah politik dan ekonomi Indonesia,” katanya.

Sementara itu, Toto Pranoto mengatakan, buku karya Ginandjar Kartasasmita tersebut sangat menarik dan penting karena memberi gambaran yang jelas situasi-situasi kritis yang pernah dialami banga Indonesia.

“Terutama krisis ekonomi sampai transisi ke Presiden BJ Habibie, digambarkan secara jelas dan detail, dan itu ditulis pelaku sejarahnya secara langsung,” katanya.

Menurut Toto, penerbitan buku ini sangat tepat dengan momentum ancaman krisis yang kembali dihadapi Indonesia akibat pandemi Covid-19.

“Sekarang kita mengalami kembali krisis yang mungkin lebih dahsyat. Di sini pentingnya bagaimana pengalaman birokrasi pemerintah dan teknokrasi mengatasi salah satu krisis yang pernah terjadi dan bagaimana pemulihan yang dilakukan.”

“Saya kira ini cerita yang bermanfaat di mana kita bisa ambil beberapa hal positif agar relevan dengan bagaimana penanganan krisis terkait pandemi Covid saat ini,” ungkapnya. {beritasatu}