Puslit Politik LIPI Nilai Pemerintah Tidak Bijak Jika Tetap Ngotot Gelar Pilkada 2020

Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Politik LIPI) memandang bahwa penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah meningkatnya kasus Covid-19 bukanlah keputusan yang bijak.

Kendati telah diteken dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020, kebijakan tersebut masih diperdebatkan dan pemerintah masih punya waktu untuk mengkaji ulang.

“Kami masih melihat sebetulnya masih ada kesempatan bagi pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan kembali, “kata Kepala Puslit Politik LIPI, Firman Noor, pada Kamis, 1 Oktober 2020.

Firman mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 pada situasi pandemi berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilihan yang aman bagi pemilih. Ini, kata Firman, berdampak pada pelibatan yang terbatas dari rakyat itu sendiri dalam proses pemilihan.

Firman merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk menunda penyelenggaraan Pilkada 2020.

“Sikap berkeras diri untuk tetap melangsungkan Pilkada 2020 bukanlah sebuah sikap bijak dari sebuah pemerintahan demokratis yang terbentuk atas dasar kehendak rakyat,” kata Firman.

Bukan tanpa alasan, Puslit LIPI membeberkan beberapa kajian atas rekomendasi tersebut. Pilkada 2020, tegas Firman, berpotensi menimbulkan pelanggaran kemanusiaan, mengingat tren Covid-19 yang terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Fakta di lapangan terkait dengan pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada 2020 yang telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu menunjukkan bahwa tingkat kedisiplinan masyarakat, peserta dan penyelenggara Pilkada 2020 tergolong masih rendah mematuhi protokol kesehatan.

“Kerumunan massa dan arak-arakan pendukung calon masih terus terjadi dan sulit untuk dikendalikan,” kata Firman.

Perkembangan Indeks Kerawanan Pilkada 2020 yang dikeluarkan oleh Bawaslu juga mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 terdapat 50 kabupaten/kota dengan kategori rawan tinggi, 126 kabupaten/kota rawan sedang, dan 85 kanupaten/kota rawan rendah.

Namun, ada 9 provinsi penyelenggara Pemilu yang seluruhnya dikategorikan rawan tinggi.

Selain itu, kata Firman, kebijakan tetap melaksanakan Pilkada 2020 menunjukkan pula adanya ambivalensi yang berpotensi mereduksi upaya bangsa dalam berperang menghadapi pagebluk.

Pemerintah di satu sisi melakukan pembatasan untuk menghindari kerumunan masyarakat dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. “Namun, di sisi lain memberikan peluang terjadinya konsentrasi massa pada tahapan-tahapan Pilkada 2020,” imbuh Firman.

Selanjutnya, berdasarkan kajian Puslit LIPI, ada kecenderungan tafsiran aturan main pelaksanaan Pilkada 2020 yang debatable. Hal ini khususnya terkait PKPU Nomor 6 Tahun 2020 yang diubah menjadi PKPU Nomor 10 Tahun 2020.

Kemudian diubah kembali menjadi PKPU Nomor 13 Tahun 2020 yang mengatur kebijakan penyelenggaraan Pilkada 2020 pada situasi pandemi Covid-19, yang tidak disebut atau dijelaskan pada UU Nomor 10 Tahun 2020 maupun UU Nomor 6 Tahun 2020.

Lebih jauh, Pilkada 2020 pada akhirnya bukan menjadi prioritas bagi masyarakat secara luas, karena konsentrasi mereka lebih pada bagaimana mengatasi kesulitan ekonomi akibat resesi.

“Ajakan dari beberapa tokoh dan organisasi masyarakat berpengaruh menjadi salah satu indikasi atas suara masyarakat yang sesungguhnya,” tutup Firman. {tempo}