News  

PMII Nilai UU Cipta Kerja Cacat Formil dan Material, Ini Alasannya

Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Agus M Herlambang mengkritik draf UU Cipta Kerja yang masih dalam proses finalisasi naskah padahal sudah resmi disahkan DPR pada Senin malam 5 Oktober 2020.

Selain itu, terdapat isu lainnya yang mengatakan UU Cipta Kerja belum selesai di tahap timmus dan juga pembicaraan tingkat I.

“Disahkannya UU Cipta Kerja terlihat sangat buru-buru, dari mulai tertutup pembahasan UU Cipta Kerja di masa pandemic, dimasukannya sidang paripurna sampai saat sudah disahkan naskah UU Cipta Kerja masih difinalisasi yang konon katanya takut ada typo.”

“Dari sini saja terlihat UU Cipta Kerja cacat formil. Semoga saja tidak mengubah secara diam-diam pasal-pasal yang telah ada sebelumnya.,” kata Agus, Minggu (11/10/2020).

Agus menjelaskan undang-undang yang disahkan secara buru-buru tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat, serta dapat dianggap sebagai cacat hukum formil dan material.

Diketahui, lebih lanjut, cacat material berkaitan dengan subtansi UU sedangkat cacat formil berkaitan dengan prosedur pembuatan UU.

“Sungguh luar biasa UU Cipta Kerja yang hampir seribu halaman itu cukup singkat pembahasannya di DPR, dan disahkan dengan begitu cepat. Alhasil draf UU Cipta Kerja setelah disahkan masih harus difinalisasi bahkan anggota DPR pun belum menerima draf UU Cipta Kerja,” tuturnya.

Agus mengatakan UU Cipta Kerja tidak menciptakan birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance.

Sebab, untuk mewujudkan itu, UU Cipta Kerja harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni kepastian hukum, kemanfataan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik.

Namun, jika dilihat yang terjadi dalam pengesahan UU Cipta Kerja, kata dia, pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas-asas di atas, diantaranya DPR dalam pembentukannya tidak terbuka saat melakukan pembahasan UU Cipta Kerja.

Lalu, sebelum disahkan pun UU Cipta Kerja masih melakukan finalisasi agar tidak ada typo, hal ini berarti DPR tidak cermat dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

“Kemudian, bila berbicara asas keberpihakan, UU Cipta berpihak kepada siapa? Para investor kapitalis dan oligarki atau rakyat kecil?”

“Serta, Pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU Cipta Kerja justru menyalahgunakan wewenangnya dengan tergesa-gesa mengesahkan UU Cipta Kerja tanpa kejelasan prosedur pembentukan UU yang baik,” kata Agus.

Mengenai persoalan draf UU Cipta Kerja saat sidang paripurna belum dibagikan kepada anggota DPR,Agus merasa itu sangat aneh.

“Bagaimana bisa DPR mengetok sah, padahal anggota DPR-nya saja belum memegang draf UU Cipta Kerja. Berarti itu bisa jadi juga belum dibaca oleh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna,” tandasnya.

Sekali lagi, Agus tekankan pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil.

“Dan, sudah seharusnya jika terdapat uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya mempertimbangkan dengan matang dan memutus bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tekan Agus.

Alasan UU Cipta Kerja Dibutuhkan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan alasan di balik pembuatan UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah untuk memastikan terbukanya lapangan pekerjaan seluas-luasnya.

Merujuk pada latar belakang pendidikan pekerja yang didominasi tingkat menengah kebawah, Airlangga mengatakan yang paling sesuai adalah untuk sektor padat karya.

Maka tak heran, pemerintah gencar menggaungkan investasi melalui UU Cipta Kerja. Alasannya tak lain dimaksudkan untuk dapat menyerap lebih banyak pekerja dari jumlah yang dominan tersebut.

“Kita tahu di setiap tahun ada 7 juta masyarakat yang belum mendapat kerja atau menganggur. Kemudian dari pendidikan menghasilkan sekitar 2,9 juta setiap tahun.”

“Dan nature dari pekerja itu 87 persen itu adalah mereka yang pendidikanya itu menengah kebawah. Dari yang menengah kebawah itu kira-kira 36 persen itu adalah pendidikan SD,” kata Menko Airlangga dalam wawancara khusus bersama Liputan6.com, Jumat (9/10/2020).

Sehingga, lanjut Menko, untuk tenaga kerja dengan latar belakang seperti itu, maka sektor yang paling memenuhi kriteria adalah sektor padat karya.

“Padat karya itu bisa dilakukan dari sektor manufaktur, sektor pertanian, sektor perkebunan, kemudian sektor restoran, sektor perdagangan, sektor jasa,” kata dia.

Menilik pada perkembangan covid-19 di tanah air, Airlangga menuturkan perlunya UU Cipta Kerja untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Termasuk penciptaan lapangan pekerjaan.

“Yang perlu dilakukan sesudah adanya vaksin adalah restructuring atau pembangunan kembali. Pembangunan kembali itulah yang didukung oleh UU cipta kerja.”

“Dan cara kita bekerja sebelum dan sesudah covid ini tidak akan sama, ada sebagian bisa work from home dari kantor kemudian sebagian masuk ke akselerasi digital,” kata dia.

“Tetapi kuncinya satu bahwa pendidikan lulusan pada pekerja di Indonesia pendidikannya masih pendidikan menengah ke bawah, Sehingga lapangan kerja yang sifatnya Padat Karya diperlukan, makanya ciptaker ini sangat diperlukan pada saat seperti ini,” jelas Menko. {liputan6}