News  

Presiden AS Tak Dipilih Langsung Rakyat Tapi Lewat Sistem Electoral, Ini Penjelasannya

Donald Trump dan Joe Biden saling serang dan terus mencari panggung untuk memperebutkan kursi Presiden AS. Nasib jagoan Partai Republik dan Demokrat itu akan ditentukan dalam Pemilu AS pada 3 November 2020.

Meski baru digelar 3 November, sejak pekan lalu, lebih dari 50 juta penduduk di sejumlah negara bagian telah berbondong-bondong ke TPS untuk menggunakan hak suara.

Selain untuk memecah kerumunan di tengah pandemi corona, sistem ‘Pemilu AS duluan’ ini disebut dengan absentee and early voting; pemungutan suara bagi mereka yang tak bisa memilih di hari H karena pekerjaan, akan bepergian, atau sakit. Pemilih bisa ke TPS langsung atau meminta surat suara via pos.

Saat pemungutan suara, fokus warga AS bukan memilih Trump maupun Biden. Di surat suara, mereka harus ‘menyelamatkan’ capresnya dengan memilih kandidat perwakilan di electoral college. Kandidat perwakilan ini disebut sebagai electors.

Mengutip situs pemerintah AS, usa.gov, electoral college adalah lembaga konstitusional yang memilih presiden dan wakil presiden AS setiap 4 tahun sekali.

Lembaga ini memiliki 538 anggota (electors) mewakili setiap negara bagian yang terdiri dari 435 anggota DPR (partai), 100 senat, dan 3 perwakilan dari ibu kota Washington D.C.

Calon electors inilah yang dipilih oleh warga AS saat pemungutan suara. Untuk ada di surat suara, electors dinominasikan langsung oleh partai atau orang yang terafiliasi langsung dengan capres. Mereka akan menjadi ‘wakil rakyat’ untuk memberikan suaranya ke Trump atau Biden.

Di dalam TPS, warga AS memang bisa memilih langsung Trump atau Biden. Tetapi, suara mereka hanya untuk dihitung dalam popular votes (pemilu nasional). Sementara kemenangan capres bukan ditentukan dari suara rakyat terbanyak, melainkan dari electoral votes.

Di dalam surat suara, nama calon electors biasanya ada di bawah nama kedua capres-cawapres. Meski, pengaturan letak nama calon electors tergantung masing-masing negara bagian.

Jatah suara elektoral di setiap negara bagian berbeda-beda karena mengikuti jumlah senat dan anggota DPR-nya. California memiliki jatah terbanyak, yakni 55 suara. Selanjutnya ada Texas sebanyak 38 suara, disusul Florida dan New York 29 suara.

Khusus ibu kota, Washington D.C memiliki 3 electors, setara dengan negara bagian yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit seperti Wyoming, Vermont hingga Alaska.

Perlu digarisbawahi, seluruh negara bagian –kecuali Maine dan Nebraska– menerapkan electoral votes dengan prinsip ‘Winners Take All’.

Ambil contoh, jika elector pendukung capres A menang di Florida dengan perbandingan 15 suara elector A dan 14 suara electors pendukung B, suara untuk elector B akan hangus. Elector A menggondol keseluruhan suara.

Sementara Maine dan Nebraska membagi suara elektoral berdasarkan proporsi suara yang diterima masing-masing calon presiden dalam popular votes. Kedua negara bagian ini masuk kategori swing state (pemenang belum bisa ditebak).

Capres biasanya akan bersusah payah berkampanye di swing state. Mereka tidak akan pernah membuang waktu kampanye di negara bagian yang sudah mengunci dukungan (California condong Demokrat, Wyoming condong Republik).

Untuk menang di Pemilu AS, capres setidaknya harus mengantongi minimal 270 suara electors.

Penghitungan suara elektoral biasanya dilakukan pada bulan Desember, setelah penghitungan popular vote (suara nasional) telah berakhir pada November. Winner Takes All: selisih 1 persen saja, ia tetap akan menang.

Apakah capres yang menang dalam popular votes (suara rakyat terbanyak) bisa kalah dalam electoral votes?

Tentu saja. Sangat bisa. Nasib sial ini dialami oleh mantan capres AS, Hillary Clinton. Dalam popular votes, Hillary unggul dua juta suara di atas Trump (63.964.956 berbanding 62.139.188).

Sayangnya, Hilary kalah saat electoral votes. Hasil akhir menunjukkan Trump unggul 306 suara elektoral ketimbang Hillary yang meraih 232 suara.

Begitu juga yang terjadi saat George W Bush mengalahkan Al Gore pada Pemilu 2000; Grover Cleveland yang jadi presiden pada 1888; Samuel Tilden mengalahkan Rutherford B. Hayes pada 1876, dan Andrew Jackson menang atas Quincy Adams pada 1824.

Jadi, hasil elektoral tidak selalu sejalan dan sebanding dengan hasil pemilu nasional. Itu risikonya.

Kenapa harus pakai electoral college?

Ya, memang sudah dari sananya. Dilansir Vox, electoral college pada dasarnya adalah struktur peninggalan era lampau dari pendiri AS. Secara khusus, mereka tidak menginginkan suara nasional dari rakyat Amerika untuk memilih presiden berikutnya.

Mereka memberikan sekelompok kecil orang-orang terpilih untuk memilih presiden. Menurut David Barton dalam bukunya, The Electoral College: Preserve It or Abolish It?.

Sistem ini dibuat dengan alasan untuk menyeimbangkan proporsi kekuasaan antarnegara bagian yang disesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.

Sudah bertahun-tahun lamanya, jajak pendapat menunjukkan mayoritas orang Amerika lebih memilih sistem suara populer pemilu nasional daripada electoral college. Misalnya, jajak pendapat Gallup 2013 sudah lama menunjukkan 63 persen orang ingin menghapus sistem ini.

Belum lagi kalau-kalau ada kasus unfaitful electors yang membelot dari partai dan mengkhianati capres partainya di electoral college.

Untuk menyingkirkan electoral college sepenuhnya, AS harus mengesahkan amandemen konstitusional (disahkan oleh dua pertiga dari DPR dan Senat dan disetujui oleh 38 negara bagian). Atau, mengusulkan konvensi konstitusional. {kumparan}