News  

Menyoal Kembali Bisnis TNI

Tak terasa sudah 20 tahun lebih reformasi berlalu, dan dengan hal itu sudah lebih dari dua dekade pula institusi TNI kembali ke khittah dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan negara (state sovereignty).

Keterlibatan institusi loreng di ranah sipil dibatasi, diatur, dan dikikis demi terwujudnya supremasi sipil. Hal ini sekaligus meniscayakan reformasi di tubuh TNI untuk semakin profesional.

Reformasi mengamanatkan ditegakannnya profesionalitas TNI dengan dicabutnya Dwi Fungsi (Dual Function). Anggota TNI tidak lagi berpolitik praktis dan meninggalkan semua unit bisnis yang dimiliki demi tercapainya TNI yang profesional dalam negara yang demokratis.

Semenjak 1998 hingga sekarang profesionalitas TNI membuahkan hasil ditandai dengan tingginya kepercayaan publik kepada TNI. Larangan keterlibatan TNI dalam politik praktis dan bisnis disebutkan dalam UU nomor 34 Tahun 2004 pasal 39 ayat 2 dan 3.

Berdasarkan hal tersebut di atas, prajurit TNI yang masih aktif tidak diperbolehkan berbisnis, karena peran dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak menimbulkan conflict of interest / konflik kepentingan yang menyebabkan timbulnya Abuse of Power.

Profesionalitas TNI pula diamanatkan dalam UU TNI no 34 tahun 2004 Pasal 2 Huruf D, bahwa tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlakulan secara baik, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, Hak Asasi Manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Di era Revolusi Industri 4.0, tuntutan TNI untuk menjadi tentara profesional makin diperlukan. Namun demikian, nampaknya belakangan godaan kepada TNI untuk kembali berpolitik praktis dan berbisnis kian kuat. Ditemukan berita di Tempo.co pada tanggal 19 Oktober 2020 dengan judul “Panglima TNI Instruksikan Anggotanya Berjualan” di sebuah toko online bernama LaDaRa.

Dalam surat telegram oleh Panglima TNI yang ditandatangani oleh asisten teritorial Panglima TNI Mayor Jenderal TNI Matsuni yang berbunyi:

“Diberitahukan bahwa dalam rangka HUT TNI ke 75 LaDaRa akan melaksanakan gebyar 75 tahun TNI dengan bagi-bagi voucher belanja produk UMKM Anggota Darma Pertiwi dan Promo LaDaRa emas bagi 10 ribu user pertama, memerintahkan kepada alamat tersebut agar memerintahkan satuan jajarannya mengerahkan anggota agar mendaftar dan berinteraksi serta berjualan di toko online tersebut”.

Di tengah maraknya ancaman terhadap negara dari yang berskala lokal, regional, nasional, dan bahkan internasional, semisal banyaknya korban dari pihak TNI pada konflik separatisme Papua, maraknya demonstrasi terhadap UU Omnibuslaw di banyal titik yang entah kapan ujungnya, ancaman terorisme dan radikalisme, hingga ancaman teritori seperti Perang di Laut Cina Selatan, sangat ironis jika TNI meninggalkan khittahnya sebagai tentara profesional yang sudah dilakukan selama 20 tahun terakhir.

TNI terciderai khittah dan fokusnya dengan tergoda untuk kembali melakukan aktivitas bisnis yang justru menyebabkan TNI terjerambab ke dalam “Abuse of Power” dan akan memperlemah sektor pertahanan dan keamanan negara.

Sepertinya, terjadi mispersepsi pada pengambil kebijakan tersebut dalam memahami ancaman Revolusi Industri 4.0 dengan melakukan bisnis online. Padahal sesungguhnya ancaman Revolusi Industri 4.0 itu adalah perpaduan (hybrid) antara ancaman fisik dan ancaman cyber terhadap pertahanan negara, seperti serangan hacker dan penyebaran informasi sesat melalui cyber platform.

Justru, dengan melakukan bisnis online tersebut akan mengurangi performa TNI dalam menghadapi ancaman cyber warfare dan membuka celah bagi serangan cyber dari pihak lawan untuk langsung masuk menyerang aset TNI. Sebab, Cyber Spying akan dengan mudah melakukan sedot informasi dalam Big Data TNI karena algoritma, habit, dan data anggota TNI tersedia pada platform bisnis tersebut. Padahal di negara lain, military troops dijauhkan dari aplikasi cyber dengan kepentingan untuk menjaga aset dan kerahasiaan negara.

Alhasil, jangan lah hanya karena kepentingan orang dekat di lingkungan TNI menjadi dasar kebijakan yang justru akan merugikan institusi TNI sebagai alat pertahanan negara yang paling utama. [ruangide]

Surya Fermana, Pengamat Militer dan Intelijen