News  

Suga, Syamsul, Seediq…

Politik luar negeri adalah pancaran kepentingan dalam negeri. Namun, mampukah politik menjadi gelombang energi yang berasal dari perjalanan seseorang?

Sebelum Yoshihide ‘Ganesha’ Suga menjadi Perdana Menteri yang pertama dalam Era Reiwa, Jepang seakan tak dihitung lagi. Angkatan Perang China, Amerika Serikat, dan sejumlah negara sedang berlomba di Laut China Selatan. Jepang tak disebut. Kekuatan militer Jepang juga melorot.

Sebulan setelah Suga menjadi PM, Jepang seperti mendongak. Jumlah belanja pasukan beladiri Jepang meloncak berlipat kali. Jepang meraih sejumlah kesepakatan penting dengan negara-negara terkuat di dunia.

Pedang Samurai seperti memapas bunga-bunga seruni. Upaya saling memunggungi, menaungi, memojokkan, seperti mulai berhenti. Katana kembali memainkan ilmu kas Jepang: membonsai.

Kenapa bisa?

Suga muncul bukan dari klan, faksi, ataupun kekuatan lama dalam tubuh partai yang berkuasa di Jepang. Ia hadir diusung oleh sekelompok anak-anak “kemaren sore” dalam tubuh parlemen nasional Jepang.

Mereka dikenal sebagai kelompok Ganesha. Tak punya kran-kran uang. Tak dapat fasilitas dari sekretariat partai. Tak punya ayah-kakek di parlemen sebelumnya.

Mereka berasal dari kelompok yang pertama kali masuk parlemen dalam tubuh keluarga besar masing-masing. Bahkan di tingkat parlemen lokal. Yang baru yang menggejuju. Tak menepuk dada. Tak juga menyebut diri sebagai kelompok “pembersih”.

Semula, mereka berjumlah 14 orang. Jangan dikira menjadi anggota parlemen Jepang sesantai, sesantuy, dan selamban anggota parlemen Indonesia.

Hampir tak ada hari libur. Seorang anggota parlemen Jepang selalu punya tiga jenis baju: kematian, pesta perkawinan, dan biasa.

Mereka bakal tiba secepat yang tercantum dalam detik acara ke lokasi atau tempat yang ditunjukkan oleh konstituen yang mengundang. Tentu dengan meninggalkan waktu bersidang. Mereka kembali ke parlemen, bersidang lagi.

Dengan kaum Ganesha inilah, Suga menuju puncak. Seperti Amaterasu Omikami, Suga ada di sana dengan membakar seluruh jenjang yang ia lalui. Sebab Ganesha hanya belalai, bukan faksi baru.

Suga adalah Tariq bin Ziyad (711 Masehi) abad ini. Ketika berada di puncak, Suga tak perlu lagi berkompromi dengan kelompok elite manapun. Ia menyampaikan agenda-agendanya dengan presisi. Tak ada yang bisa melawan. Sebab bakal terbakar.

***

Saya telusuri riwayat Suga.
Jdeer!

Suga berasal dari perfecture paling terpencil Yuzawa, Akita. Daerah yang dipagari gunung-gunung tinggi. Pernah dihuni manusia asli Jepang, sebelum ditundukkan oleh balatentara kerajaan.

Suga adalah seorang berlatar petani strawberry. Ah, seperti melihat seseorang muncul dari arah Lembang, di tengah kebun strawberry plus ternak kelinci, lalu hadir sebagai presiden di negeri ini.

Tentu kebun strawberry yang sangat luas, bukan berubah terus makin tersingkir digantikan oleh bangunan seperti di jalanan Lembang menuju Tangkuban Perahu.

Saya makin takjub. Suga menamatkan sarjana hukum dari Hosei University, Tokyo, pada tahun 1973. Ia sekolah malam. Hosei University selalu saya ingat sebagai kampus yang meloloskan Syamsul Hadi, sahabat baik saya sejak kuliah di UI.

Syamsul bahkan datang ke Jepang bukan sebagai mahasiswa undangan. Ia “melarikan diri” dari program pertukaran pemuda Jepang – Indonesia. Ia tak bisa berbahasa Jepang. Ia mempraktekkan “ilmu” Antonio Banderas dalam film the 13th Warrior.

Sebagai dutabesar kiriman Baghdad, Achmad ibnu Fadhlan bergabung dengan 12 orang jagoan Viking menaklukkan kaum barbar yang berprilaku seperti srigala.

Tentu, saya tidak percaya dengan itu. Ketika Syamsul bertemu saya di kantor Yayasan Harkat Bangsa, Jalan Proklamasi Nomor 41.

“Bagaimana anda bisa masuk ke sini, sementara anda tidak bisa berbahasa Jepang?” tanya profesor Jepang dalam bahasa Tarzan kepada Syamsul.

“Kasih saya waktu sebulan (saya lupa, apa dua minggu)” kata Syamsul.

Ia bercerita hampir menangis. Ia berpuasa. Semacam mati geni. Memusatkan pikiran. Sahabat saya yang lain, Luthfi Ihsana Nur dari Sastra Russia, menyebut sebagai lelaku Laduni. Atau entah apa.

“Tetapi, ada barter tertentu,” jelas Luthfi. Aduh. Barter? Apa?

Iman saya ikut runtuh dengan seluruh irrasionalitas itu. Dalam dua semester awal di UI, saya “membunuh” ilmu berbahasa asing saya, setelah bertemu dengan Ajo Yun. Padahal, saya sedang asyik dengan mata kuliah Bahasa Jepang, Bahasa Perancis, Bahasa Belanda.

“Menguasai bahasa asing adalah kejahatan. Gua lulusan Sastra Inggris. Lindungi negara ini dengan aksara sendiri,” ujar Ajo Yun.

Catatan harian yang saya tulis dalam bahasa Inggris segera berubah menjadi bahasa Indonesia. Ada banyak sekali lembar otentiknya.

Syamsul menggondol status sebagai lulusan terbaik Hosei University tahun 2003. Disertasinya terpilih sebagai karya terbaik dalam Majalah terkenal Forreign Affairs.

Mahathir Mohammad menjadikannya sebagai “konsultan pribadi” dalam menangani krisis keuangan Malaysia. Syamsul memang ‘mengejek’ Anwar Ibrahim yang liberal, padahal berasal dari organ pemuda Islam paling radikal di dalam sejarah Malaysia moderen.

Syamsul meninggal dalam usia muda, Oktober 2014. Saya menangis. Meraung. Menutup diri. Sama seperti sahabat saya Azwar Zulkarnaen juga meninggal, diserang kangker ganas yang cepat berkembang.

Azwar, aktivis mahasiswa paling berani asal Bandung. Tapi juga paling sederhana ketika hidup di pusaran lampu menggoda Jakarta.

Saya menulis surat terbuka kepada Presiden Terpilih Jokowi, awal Oktober 2014, lalu menceritakan Syamsul. Sebelum kabinet dibentuk. Lalu saya berangkat umroh, menghindar dari Munas Partai Golkar di Bali.

Cetak biru saya waktu itu kepada Presiden Jokowi: pilih anggota kabinet dari mereka yang segenerasi, berusia empat puluh tahun, lalu hampir setengah usia sudah saling berdebat di kampus-kampus dalam dan luar negeri.

Syamsul, Rizal Ramli, Thamrin Amal Tamagola, Frans Magnis Suseno, Benny Susetyo, Mohammad Sobari dan sejumlah nama lain adalah “otak” dibalik pilihan saya masuk partai politik.

Anies Baswedan juga hadir. Di rumah Rizal Ramli di Tebet. Tahun 2008. Saya satu-satunya kelinci yang belum pernah dicoba guna masuk partai. Untuk berbuat sesuatu. Atau hancur.

Saya tidak tahu, apakah Syamsul berkomunikasi dengan Suga. Saya belum memeriksa arsip laki-laki kelahiran Nganjuk, 26 Juli 1969 ini. Lelaki yang indekos di Kukusan, Depok, kerempeng, tapi berani membuka dada.

Ia merokok, ketika saya masih “mengharamkan” benda itu. Ia menjadi salah satu penulis dalam jurnal yang berisi tulisan sejumlah mahasiswa top UI.

Syamsul Hadi adalah anggota Komisi Hubungan Luar Senat Mahasiswa UI generasi awal. Saya juga bagian dari itu, generasi berikut. Syamsul selalu menjadi sterring committee kepanitiaan yang saya komandani.

Tulisan dia sudah “nongol” di Media Indonesia. Wajahnya selalu tersenyum, apalagi melihat buku-buku yang saya baca. Ya, saya sudah “selesai” dengan status kemahasiswaan saya, karena sejak SD, SMP dan SMA sudah menamatkan membaca buku-buku “berat”.

Jadi? Tangan saya penuh dengan buku-buku seperti Jurgen Habermas, Ivan Illich, Erns Cassirer, Carl Gustav Jung, Annemarie Schimmel, dan semacam itulah.

Saya mempelajari ajarab agama Budha, Hindu, pun tentu Kristen dan Katolik. Yudaisme pun saya pelajari. Buku-buku tentang puisi Jallaluddin Rumi, paling saya gemari. Pun perempuan sufi itu.

Kesamaan saya dengan Syamsul?

Orang kampung. Satu foto yang diambil beberapa kali berisi kami bertiga: saya, Syamsul dan Gatot Prio Utomo (sudah doktor, anak Lampung). Atau saya, Sutana dan Syamsul. Lho? Ya, kami berempat. Salah satu yang memotret. Dalam frame, tiga orang.

Yang menarik, soal siapa yang duduk di tengah. Tempat bagi yang mati duluan, dalam mistisisme foto ala tahun-tahun itu.

Karena tidak ada yang mau, saya duduk di tengah. Lalu bercerita dengan berlagak. Intinya, saya menyatakan di dalam frame itu selalu lebih dari tiga orang. Cuma, tak tertangkap teknologi.

“Ini kita bertiga. Tapi di dalam rumah kost di belakang kita. Di balik semak itu. Ada banyak manusia. Nah, cari titik tengahnya. Itu yang mati duluan!”

Ya, kira-kira begitu.

Dan, eh, layak dicatat: Syamsul, Sutana dan Gatot adalah senior-senior saya di fakultas yang berbeda. Sejak awal, selalu salah gaul. Dengan mereka yang lebih senior.

Ketika Syamsul belajar di Jepang, Suga sudah terpilih menjadi anggota parlemen Jepang. Ketika Syamsul kembali ke Indonesia, Suga sudah menjadi menteri tahun 2005.

Tentu, saya perlu mengecek seluruh data kepada sejumlah sahabat saya orang-orang Jepang, baik yang meneliti di CSIS, Kedutaan Jepang, Japan Foundation, atau Pusat Kebudayaan Jepang di UI.

Noriko Miyake, seseorang yang dekat dengan kantor perdana menteri dan tentu dutabesar Jepang di Indonesia, adalah salah seorang yang sering bertemu.

Minako Shima, kawannya yang juga diplomat di sebuah negara, adalah teman korespondensi saya sejak kuliah di UI.

Sebab, saya pernah mengajari Minako cara membuat ketupat dari daun kelapa, dikelilingi puluhan mahasiswa Jepang dari Chou University. Plus tentu dari mahasiswa Jurusan Sastra Jepang di UI.

***

Indonesia adalah negara kedua yang dikunjungi Suga setelah terpilih menjadi PM. Pilihan itu berdasar. Vietnam menjadi Ketua ASEAN 2020. Posisi yang sama tahun 2010, manakala China menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.

Sebagai “penakluk” Rambo, Vietnam tergolong negara yang punya disiplin tinggi dalam mengejar ketertinggalan. Menyebalkan melihat pemain bola mereka berlaku kasar kepada pemain Indonesia. Tapi dibalik itu, Vietnam berani merebut luka dengan cara melukai.

Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN. Bersama Jepang, berada dalam komposisi 20 negara paling kuat sejagat ekonomi.

Sekaligus tempat sekretariat tetap organisasi yang didirikan dengan jenius oleh Adam Malik dan kawan-kawan. Diluar itu, Vietnam bersama Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Jauh sebelum Indonesia dan Vietnam merdeka, Tan Malaka dan Ho Chi Minh yang menjadi Bapak Pendiri Vietnam, bertemu dalam kegiatan Kominteren di Moscow tahun 1922.

Tan berbicara selama lima menit menjelaskan Kerjasama Pan Islamisme dengan Komunis. Islamisme bisa corak baru dalam menghadapi imperealisme. Ho Chi Minh berbicara dalam usaha menuju kemerdekaan bangsanya dari Perancis.

Yang mencengangkan, Suga berhasil menjemput kertas penting ke kota Ho Chi Minh berisi perjanjian Kerjasama pertahanan dengan Vietnam. Dalam Global Fire Power 2020, Jepang menjadi kekuatan militer nomor lima di dunia. Vietnam berada pada urutan ke 22.

Walau tak banyak bicara seputar kerjasama militer itu, Indonesia berada di urutan 16, dua tingkat di atas Israel yang meraih posisi ke 18. Satu negara ASEAN lain, Thailand, berada di urutan ke 23 dunia.

Empat negara ini, bila digabung sebagai kekuatan militer, tentu mampu bicara “sedikit”, namun menekan, dalam pertarungan di Laut China Selatan.

Yang makin menarik dari segi demografi. Indonesia, Thailand dan Vietnam seakan sedang menuju populasi penduduk muda produktif dibanding yang tidak produktif.

Intensitas angkatan muda yang besar itu sedang bergerak di Thailand dalam aksi demonstrasi mahasiswa. Bonus demografi yang bertenaga.

Kehadiran Suga memberi angin dingin dalam panas kayuhan perlombaan senjata tempur yang mulai memenuhi Kawasan Pacific. Kendali Suga terlihat dari ketegasan proposal-proposal yang diajukan ke sejumlah penjuru negara.

Di dalam negeri, Suga malah dituduh paling arogan oleh Partai Komunis Jepang. Suga menolak enam nominasi scholar Lembaga Ilmu Pengetahuan Jepang yang berpengaruh.

Jepang, dalam setiap potret samurai yang diperagakan, terkenal juga sebagai pemimpin di bidang peraihan sains dan teknologi.

Pria kelahiran 6 Desember 1948 itu secara lincah menenun serat-serat pengaruh dari lambang Ganesha, gajah yang dipercaya sebagai wadah ilmu pengetahuan.

Ketika Indonesia membunuh 24 ekor gajah selama lima tahun terakhir, pancaran cahaya hewan purba ini berbeda di Jepang.

Dua kandidat yang disingkirkan Suga juga bukan main-main, sosok yang menjadi triumvirat negara-negara demokratis bersama Menteri Dalam Negeri, yakni Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan.

***

Hubungan Jepang sedang tidak membaik dengan sejumlah negara. Namun seorang Suga yang berangkat dari visi besar Restorasi Meiji di Jepang ini sungguh memberi kejutan, sekaligus keyakinan diri.

Restorasi telah membelakangkan para tuan tanah dan kaum samurai. Tiga kelomopok maju ke depan: pedagang, petani dan nelayan. Pedagang kelontong Jepang dikenal sebagai intelijen kuat sebelum Perang Dunia Kedua.

Nelayan Jepang adalah penyedot ikan terbanyak di Samudera Atlantik dan Pasifik. Keberhasilan reformasi agraria di Jepang telah membuat petani Jepang sebagai stabilisator yang memberi dampak kuat di pedesaan.

Dalam pentas yang berkebalikan, Jepang pernah menghadapi kaum hutan rimba suku pedalaman Taiwan. Mona Rudao menjadi simbol utama. Tahun 1930, Mona memimpin pergerakan 300 orang suku Seediq terhadap penjajahan Jepang.

Film berdurasi 4 jam produksi John Woo berjudul Warriors of the Rainbow: Seediq Bale membawa kisah itu makin mendunia. Film yang luar biasa dari sisi sinematografi.

Penuh nilai. Jantan. Benar-benar suara dari rimba raya dengan pengorban semua pihak. Balatentara Jepang yang bersenjata modern bahkan menggunakan zat pembunuh yang dijatuhkan dari pesawat.

Suga, bisa saja sudah menonton film itu. Posisi daerah kelahirannya ikut terangkat. Suku pedalaman disana dibunuh pasukan dari dunia modern Jepang.

Mona Rudao yang memenggal kepala tantara Jepang, Suga sesak dengan kisah berdarah di daerah asalnya. Kekuatan suara pedalaman dari hutan rimba Yuzawa bergemuruh dalam lelaku Suga.

Berapapun harganya, dunia tidak bisa lagi diserahkan kepada senjata-senjata modern. Walau, cara melawannya juga dengan mempersenjatai diri dengan teknologi modern.

Sejumlah negara tunduk kepada suara rimba raya itu, termasuk Australia yang juga tak bersahabat dengan kaum Aborigin.

Suga menempatkan diri sebagai Seediq yang telah membakar seluruh bangunan primordial politik yang bersarang di dalam partai yang sejak tahun 1996 diwakili Suga dari Yokohama. Ganesha makin menambah kekuatan itu.

Sayang, Suga tidak sempat ke Mentawai, kepulauan yang menjadi asal muasal dari rotan khusus yang hanya boleh diekspor ke Jepang. Rotan yang sering menemani masa kecil saya. Kecil, putih, bersih, sebagai tempat duduk paling mahal bagi peradaban Jepang.

Kehadiran Suga adalah berita baik bagi kaum tani di seluruh Kawasan, termasuk di Borneo. Suara hutan rimba suku-suku pedalaman yang kini dihantam badai modernisasi akibat pertambangan, pembalakan, dan pengerukan logam yang membunuh biota bumi.

Suga, adalah cerita dari kaum kampungan seperti Syamsul Hadi dan kami yang hadir dalam arus zaman. Suga adalah Seediq yang bisa jadi bakal membangun Kembali seluruh kekuatan pedalaman, kaum tani, irigasi, dan bumi yang tak boleh lagi menangis!!!

Indra J Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara