News  

Bosan Latihan Tiap Hari, Sutiyoso: Prajurit TNI Ingin ada Perang dan Pertempuran

Mantan Komandan Korps Marinir, Letjen TNI Mar (Purn.) Alfan Baharudin, pernah mengatakan jika masa damai adalah masa menyiapkan perang. Bukan cuma di kesatuan elite Marinir Tentara Nasional Angkatan Laut (TNI AL), berlatih jadi kewajiban bagi seluruh kesatan TNI di semua matra.

Pernyataan Alfan menegaskan jika setiap prajurit TNI perlu meningkatkan kemampuan tempur, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk konflik bersenjata. Akan tetapi, ada fakta lain yang dilhat mantan Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya), Letjen TNI (Purn.) H. Sutiyoso.

Pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, justru membeberkan kenyataan bahwa prajurit TNI justru bosan latihan.

Dalam pengamatan VIVA Militer, Sutiyoso memberikan pernyataan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan di akun Youtube Talk Show tvOne, 5 September 2020 lalu.

Sutiyoso yang dikenal sebagai prajurit tempur di kesatuan elite TNI Angkatan Darat, jelas tahu persis bagaimana seorang prajurit disiapkan untuk menghadapi perang.

Sutiyoso yang merupakan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), memastikan tiga hal yang harus dimiliki oleh setiap prajurit TNI mulai dari agresivitas, Jiwa Korsa, dan kesetiakawanan.

“Saya mempunyai pengelihatan dan pengetahuan besar sekali terhadap para prajurit di pasukan tempur terutama. Ada sebuah indoktrinasi yang mengarah kepada bagaimana membuat prajurit itu mempunyai agresivitas yang tinggi.”

“Prajurit tempur itu harus agresif, tidak boleh ragu-ragu pada saat komandannya ngomong ‘Serbu!’,” ujar Sutiyoso.

“Yang kedua ditanamkan jiwa corsa. Jiwa corsa ini penting, supaya dia bangga terhadap satuannya. Di sisi lain kalau ditugaskan tidak sukses dia akan malu. Yang ketiga adalah kesetiakawanan, dia satu sama lain harus memiliki kesetiakawanan.”

“Kecuali diindoktrinasi memang tumbuh secara otomatis. Mereka latihan bersama, melakukan tugas bersama, di asrama bersama, jadi kebersamaan itu menyebabkan memiliki kesetiakawanan,” katanya.

Akan tetapi di sisi lain, Sutiyoso juga tahu bahwa para prajurit TNI juga adalah manusia biasa. Oleh sebab itu, dengan intensitas latihan setiap hari, Sutiyoso meyakini ada sisi jenuh dan bosan yang dirasakan oleh para prajurit. Pasalnya, para prajurit ini hanya melakukan latihan secara terus menerus.

Sementara pada faktanya, tidak ada pertempuran yang jadi media untuk menujukkan hasil latihannya. Sutiyoso mengibaratkan setiap prajurit TNI adalah seorang petinju, yang setiap hari mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan di atas ring.

“Sekali lagi, latihan yang diberikan oleh para perwiranya tadi dan juga indoktrinasi itu adalah disiapkan untuk bertempur. Prajurit itu dilatih terus-terusan dan itu menjadi membosankan.”

“Karena apa, dia dilatih bertempur tapi tidak pernah dipraktekkan bertempur dengan siapa. Itu masalah yang perlu dicatat,” ucap Sutiyoso melanjutkan.

“Jadi ilustrasinya seperti petinju. Petinju itu dilatih fisik dilatih mukulin samsak habis-habisan setiap hari. Harapannya apa dia dilatih setiap hari, dia naik ring dihadapkan kepada musuh yang sebenarnya.”

“Kira-kira ilustrasinya seperti itu. Sama juga anak-anak ini, latihan membosankan, terus-terusan seperti itu, tetapi tidak pernah dikirim untuk mempraktekkan keterampilannya itu,” katanya. {viva}