Kedelai Mahal, Perajin Tahu dan Tempe Mogok Produksi Awal Tahun 2021

Para perajin tahu dan tempe di DKI Jakarta dan Jawa Barat akan melakukan aksi mogok produksi pada 1,2 dan 3 Januari mendatang. Itu dilakukan sebagai bentuk protes atas harga kedelai yang tinggi.

Rencana aksi diketahui dari surat Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) tertanggal 29 Desember 2020 kepada Pusat Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia (Puskopti).

“Dengan ini pengurus Gakoptindo mendukung penuh langka dan upaya yang dilakukan oleh Puskopti DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk melakukan mogok produksi yang dilaksanakan pada tanggal 1, 2, 3 Januari dengan tujuan agar kenaikan harga tahu dan tempe bisa kompak,” demikian bunyi surat tersebut.

Untuk Puskopti di wilayah lainnya di seluruh Indonesia, dapat melakukan penyesuaian dalam menyikapi hal tersebut dengan mempertimbangkan situasi kondisi dan kemampuan di daerah masing-masing.

“Kami pengurus Gakoptindo sudah berupaya berkirim surat kepada pemerintah dan instansi terkait lainnya untuk mencari solusi yang terbaik demi kesejahteraan anggota perajin tempe dan tahu di seluruh Indonesia,” sambung Gakoptindo.

Dalam surat tersebut, Gakoptindo juga meminta para perajin tempe tahu di seluruh Indonesia tetap menjaga kekompakan dan kebersamaan agar tuntutan dapat diakomodir pemerintah.

“Selama berhenti produksi kami mohon kepada para perajin tempe tahu di seluruh Indonesia tetap menjaga kekompakan dan kebersamaan dan kedamaian serta dilarang melakukan perbuatan anarkis yang akhirnya akan merugikan semua,” ucapnya.

Ketua Umum Gakoptindo Aip Syaifuddin menyampaikan mogok produksi dilakukan agar harga tahu dan tempe dapat naik secara serentak di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Sebelumnya, Gakoptindo sendiri telah menyampaikan harga tahu dan tempe akan dinaikkan 10-20 persen. Hal ini mempertimbangkan harga kedelai impor yang terus melambung.

Namun, kata Aip, imbauan tersebut tak diikuti secara kompak oleh beberapa perajin tahu dan tempe. Beberapa mengambil kesempatan meraup untung dengan tidak menaikkan harga agar dagangannya lebih laku.

Akibatnya harga jual tetap rendah dan banyak produsen kembali merugi. Padahal, tutur Aip, kenaikan harga jual adalah satu-satunya solusi jangka pendek untuk menghindari kerugian akibat tingginya harga kedelai.

“Banyak yang kecewa. Tapi ternyata yang ambil kesempatan itu juga kewalahan karena harga kedelai naik terus. Akhirnya rapat lah Puskopti di berbagai daerah mereka meminta mogok produksi supaya kompak atau sepakat semua,” ucap Aip saat dihubungi CNNIndonesia.com Rabu (30/12).

Untuk jangka panjang, Gakoptindo mengusulkan kepada Kementerian Pertanian agar meningkatkan produk kedelai dalam negeri. Sebab, saat ini, hampir semua kedelai untuk bahan baku tahu dan tempe diimpor dari negara seperti Amerika, Brazil dan lain-lain.

Pada 2019, misalnya, Indonesia mengimpor 2,63 ton kedelai untuk tahu dan tempe. Sedangkan kedelai lokal hanya sekitar 400-500 ribu ton. Hal ini membuat pengusaha tahu dan tempe Indonesia rentan terdampak fluktuasi harga kedelai.

“Kami sudah minta ke Kementan untuk jangka panjang tingkat produksi. Ini lah momentumnya. Karena kalau kedelai impor naik tinggi pasti produsen lebih memilih kedelai lokal daripada impor,” tuturnya.

Kenaikan harga kedelai impor sendiri disebabkan oleh meredanya perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Hal ini membuat China kembali memborong produk-produk kedelai dari negeri Paman Sam.

“Pembeli terbesar kedelai di dunia adalah China, yakni sekitar 70 juta ton per tahun. Beda dengan saat perang dagang, pembelian berkurang, jadi stok melimpah dan harga murah. Sekarang stok sedikit. Negara produsen semua jual ke China karena mereka beli yang grade-nya bagus,” tegas Aip. {CNN}