Sertifikasi Halal MUI Tunggu Izin Edar Vaksin COVID-19 Dari BPOM Keluar

Direktur Eksekutif LPPOM MUI Muti Arintawati menyatakan, sertifikasi halal vaksin Covid-19 baru bisa dikeluarkan setelah menunggu izin edar atau Emergency Use Authorization (UEA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sebab, kata Muti, sertifikasi halal bukan hanya melihat kehalalan bahan maupun proses pembuatan vaksinnya saja, namun juga melihat keamanan dari penggunaan vaksin tersebut.

“Kalau tidak ada yaitu izin edar atau UEA, maka tidak memenuhi thoyyib atau safety. Sertifikasi halal akan dikeluarkan kalau semua bahan maupun proses pembuatannya memenuhi sisi halal dan thoyyib.

Jadi, keputusan komisi fatwa sangat tergantung dari keputusan BPOM,” kata Muti dalam diskusi Kehalalan dan Keamanan Vaksin Covid-19, Selasa (5/1).

Muti mengatakan, pihaknya saat ini terus berkoordinasi dengan BPOM terkait keamanan vaksin Covid-19 ini. Sebab, BPOM lah yang mempunyai wewenang untuk menentukan apakah vaksin tersebut aman atau tidak .

“Untuk memutuskan apakah bisa dikeluarkan seritifikasi halal atau tidak, kita masih menunggu keputusan BPOM tentang safety atau thoyyib. Jadi keputusan ini parelel dengan BPOM. kami terus lakukan koordinasi,” ujarnya.

Meskipun MUI masih menunggu keputusan BPOM, namun Muti mengaku bahwa pihaknya juga terus melakukan kajian-kajian ilmiah terhadap vaksin Covid-19 yang sudah didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia itu.

MUI mengaku cukup kritis terhadap kehalalan vaksin Covid-19 ini. Mulai dari bahan-bahan yang digunakan, serta proses pembuatannya. MUI memastikan, harus ada proses pensucian bahan-bahan yang digunakan.

“Kami bukan hanya menerima informasi secara pasif, tapi auditor-auditor kami yang melakukan sertifikasi vaksin juga melakukan kajian-kajian ilmiah. Mereka membandingkan literatur, jurnal dan berbagai informasi dari pakar. Sehingga bahan-bahan vaksin tersebut bisa dijustifikasi secara ilmiah,” ujarnya.

Muti mengatakan, memang benar bahwa setiap muslim wajib mengonsumsi segala sesuatu yang halal dan selalu ada alternatif bahan halal untuk menggantikan bahan yang dinyatakan haram.

Namun, Muti mengakui bahwa cukup sulit untuk mengganti bahan alternatif dalam proses pembuatan vaksin. Waktu pembuatan vaksin butuh waktu yang lama, selain itu juga terbentur masalah regulasi pembuatan vaksin.

“Mengganti bahan itu tidak mudah, karena butuh proses panjang dalam mendapatkan approval dari segi regulasi. Pengembangan vaksin butuh biaya besar juga.

Teknologi dan proses pengembangan ini kan mengadopsi dari luar, dari china yang awalnya tidak memikirkan kehalalan, tapi karena banyak permintaan negara-negara muslim, jadi dicari tahu halal atau tidak,” ujarnya.

Oleh sebab itu, MUI sangat mendukung produksi vaksin mandiri, yaitu vaksin Merah Putih yang saat ini sedang dikembangkan oleh Lembaga Eijkman. Sebab, kata Muti, vaksin Merah Putih sudah mempertimbangkan aspek kehalalan sejak awal proses pembuatan.

“Kami sangat mendukung pengembangan vaksin di Indonesia, kami juga diajak mengembangkan vaksin merah putih, aspek kehalalannya sudah dipertimbangkan dari awal. Jadi tidak di ujung, baru ketahuan tidak halal, karena untuk mengubah bahannya lagi itu sulit,” tutupnya.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito mengingatkan vaksin Covid-19 Sinovac yang sudah didistribusikan ke sejumlah daerah belum boleh disuntikkan. Sebab, masih belum mengantongi izin penggunaan darurat atau EUA.

“EUA masih berproses, tapi vaksin sudah diberikan izin khusus untuk didistribusikan karena membutuhkan waktu untuk sampai ke seluruh daerah target di Indonesia,” kata Penny kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/1).

Ia mengatakan proses penyuntikan vaksin Covid-19 hanya boleh dilakukan jika sudah mendapatkan EUA.

BPOM, kata dia, akan terus mengevaluasi uji klinis Sinovac di Bandung, Jawa Barat. Selain itu, BPOM akan terus mengkaji secara seksama berbagai hal terkait vaksin Covid-19, termasuk data dari berbagai negara terkait uji klinis antivirus SARS-CoV-2 tersebut. {merdeka}