News  

Minim Bantuan Meski Masih Kebanjiran, Warga Desa Bugangan Bertahan Hidup Dengan Mencari Keong

Dusun Bugangan, Desa Sidorejo, Kecamatan Sayung Demak sudah dua bulan lebih tergenang banjir. Tak sedikit warga kehilangan pekerjaan akibat banjir yang tak kunjung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Demak ini. Bantuan yang diterima warga korban banjir pun sangat minim.

Bahkan, untuk bertahan hidup, warga mencari keong lalu dijual ke pengepul. Sutarman tampak gelisah. Langit sore itu membuatnya khawatir. Ditatapinya gundukan awan yang menghitam. Ia takut jika hujan turun lagi.

“Semoga saja, hujan tidak turun.” Doanya lirih, sembari memandang awan yang bergerak dengan muatan basah. Bukan cuma ia yang risau, warga Dukuh Bugangan lainnya juga merasakan hal yang sama.

Ketakutan Sutarman beserta warga Bugangan tersebut lantaran banjir yang melanda dusunnya sudah dua bulan lebih belum surut. Jika hujan benar-benar turun, hanya akan memperparah kondisi sebelumnya.

Untuk merasakan derita warga korban banjir berbulan-bulan ini, dua wartawan Jawa Pos Radar Semarang menginap semalam di rumah warga setempat. Koran ini sampai di Dusun Bugangan pada Rabu (3/3/2021) sore.

Hampir seluruh dusun terendam banjir. Ketinggian air mencapai 40-50 cm, membuat pengendara motor harus berpikir dua kali jika ingin menerabas banjir. Wartawan koran ini akhirnya menitipkan motor di samping tempat pemakaman.

Warga setempat jika ingin ke luar desa juga menitipkan di tempat yang sama. Tempat itu dijaga oleh pemuda karang taruna setempat. Saking lamanya terendam, jalanan desa yang terbuat dari cor beton menjadi begitu licin. Rumput liar yang tumbuh di pinggirnya berubah menjadi lumut.

Saat berjalan, harus ekstra waspada. Salah melangkah, bisa terperosok parit samping jalan yang samar terendam air. Sutarman, warga Bugangan, sehari-hari menjadi petani.

Namun karena banjir, membuatnya menganggur. Semua lahan pertanian terendam banjir. Ia biasa menanam padi di pinggir sungai yang oleh warga setempat dinamakan Kali Setu.

Kakek 70 tahun itu tinggal bersama istri, anak laki-laki, serta menantu dan dua cucunya. Enam orang itu yang mendiami rumah sederhana berdinding kayu yang sudah bolong-bolong.

Pagar rumah terbuat dari jaring yang biasa dipakai menjala ikan. Jaring itu untuk menutupi rumah agar tidak ada ayam dan bebek yang masuk. Beberapa hari yang lalu, kata Sutarman, banjir sempat masuk ke rumahnya.

Tapi setelah beberapa hari tidak hujan, banjir sedikit surut dan hanya mengenai teras rumahnya. Malam itu, koran ini memutuskan menginap di rumah Sutarman.

Sutarman bercerita, anak laki-lakinya bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan menantunya bekerja sebagai buruh pabrik. Keduanya berangkat pagi dan pulang menjelang maghrib. Selama banjir dua bulan ini, ia bersama istrinya Mur, bergantian menjaga kedua cucunya yang masih kecil.

Ia membagi tugas. Ketika Mur pergi mencari keong, Sutarman akan menemani cucunya di rumah. Begitu sebaliknya. Untuk mencukupi kebutuhan selama banjir, ia hanya mengandalkan hasil kebun pisang yang masih tersisa, serta hewan ternak berupa ayam dan bebek.

Meski anak dan menantunya bekerja, ia tidak enak jika harus bergantung. Sutarman lebih memilih mencari penghidupan sendiri. Kendati demikian, dua bulan berada dalam kondisi seperti itu, membuat ketersediaan hewan ternaknya menipis.

Sudah beberapa ekor ayam dan bebek dijual ke pasar. Hasilnya, dibelikan kebutuhan sehari-hari. Untuk menutup kebutuhan sisanya, ia dan istrinya mencari keong untuk dijual.

Ketika matahari beranjak naik, Mur mulai menyiapkan perlengkapan berburu keong. Alatnya terdiri atas ember sebagai wadah, dan pisau untuk memotong kangkung.

Tempat ia mencari keong berjarak 50 meter dari rumahnya. Di lahan dengan genangan air berwarna hitam pekat bercampur limbah rumah tangga warga sekitar. Ia menjeburkan diri. Bagian perutnya ke bawah terendam air sepenuhnya.

Saat seperti itulah ia harus berhati-hati agar tidak menginjak keong yang seharusnya diambil. Cangkang keong yang terinjak bisa menggores kakinya.

“Cangkang keong kalau keinjak seperti kena beling, saya beberapa kali kena. Makanya jika sepatu boots tidak dipakai bapak, ya saya pakai biar lebih aman,” ujar nenek berkerudung itu.

Ia juga harus waspada terhadap ular, kelabang, dan pecahan kaca yang bisa saja mencelakainya. Beruntung, saat ini ia bisa memakai sepatu boat milik suaminya yang sedang menjaga cucunya. Tidak semua keong ia ambil. Mur hanya mengumpulkan keong berukuran sedang dan besar.

“Yang kecil tidak bisa dijual,” katanya. Mur begitu lincah dan trengginas. Dipungutnya satu demi satu keong yang dilihat. Ia bolak-balikan batang pisang yang mengambang tempat keong biasa bersembunyi.

Sesekali ia harus meregangkan otot tuanya yang tidak bisa lama-lama digunakan membungkuk. Wartawan koran ini ikut menjeburkan diri. Setengah jam berlalu, ember sudah terisi keong setengahnya.

Sisanya, ia akan mengambil kangkung yang nanti dipergunakan sebagai campuran makan bebek dan ayam yang dimiliki.

“Kalau ayam kan kasihan. Dia tidak bisa nyari makan karena tanahnya terendam banjir. Jadi ya kangkung ini nanti dicacah terus dicampur dedak untuk makan mereka,” ujarnya sembari membabat tanaman kangkung di rawa-rawa itu. Ember sudah penuh keong dan kangkung.

Ia seka keringat yang membasahi kening dengan kerudungnya. “Alhamdulillah, sudah selesai,” ucapnya penuh syukur. Ia lantas bergegas membawa hasil berburu keong ke rumah.

Ia pisahkan keong dengan cangkangnya menggunakan pisau khusus berbentuk kail. Keong tersebut ia ambil sedikit untuk dimasak sendiri.

Selebihnya ia jual pada pengepul seharga Rp 6 ribu per kg. Dengan cara menjual keong itulah, ia bisa bertahan menghadapi krisis selama banjir dua bulan ini.

Sutarman dan Mur berharap banjir di dusunnya segera surut. “Kalau air masih segini, mau ngapain-ngapain jadi susah. Banyak hal yang bisa kami lakukan jika tidak banjir,” ujar Sutarman.

Dikatakan, yang paling dibutuhkan warga saat ini adalah perhatian Pemerintah Kabupaten Demak untuk menangani banjir yang tak kunjung surut.

“Kalau untuk makan saya bisa makan seadanya, tidak perlu harus menunggu bantuan. Tapi, saya berharap agar banjir ini bisa segera surut. Saya berharap pemerintah tidak abai terhadap nasib kami,” harapnya.

Dusun Bugangan dihuni 275 KK yang terbagi dalam 5 RT. Sebanyak 78 rumah warga terendam banjir. Warga masak, makan, mandi, menonton televisi, dan tidur ditemani banjir di dalam rumah.

Sebanyak 72 rumah warga aman dari banjir lantaran bangunannya lebih tinggi. Namun lingkungan di sekitarnya terendam banjir. Rata-rata warga Bugangan bekerja sebagai petani, peternak tambak, buruh bangunan, dan buruh pabrik.

Selama banjir melanda, banyak warga mengaku kehilangan pekerjaan. Lahan pertanian dan tambak terendam banjir. Proyek bangunan juga banyak yang berhenti. Untuk bertahan, beberapa warga mencari keong untuk dijual seperti halnya Sutarman.

Rabu malam, wartawan koran ini sempat diajak Sutarman mengikuti tahlilan di salah satu rumah warga yang meninggal. Rumah duka juga tergenang banjir.

Praktis, saat tahlilan warga duduk di kursi, dengan kaki ada yang nangkring di kursi juga. Rahmat, Ketua RT 2 mengatakan, Bugangan sudah dua kali didatangi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Demak.

Namun, hingga kini tidak ada tindak lanjutnya. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang abai terhadap warganya. Ia juga sempat mendatangi kepala desa setempat, menanyakan respon, serta bantuan yang sekiranya bisa didapatkan warga.

Namun, kata Rahmat, kepala desa berdalih tidak bisa melakukan apa-apa lantaran dana untuk desa baru bisa dialokasikan pada 2022. “Katanya dana tahun ini digunakan untuk daerah dan provinsi dulu,” katanya.

Ia menilai perhatian Pemkab Demak begitu minim untuk desanya. Buktinya, meski banjir sudah terjadi selama dua bulan, warga hanya memperoleh bantuan dari pihak swasta dan para dermawan.

“Kita apa-apa swadaya, kerja bakti membersihkan sungai kita juga gotong-royong. Sesekali memang ada dermawan yang memberi bantuan sembako pada warga,” akunya.

Rahmat menambahkan, banjir terparah di dusunnya terjadi pada 20 Februari lalu. “Banjir sampai di atas pinggul orang dewasa,” kata Rahmat. Sementara itu, akibat banjir, sekolah PAUD satu-satunya di Bugangan juga mengalami kelumpuhan.

PAUD menjadi sepi lantaran beberapa orang tua malas mengantar anaknya sekolah jika harus menerjang banjir. Fatimah, guru PAUD setempat mengatakan, dalam sehari, hanya satu dua anak yang datang diantar orangtuanya.

Kendati dalam kondisi serbakesulitan, warga Bugangan enggan untuk mengungsi. Warga mengaku, apapun keadaannya, lebih baik di rumah sendiri daripada mengungsi. “Piye-piye nek neng omahe dewe tetep enak, Mas,” ujar Aisyah, Warga setempat saat ditanya kenapa tidak mengungsi.

Derita akibat banjir selama dua bulan juga dirasakan Sulatmi, 80. Lantai rumah berdinding papan kayu berukuran 4 kali 5 meter itu tenggelam. Ia mengungsi ke rumah anaknya yang saat ini tengah bekerja di Arab Saudi.

Karena tak ingin ternaknya mati kebanjiran, dipan tempat tidurnya dipakai sebagai lantai kandang kambing. Sedang ternak ayamnya bertengger di atas genteng.

Sama seperti kebanyakan ayam milik warga setempat. “Ini banjir paling awet seumur hidup saya di Bugangan,” kata Mbah Mi, panggilan Sulatmi.

Akibat banjir selama dua bulan, penyakit kulit juga mulai menyerang warga. Siti dan Jannah, mengaku memilih di rumah saja kalau tidak ada urusan penting dan mendesak. “Soalnya, kalau keluar rumah pasti kaki terendam banjir. Lama-lama kaki gatal-gatal,” keluhnya. {jawapos}