News  

COVID-19 Ancam Penderita Obesitas, Prof. Zubairi Djoerban: Angka Kematian 48 Persen Lebih Tinggi

Ketua Satgas Covid-19 PB IDI, Prof. Zubairi Djoerban memperingatkan adanya korelasi antara obesitas dan risiko kematian akibat Covid-19. Hal itu disampaikan melalui unggahan di akun media sosial pribadinya pada Minggu, 7 Maret 2021.

“Dari data, orang dengan obesitas itu 74 persen lebih berisiko memerlukan penanganan ICU,” kicau Zubairi Djoerban, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari akun Twitter @ProfesorZubairi pada Senin 8 Maret 2021.

Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan bahwa angka kematian pasien yang mengalami obesitas juga lebih tinggi dari pasien Covid-19 non obesitas.

“Dus, angka kematiannya juga lebih tinggi 48 persen ketimbang pasien Covid-19 non obesitas,” kicau Zubairi Djoerban.

Dia pun memberikan penjelasan sederhana terkait korelasi antara obesitas dan risiko kematian akibat Covid-19. “Sederhananya, seseorang dikatakan obesitas itu jika IMT-nya sama dengan atau di atas 30,” kicau Zubairi Djoerban.

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Body Mass Indeks (BMI) adalah salah satu cara untuk mengetahui rentang berat badan ideal.

“Tidak sedikit juga orang yang IMT-nya mencapai 40. Artinya, kondisi orang itu lebih serius lagi. Jangan diremehkan,” kicau Zubairi Djoerban.

Dia menuturkan bahwa masyarakat dapat menghitung IMT dengan menggunakan kalkulator BMI atau IMT di mesin pencarian.

Zubairi Djoerban mengungkapkan bahwa kondisi berat badan berlebih tersebut dapat menyebabkan banyak hal.

“Seperti kekebalan tubuh terganggu, sistem imun tidak ideal, hiperkoagulasi (sindrom kekentalan darah), dan peradangan kronik,” kicaunya.

Sehingga, Zubairi Djoerban mengatakan bahwa pasien yang memiliki obesitas lebih mudah meninggal jika terinfeksi Covid-19.

“Itu semua menyebabkan kondisi orang dengan obesitas lebih berat dan lebih mudah meninggal, jika terinfeksi Covid-19,” kicaunya.

Selain Covid-19, Zubairi Djoerban menuturkan bahwa biasanya pada obesitas memang akan lebih mudah terkena berbagai macam penyakit.

“Seperti jantung, paru, diabetes, sindrom metabolik, darah tinggi, dan banyak lagi. Sehingga mereka akan semakin gawat jika terinfeksi virus Corona,” kicaunya.

Zubairi Djoerban pun membeberkan bukti penelitian pada tikus yang obesitas, didapati kehilangan fungsi limfosit T dan kemampuannya melawan penyakit. Sehingga, kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan tikus yang tidak obesitas.

Sedangkan bukti pada manusia, dapat dilihat dari pelaksanaan vaksinasi influenza di Amerika Serkat.

“Apa hubungannya? Ya orang dengan obes dan sudah divaksin itu didapati masih mungkin mendapati influenza dua kali lebih sering ketimbang yang non obes. Itu faktanya,” kicau Zubairi Djoerban.

Dia pun memahami bahwa terkadang orang dengan obesitas merasa malu, karena merasa mendapat stigma dari masyarakat. Sehingga, jarang mengontrol kondisinya ke dokter karena nasihatnya akan selalu sama, yakni menurunkan berat badan.

Tentunya, hal tersebut dapat menjadi beban mental bagi mereka yang memiliki obesitas.

“Dalam beberapa kasus, pasien obesitas itu sudah berusaha menurunkan. Namun, banyak yang tidak berhasil. Ini memang benar terjadi,” kicau Zubairi Djoerban.

Oleh karena itu, dia menekankan komunikasi dokter dengan pasien yang mengalami obesitas harus diperbaiki, sehingga tidak membuat pasien merasa malu.

“Jika memang sungkan ke dokter, ada baiknya orang dengan obesitas ditemani sahabat atau anggota keluarga. Sehingga, komunikasinya nyaman dengan dokter,” kicau Zubairi Djoerban.

Dia menambahkan bahwa jika sudah nyaman dalam komunikasi, program penurunan berat badan yang diberikan juga bisa terlaksana dengan baik. {pikiranrakyat}