News  

Kisah Pilu Piola, Bayi 9 Bulan di Inhu Yang Hidup Tanpa Anus dan Butuh Pertolongan

Seorang bayi bernama Piola Juningsih tidak memiliki anus atau mengalami kelainan yang disebut atresia ani. Kondisi cukup langka ini sudah dialami bayi berusia 9 bulan itu sejak ia lahir.

Piola lahir dengan keadaaan yang tak biasa dibandingkan bayi pada umumnya. Piola adalah anak dari pasangan Dedi Herfinal (27) dan Sitina (25).

Keluarga ini tinggal di Desa Sialang Dua Dahan, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Dedi mengatakan, Piola adalah anak keduanya.

Sedangkan anak pertamanya berusia 11 tahun, yang kini sudah kelas V sekolah dasar. Piola lahir pada 11 Juni 2020 lalu. Namun, Dedi tak menyangka anaknya lahir tanpa lubang anus.

“Anak kedua kami lahir di puskesmas desa sini. Jadi, kami tahunya Piola tak punya anus 13 hari setelah lahir. Awalnya kami memang tidak tahu,” kata Dedi kepada Kompas.com, Senin (15/3/2021).

Dia menceritakan, Piola diketahui tak memiliki lubang anus ketika menangis tiba-tiba. Sang Ibu kemudian mengecek dan menemukan bayinya tanpa anus.

Dedi dan Sitina terkejut setelah mengetahui anaknya lahir dengan kondisi tidak normal. “Saya sama istri sangat kaget. Tidak menyangka anak kedua kami bernasib seperti ini,” ujar Dedi.

Kondisi Piola saat ini sehat. Namun, setiap buang air besar, Piola selalu menangis. “Sekarang ini anak kami buang air besar dari saluran kelaminnya,” sebut Dedi.

Dedi dan istrinya tak bisa berbuat banyak. Sebab, mereka tergolong warga kurang mampu, sehingga tak punya biaya untuk mengatasi apa yang dialami buah hatinya.

Kini mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi bayi mungil tersebut. Segala upaya sudah dilakukan, baik berkonsultasi ke dokter maupun berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Indrasari Pematang Reba, di Inhu.

Namun, pihak rumah sakit di sana menyarankan agar Piola dioperasi ke Kota Pekanbaru.

“Kami bawa ke rumah sakit Indrasari, tapi tak bisa ditangani dan disuruhnya langsung dibawa ke Pekanbaru. Kalau operasi ke Pekanbaru bagaimana biayanya? Kami tak punya uang, Pak,” kata Dedi.

Terkendala pengurusan BPJS

Menurut Dedi, memenuhi kebutuhan dasar untuk makan saja sudah sulit, apalagi untuk biaya operasi yang tidak sedikit. Dedi mengatakan, sebelumnya dia bersama istri berusaha membuat BPJS Kesehatan.

Tetapi, tidak bisa karena kartu tanda penduduk (KTP) orangtua dan nomor induk kependudukan (NIK) anak yang tertera di kartu kelurga (KK) tidak terdaftar secara online, berdasarkan data BPJS Kesehatan.

“Kami kan sudah bawa Piola ke rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. Namun, pihak rumah sakit menyarankan untuk operasi di Pekanbaru melalui BPJS Kesehatan. Saat saya urus BPJS, banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan kata orang BPJS, NIK anak saya belum terdaftar online,” sebut Dedi.

Dibantu anggota polisi

Ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa menunggu berbulan-bulan hingga BJPS itu selesai diurus. Namun, Dedi kini merasa lega setelah dibantu oleh seorang anggota polisi setempat bernama Windro untuk mengurus BPJS anaknya.

“Kemarin sore BPJS-nya sudah selesai diurus sama Pak Windro, anggota polisi di sini. Pak Windro yang datang ke rumah saya. Jadi selama delapan bulan saya sendiri urus BPJS tak selesai. Selama itu saya bayar kalau bawa anak saya ke rumah sakit,” kata Dedi.

Dia menambahkan, hari ini Windro membantu membuat surat rujukan untuk membawa Piola ke rumah sakit di Pekanbaru. Dedi berharap ada solusi untuk mengatasi atresia ani yang dialami bayinya.

“Kami berdoa, semoga ada yang bisa mengatasi kondisi anak kami, karena kami sangat sedih melihat dia ketika mau buang air besar selalu menangis. Dan kami juga berterima kasih banyak kepada Pak Windro yang telah sudi membantu kami membuatkan BPJS,” kata Dedi. {kompas}