News  

Karut Marut Impor Pangan Jelang Ramadhan dan Idul Fitri

Pemerintah kembali akan mengimpor komoditas pangan pada tahun ini jelang ramadan yang akan berlangsung kurang dari sebulan lagi. Mulai dari beras, daging, hingga garam.

Rencananya, impor beras akan mencapai 1 juta ton. Sementara, daging 100 ribu ton dan garam 3 juta ton. Yang sudah paling pasti adalah daging, yaitu diambil dari 80 ribu daging kerbau dari India dan 20 ribu daging sapi dari Brasil.

Sedangkan impor garam sudah diputuskan sebanyak 3 ton. Untuk impor garam, pro-kontra tetap ada, tapi masih cukup ‘adem’ lantaran sudah jadi rahasia umum bila kebutuhan garam industri sulit dipenuhi oleh produksi lokal.

Tapi, untuk impor beras, seperti biasa, baru rencana pun sudah membuat gaduh. Sebab, banyak kalangan menilai impor tidak pas karena dilakukan jelang panen raya.

Saat pro-kontra muncul, para pihak terkait pun saling lempar-lemparan. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas buru-buru mengklaim kalau ide impor bukan darinya, tapi pemerintah.

Tepatnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat rapat koordinasi.

“Data BPS menyampaikan Maret, April, Mei itu surplus. Itu yang kami jadikan pedoman. Sehingga saat kami rakortas (rapat koordinasi terbatas), kami tidak memutuskan impor. Hanya, kebijakan Pak Menko dan Pak Mendag, kami akhirnya dikasih penugasan tiba-tiba untuk melaksanakan impor,” ujar Buwas, beberapa waktu lalu.

Kendati begitu, Lutfi mengklaim impor beras bukan semata-mata langsung dilepas ke pasar, tapi dipersiapkan untuk ‘jaga-jaga’ bila harga meningkat dan intervensi operasi pasar perlu dilakukan Bulog.

“Soal jumlah, harga, dan waktu (impor) itu ada di kantong saya. Saya akan pakai itu hanya pada saat-saat tertentu untuk mengintervensi pasar, yang biasanya kejadian itu adalah memastikan bahwa harga sesuai dengan harga internasional dan kemampuan masyarakat, artinya kalau harga naik terus masyarakat tidak mampu ya kami harus intervensi,” jelas Lutfi.

Sementara Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan impor sejatinya baru rencana. Tapi, belum pasti kapan akan direalisasikan.

“Jujur, ingin saya katakan dalam forum ini bahwa rencana impor itu baru dalam wacana dan saya sama sekali belum melihat ada keputusan yang pasti terhadap itu,” kata Syahrul.

Terlepas dari bagaimana latar belakang itu, intinya rencana impor pangan tetap ada dan banjir impor akan datang. Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai hal ini klasik.

“Banjir impor pangan bukan hal baru,” ucap Khudori kepada CNNIndonesia.com.

Bila dilihat dari komoditasnya, Khudori melihat impor yang sah dilakukan seharusnya cuma daging dan garam. Untuk daging, meski seharusnya peternakan lokal bisa dikembangkan, tapi opsi impor masih mendapat ‘toleransi’ karena stok memang terbatas.

“Impor daging sapi ini boleh dikaitkan dengan (persiapan kebutuhan) ramadan. Daging sapi memang kebutuhan kita masih besar,” ungkapnya.

Sama halnya dengan garam, kerannya masih boleh dibuka lantaran produksi lokal memang belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Sementara sebagai bahan baku industri, garam punya peran yang cukup vital. “Toh alokasi segitu (rencana 3 juta ton) untuk setahun,” imbuhnya.

Meski, sambungnya, ada perasaan miris lantaran Indonesia punya potensi sumber daya alam yang besar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tapi masih terus saja mengimpor garam.

Hal ini terjadi karena kadar Natrium Clorida (NaCl) garam industri lebih tinggi dari garam lokal, yaitu mencapai 97 persen, sementara hasil produksi petani garam cuma berkisar 88-94 persen.

“Alasan klasik lain karena harga impor lebih murah. Tapi meski lokal lebih mahal, sebetulnya dampak ikutan sosial-ekonominya jauh lebih tinggi. Penyerapan produk lokal akan menggerakkan ekonomi di dalam negeri, menyerap produk impor dampaknya terbesar ada di negara asal impor saja,” jelasnya.

Sedangkan untuk beras, ia merasa aneh bila akhirnya pintu impor tetap dibuka. Pasalnya, data yang dikantonginya mencatat ada potensi produksi yang meningkat sekitar 26,8 persen pada Januari-April 2021 dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

“Karena sekarang panen raya, produksi banyak. Mestinya, itu yang diserap, bukan dari impor,” tuturnya.

Menurutnya, kesulitan penyerapan beras lokal oleh Bulog mungkin susah karena terikat ketentuan harga yang diatur pemerintah. Tapi mau tidak mau harus tetap dilakukan, toh produksinya memang banyak, maka tak pas bila justru mengakalinya dengan impor.

“Apapun alasannya, untuk saat ini karena panen raya dan potensi produksi naik tak tepat untuk impor sekarang. Woro-woro impor ke publik saat ini jelas tidak tepat. Meski belum dilakukan, harga-harga di pasar sudah turun. Ini menyakiti petani,” katanya.

Hanya saja, Khudori melihat rencana impor ini jadi kisruh lantaran keburu bocor ke publik. Padahal mungkin bisa saja, kalau tidak bocor, impor memang belum akan dilakukan, baru izinnya saja yang keluar untuk berjaga-jaga.

Senada, Ekonom INDEF Nailul Huda juga bingung dengan rencana impor beras. Apalagi, menurut survei yang pernah dilakukan lembaganya, produksi beras nasional seharusnya mencapai 14,54 juta ton pada Januari-April 2021.

Jumlahnya lebih banyak dari 11,46 juta ton pada Januari-April 2020. Bahkan, kalau dihitung-hitung secara tahunan, kemungkinan produksi beras pada tahun ini bisa mencapai 31,33 juta ton, sementara konsumsi cuma sekitar 30 juta ton.

“Perhitungan INDEF bahkan dengan kondisi business as usual seperti tahun lalu kita masih bisa surplus hingga 1 juta ton. Jumlah itu bisa untuk pasokan cadangan beras selama setahun, biasanya digunakan untuk stabilisasi harga dan bencana alam,” terang Huda.

Sebagai pembanding, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun juga mengatakan demikian. Potensi produksi tercatat mencapai 14,54 juta ton pada Januari-April 2021.

Jumlahnya lebih tinggi dari Januari-April 2019 dan Januari-April 2020, masing-masing 13,63 juta ton dan 11,46 juta ton. Dengan proyeksi tersebut, ia meyakini hasil produksi, khususnya dengan panen raya yang akan terjadi dalam waktu dekat, akan cukup ‘mengisi perut’ masyarakat.

Di sisi lain, kalau pun ada alasan pertimbangan stabilisasi harga jelang ramadan, toh nyatanya, inflasi masih rendah. Bahkan, harga beras relatif stabil setahun terakhir. Begitu pula dengan keinginan mengamankan stok untuk pasokan logistik bencana alam, semuanya masih tercukupi.

Huda pun menduga mungkin ada maksud lain dari rencana impor beras ini, salah satunya celah mencari keuntungan dari kebijakan pemerintah atau rente (bunga), meski tak menyebut kemungkinan pihak-pihak mana yang kemungkinan bisa mendapat ‘cipratan’ rente itu.

“Jadi saya tidak paham apakah untuk stok puasa dan lebaran atau memang rente impor saja. Saya cenderung impor beras ini memang rente. Pak Airlangga dan Pak Lutfi sudah membuat kebijakan yang sembrono,” katanya.

Sementara untuk daging sapi, Huda masih bisa memberi pengertian lantaran produksi di dalam negeri masih sangat minim. Sedangkan kebutuhan konsumsinya tinggi.

“Memang terjadi kekurangan supply dari dalam negeri atau stok yang tersedia masih kurang,” ucapnya.

Begitu juga dengan impor garam. Huda mengakui Indonesia memang masih tertinggal untuk pemenuhan kebutuhan yang satu ini.

Kendati kebutuhan garam industri memang sulit dipenuhi oleh produksi lokal, tapi bukan berarti Indonesia harus menyerah dan mudah mengambil jalan pintas impor garam industri setiap tahun. Meski, harganya lebih murah juga.

Sebab, industri di dalam negeri suka tidak suka, mau tidak mau, tetap harus dikembangkan dan dijaga. Maka, peningkatan produktivitas dari sisi kualitas dan kuantitas tetap perlu dilakukan, sehingga bisa penuhi semua kebutuhan, baik untuk industri maupun konsumsi rumah tangga.

“Saya kira perlu subsidi ke petambak agar mau meningkatkan kualitas garam. Petambak garam tidak mempunyai insentif untuk memproduksi garam industri. Hal ini karena sistem kristalisasi yang masih mengandalkan sinar matahari,” tutur Huda.

Padahal, untuk mendapatkan garam dengan kadar NaCl yang tinggi, dibutuhkan waktu yang lebih lama. Namun, ketika seluruh rangkaian produksi yang memakan biaya itu sudah dilakukan, harga jual garam kualitas bagus dan jelek rupanya tidak signifikan.

Ia memberi contoh, harga garam untuk kualitas bagus dan jelek sempat sama di kisaran Rp150 per kilogram (kg) di Rembang. Padahal, menurut aturan harga pemerintah seharusnya garam kualitas 1 senilai Rp750 per kg dan kualitas 2 Rp500 per kg.

“Makanya daripada semakin lama menkristalisasi garam yang tentu akan ber-impact ke cost production, petani ini milih produksi garam dengan kualitas jelek. Toh, harga jualnya sama saja,” jelasnya.

Sementara untuk mengatasi impor daging, menurutnya, pemerintah perlu serius membesarkan sektor peternakan nasional. Perlu peningkatan produktivitas agar tidak melulu bergantung impor juga.

Sedangkan untuk beras, sebenarnya sudah tidak ada yang perlu dilakukan, toh produksinya sudah cukup. Hanya saja, mungkin perlu tata kelola data dan tetap memberi akses subsidi hingga pembiayaan kepada petani.

Khudori menambahkan, perlu kebijakan penguatan pangan yang bisa membuat petani berdaulat agar keran impor tidak mudah dibuka. Ia mengatakan agar petani berdaulat, perlu akses luar biasa terhadap berbagai sumber daya yang dibutuhkan, mulai dari lahan, air, pupuk, benih, pasar, modal, dan lainnya.

“Atur pasar yang adil yang menjamin petani mendapatkan harga yang menguntungkan dan mensejahterakan. Ini saja penuhi dulu,” pungkasnya. {CNN}