Antara Prahara Demokrat dan Wacana Presiden Tiga Periode

Dalam konteks ilmu hadits (Mustholahul Hadits), seorang perawi akan ditolak periwayatan haditsnya jika sekali saja melakukan kedustaan. Sebelum membahas matan (redaksi hadits), para ulama terlebih dahulu membahas Rawi (periwayat hadits). Seorang perawi yang dikenal (Mashur) tukang dusta, niscaya omongannya tidak akan dianggap lagi.

Begitu pula, penulis menganalogikan pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan menolak wacana Presiden tiga periode. Baik dengan alasan itu cari muka, menampar muka Presiden atau alasan lainnya.

Bagi penulis, jika kondisi politik berubah dan dukungan Presiden tiga periode itu membesar (setidaknya di Parlemen dan MPR), Presiden Jokowi akan gampang menyatakan itu dinamika di DPR dan MPR.

Bahkan, jika MPR akhirnya mengamandemen konstitusi, menambah masa jabatan Presiden tiga periode, dan Jokowi diminta oleh partai untuk kembali mencalonkan diri sebagai Capres 2024-2029, boleh jadi Presiden Jokowi kelak dengan mudahnya menyatakan “Karena ini kehendak rakyat, saya tidak bisa dan tak berwenang menolaknya. maka dengan mengucap Bismillah…saya bersedia kembali mencalonkan diri sebagai Presiden”.

Karena itu, konteks pernyataan Presiden Jokowi yang menolak wacana presiden tiga periode, cukuplah untuk dikesampingkan. Anggap saja itu seperti pernyataan Presiden Jokowi sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya menyatakan tidak ‘mikir’ copras capres dan akan konsen menjabat Gubernur DKI Jakarta hingga purna tugas.

Bang Mardani Ali Sera nampak ijma’ dengan statement penulis soal pernyataan Presiden Jokowi. Dalam diskusi, Bang Mardani menolak keras wacana Jabatan Presiden tiga periode karena mengkhianati mandat Reformasi.

Memang benar, Jika Partai Demokrat bisa mulus ‘diambil alih’ oleh KSP Moeldoko dan diboyong untuk mendukung kehendak istana, wacana Presiden Tiga Periode ini menjadi mudah dieksekusi di MPR. Mengingat, Suara Partai Demokrat bisa diboyong untuk mendukung amandemen konstitusi untuk tujuan penambahan jabatan Presiden. PKS akan sendirian melawan wacana ini dan jelas tidak akan mampu membendung amandemen Konstitusi.

Dalam kesempatan yang sama, Partai Demokrat melalui Bang Andi Alfian Mallarangeng menegaskan juga menolak wacana Presiden Tiga Periode, sekaligus menegaskan SBY juga tak berniat terlibat lagi dalam kontestasi. Jika SBY berkeinginan, tentulah hal itu telah dieksekusi pada saat SBY berkuasa. Artinya, amandemen konstitusi dilakukan sejak saat SBY masih menjabat Presiden R.I.

Terkait Prahara Partai Demokrat, Bang Andi masih konfiden jika hukum ditegakkan dengan adil, maka 100 % PD-KLB ‘abal-abal’ milik KSP Moeldoko akan ditolak oleh Kemenkum HAM. Partai Demokrat, menurut Bang Andi telah mengirim sejumlah data sebagai bahan untuk melakukan verifikasi.

Jika merujuk data struktur dan pengurus Partai Demokrat yang telah terdaftar sah di Kementerian Hukum dan HAM, maka tidak ada alasan untuk mengesahkan Kepengurusan Partai Demokrat kubu KLB KSP Moeldoko.

Sayangnya, prahara Partai Demokrat adalah sengketa politik bukan kasus hukum. Karena itu, bobot politik lebih menentukan kemenangan ketimbang norma hukum.

KSP Moeldoko tidak mungkin melakukan kudeta, jika desain kudeta tidak mendapatkan jaminan legalisasi dari penguasa. Dalam banyak kasus sengketa politik, tangan kekuasaan lah pada akhirnya yang akan menentukan siapa pemenangnya.

Dalam konteks itulah, penulis berani menjamin KSP Moeldoko 100% akan menang dalam pertarungan politik ini, karena ada dukungan kekuasaan. Kemenangan itu, bukan akan diumumkan dalam waktu dekat.

Memang benar, cara pengambil alihan Partai Demokrat oleh KSP Moeldoko adalah praktik politik yang kasar, culas, dan tidak bermoral. KLB Partai Demokrat KSP Moeldoko di Deli Serdang adalah KLB yang tidak sah, ilegal dan inkonstitusional.

Hanya saja ini politik, dan dalam politik rasanya saling terkam dan memangsa itu biasa. Sebagaimana diajarkan oleh Machiavelli, Berpolitik itu mesti cerdas seperti kancil dan buas seperti singa. Politik hanyalah soal bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Sebagaimana yang telah penulis tulis dalam tulisan berjudul ‘Salam Pak SBY’, Penulis mengkhawatirkan terjadi skenario sebagai berikut :

Pertama, proses pendaftaran dan verifikasi Partai Demokrat kubu KSP Moeldoko tidak akan disahkan dalam waktu dekat. Tetapi, dibiarkan mengambang hingga mendekati Pemilu 2024.

Hal ini memang akan menyebabkan prahara Partai Demokrat menjadi panjang, dan pada titik tertentu memang menimbulkan berkah naiknya elektabilitas Partai dan sosok AHY, sebagaimana diakui Bang Andi Mallarangeng. Prahara ini, memicu konsolidasi dan mesin politik partai bekerja, dan itu tentu saja menguntungkan Partai Demokrat.

Namun, jika tiba-tiba menjelang pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu 2024, Kubu KSP Moeldoko disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, maka ini awal dari petaka partai Demokrat sesungguhnya. Partai Demokrat ‘di potong’ legalitas politiknya disaat menjelang Pemilu 2024.

Kedua, jika kondisi pada poin pertama ini terjadi, maka tidak berguna lagi ikhtiar menggugat ke PTUN atas diterbitkannya SK Pengesahan Partai Demokrat kubu KSP Moeldoko. Saat itu, Proses hukum tidak akan menghalangi proses politik bagi KSP Moeldoko untuk ikut Pemilu 2024.

Proses hukum untuk membatalkan SK juga akan panjang dan melelahkan, hingga memperoleh keputusan final di tingkat Kasasi. Paling cepat, proses ini memakan waktu setidaknya dua tahun.

Ketiga, pada saat Partai Demokrat sibuk melawan secara hukum di PTUN sebagaimana dijelaskan pada poin kedua, internal Partai Demokrat akan menghadapi sejumlah penggembosan. Yakni, banyaknya kader Partai yang akan lompat pagar ke kubu KSP Moeldoko agar bisa nyaleg di Pemilu 2024.

Konsolidasi yang terjadi karena prahara partai Demokrat dapat berubah menjadi tragedi. Saat itu, tidak menutup kemungkinan akan terjadi ‘Bedol Deso’ para kader, yang sejak saat ini kabarnya sudah mulai dirayu untuk bergabung dengan Partai Demokrat kubu KSP Moeldoko.

Dari semua skenario buruk diatas, tentu yang paling buruk bagi masyarakat sipil (Civil Society) adalah ketika tiba-tiba Partai Demokrat merapat ke istana, mendukung Wacana Jabatan Tiga Periode dengan kompensasi Partainya tidak diganggu dan kubu KSP Moeldoko ditolak pengesahannya. Peristiwa ini, sama saja Partai Demokrat telah melepas koalisi dengan rakyat, meninggalkan rakyat dan memilih berdiri bersama penguasa.

Partai Demokrat mengikuti jejak Partai Gerindra yang meninggalkan rakyat dan mengubah posisinya berada disamping penguasa. Jika sudah demikian, maka sekali lagi rakyat akan dikecewakan oleh Partai Politik.

Demikianlah, sekelumit pikiran penulis yang sebagian penulis sampaikan pada diskusi Senin, 22 Maret 2021 dengan Tema :”Antara Prahara Demokrat dan Wacana Presiden 3 Periode”. Penulis merasa terhormat, bisa berdiskusi bersama Bang Mardani Ali Sera dan Bang Andi Alfian Mallarangeng.

[Catatan Reportase Diskusi Canggruk’an Cak Slamet]
Ahmad Khozinudin, S.H., Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah