Jenderal Moeldoko, Jalan Adipati Karna Atau Hario Mataram Yang Bakal Engkau Tempuh?

Di jagat pewayangan tokoh Adipati Karna adalah tokoh kontroversi sekaligus tokoh idola khususnya di masyarakat yang berbahasa jawa, wayang yang melambangkan tokoh ini sering di pajang diruang tamu.

Adipati Karna adalah ksatria pilih tanding yang selalu menang dalam setiap pertempuran maupun pertandingan, hanya bisa dikalahkan dengan cara curang.

Waktu sayembara memperebutkan Drupadi, selain bisa mengangkat Gandewa (busur), anak panah Adipati Karna Raja Awangga, sebenarnya tepat sasaran tetapi sebelum mengenai sasarannya Sri Kresna melakukan kecurangan dengan membelokkan anak panah itu menjauhi sasarannya, maka akhirnya Arjuna yang menang.

Bahkan nanti di Perang Baratayudha, banyak tipu muslihat yg dilakukan untuk bisa membunuh Karna, diantaranya dengan menumbalkan Gatotkaca agar senjata pamungkas Karna dilepaskan sebelum “head to head” melawan Arjuna, selain itu Dewi Kunthi juga juga membujuk Karna tidak bertarung denga Pandhawa sampai terpaksa Adipati Karna berjanji tidak akan membunuh Pandhawa (yang merupakan adik-adik Karna).

Adipati Karna dibesarkan dari keluar berkasta rendah walaupun mempunyai kemampuan dan kesaktian sejajar para ksatria tapi dia selalu direndahkan dan dihina bahkan oleh para Pandhawa, dan hanya Duryudana yang menghargai kecerdasan dan kemampuan nya tanpa memandang dari kasta apa, selain diangkat saudara Adipati Karna juga diangkat menjadi Raja di kerajaan Awangga, pengangkatannya dianggap kontroversial karena menggunakan sistem meritokrasi yang sangat bertolak belakang dengan kebiasaan kala itu, dimana seorang raja biasanya dianggkat melalui silsilah garis darah birunya

Adipati Karna memang ksatria sejati dia tahu kalau akan kalah dan mati, tapi demi menjaga kehormatan seorang ksatria dan juga membela kebenaran dia tetap berpihak kepada Kurawa, karena tanpa Adipati Karna maka Perang Baratayudha tidak akan terjadi dan keangkaramurkaan Kurawa tidak akan tertumpas, sebab Kurawa tidak akan maju perang tanpa ada Resi Bisma, Begawan Drona dan Adipati Karna dipihaknya.

Adipati Karna juga bisa melaksanakan dharma nya sebagai ksatria dengan membalas hutang budi kepada Duryudana dengan nyawanya, walaupun jika dia mau berpindah pihak dan mengkhianati Duryudana maka dia bisa menjadi Raja Besar bahkan menjadi raja baik bagi Pandhawa maupun Kurawa.

Maka pada hari ke-15 perang Mahabharata setelah senjata-senjata dan baju perang Adipati Karna dilucuti Dewa Indra, kemudian Prabu Salya yang menjadi kusir kereta perang membelokkan kereta Adipati Karna sehingga panah Adipati Karna luput dari sasarannya yaitu Arjuna.

Kemudian Arjuna melepaskan panah Pasopati yang ujungnya berbentuk bulan sabit dan menebas leher Adipati Karna maka gugurlah panglima perang Hastinapura hari itu…

Adipati Karna kemudian dikenal sebagai Ksatria yang tahu membalas budi, bukan penghianat dan memegang teguh janji yang diucapkan, simbol sikap ksatria…

Sementara itu pada abad XVIII di tanah Jawa, ada seorang pangeran juga panglima perang yang dihukum gantung karena pengkhianatannya pada Oktober 1719 di Jepara oleh Amangkurat IV dan VOC.

Adalah Hario Mataram anak Raja Amangkurat I penguasa terakhir keraton Mataram Islam, tatkala Amangkurat II (kakaknya) berhasil mengalahkan Trunojoyo dan mendirikan keraton Kartasura maka Hario Mataram nunut mukti (hidup ikut) kakaknya di keraton, hingga Amangkurat II wafat dan kepemimpinan diambil anaknya yaitu Raden Mas Sutikno yang kemudian ketika menjadi raja bergelar Amangkurat III, maka Hario Mataram masih suwito (mengabdi) di Kartasura atau kepada Amangkurat III (keponakannya tersebut),

Hingga pada tahun 1705 ketika Pangeran Puger menuntut balas atas kematian Raden Ayu Lembah yang sebenarnya permaisuri Amangkurat III yang dihukum lawe (gantung) di daerah yang kemudian dikenal dengan nama Laweyan oleh Amangkurat III dengan tuduhan pengkhianatan cinta (selingkuh) dengan anak Tumenggung Sukro, selain itu serangan Pangeran Puger merupakan usaha kedua-nya dalam merebut tahta mataram setelah usaha pertamanya gagal karena dikalahkan Amangkurat II (kakaknya), maka Hario Mataram ditugasi memimpin pasukan ke daerah Ungaran untuk menghadang koalisi besar Pangeran Puger, pasukan VOC juga bupati Surabaya dan Semarang juga penguasa Madura Cakraningrat II yang akan menggempur Kartasura.

Pangeran Hario Mataram membujuk Amangkurat III meninggalkan keraton, mundur k Ponorogo untuk mencari bantuan Untung Surapati (musuh VOC yg membunuh Kapten Tack). Kemudian Hario Mataram membawa sebagian pasukan akan digunakan untuk menahan laju pergerakan pasukan Pangeran Puger dan VOC, tetapi kepercayaan Amangkurat III ini malah dikhianati, Hario Mataram dan pasukannya justru bergabung dengan pangeran Puger yang merupakan kakaknya.

Maka dengan mudahnya Pangeran Puger merebut kraton Kartasura Tampa perlawanan, karena Amangkurat III telah pergi dengan pasukannya sementara pasukan yang ditugasi menumpas musuh malah berkhianat dan bergabung dengan musuh, di kemudian hari terbukti koalisi besar yang dibangun Pangeran Puger terbukti hanya dibesar-besarkan….

Kemudian, Pangeran Puger naik tahta menjadi Raja Kraton Kartasura ketiga dan mengambil nama Pakubuwono I

Sementara walaupun sudah bergabung dengan Untung Surapati, Amangkurat III semakin terdesak bahkan Untung Surapati wafat karena lukanya, bahkan di Ponorogo Amangkurat III harus melarikan diri karena akan diamuk rakyat Ponorogo karena bupati mereka disiksa Amangkurat III. Maka pada 1708 Amangkurat III menyerah kepada VOC setelah ditipu janji palsu VOC kemudian dibuang ke Sri Lanka sampai akhirnya meninggal pada tahun 1734 di pengasingan.

Kemudian pada 1719 Pakubuwono I digantikan anaknya yang bernama Raden Mas Suryaputra yang kemudian memakai nama Amangkurat IV, dan sekali lagi Hario Mataram memberontak dan mengkhianati keponakannya.

Hario Mataram memberontak di Pati, tetapi pada Oktober 1719 Hario Mataram dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Itulah akhir dari Hario Mataram yang pernah mengkhianati Amangkurat III sehingga terusir dari istana dan hidup jadi pelarian mati di pengasingan tetapi Hario Mataram mati lebih dulu daripada Amangkurat III yang dia khianati.

Dari kisah Adipati Karna dan Hario Mataram banyak yang bisa diambil pelajaran apalagi sejarah selalu berulang hanya pelaku nya saja yang berbeda. Baik Karna ataupun Hario Mataram sama-sama mati oleh musuhnya, tetapi yang membedakan adalah cara dan bagaimana mereka dikenang setelah mati.

Yang satu menjunjung Kesetiaan, kehormatan dan tahu membalas budi sementara yang satu mengabaikan Kesetiaan dan mudah berkhianat.

Politik di Indonesia bukan demokrasi yang bebas tanpa batas tetapi demokrasi yang dibatasi oleh hukum, etika, moral, juga rasa ewuh pakewuh (rasa sungkan) rasa yang jarang dimiliki bangsa lain.

Tanpa adanya batasan-batasan tersebut maka Indonesia bisa mengalami pertumpahan darah seperti di masa lalu disetiap suksesi kekuasaan seperti layaknya
▪️ Perang Suksesi Jawa I
▪️ Perang Suksesi Jawa II
▪️ Perang Suksesi Jawa III
dan masih banyak perang-perang lain yang banyak menghabiskan sumberdaya dan jatuhnya banyak korban juga menyengsarakan rakyat dan menyebabkan VOC semakin besar pengaruhnya di tanah Jawa.

Jika di papan catur politik kekinian manuver yang dilakukan Jendral (purn) Moeldoko layaknya suksesi kepemimpinan di keraton jaman dahulu yang melalui jalur pemberontakan, dengan menyelenggarakan KLB Partai Demokrat sang jendral ingin merebut tampuk kepemimpinan di Partai Demokrat secara extraordinary. Dalam politik cara ini boleh saja bahkan secara hukumpun sulit mencari delik hukumnya, tetapi apakah ini cara yang Elok dan Elegan?

Nah, apakah ada kemiripan latar belakang antara Hario Mataram yang mengkhianati Amangkurat III dengan langkah Jendral (purn) Moeldoko merebut Ketua Umun Partai Demokrat dari tangan AHY yang notabene anak Presiden ke-6 SBY, padahal ketika 10 tahun SBY menjabat presiden, karir kemiliteran Moeldoko mencapai puncaknya dari awalnya Pangdam naik-naik sampai KSAD sebelum akhirnya menjadi Panglima TNI yang merupakan karir tertinggi di dunia kemiliteran.

Dari ratusan jendral bisa saja SBY kala itu, mengangkat jendral, selain Moeldoko untuk jadi panglima TNI. Apalagi sebagai Jendral, Moeldoko bukan pahlawan besar, prestasinyapun standarlah sebagai tentara di masa damai…. Pertimbangan objektif tentu juga ada pertimbangan subjektif dan diantaranya adalah SBY menaruh kepercayaan penuh kepada seorang Moeldoko, untuk menjadi Panglima.

Dan di masa kepresidan SBY lah karir militer Moeldoko mencapai keemasannya dan karir militer ini nantinya menjadi modal untuk Moeldoko terjun di dunia politik yang akhirnya menghantarkan Moeldoko menjadi inner circle presiden Jokowi sehingga Moeldoko diangkat menjasi seorang KSP (Kepala Staf Presiden) saat ini.

Sayangnya itu belum cukup untuk menahan syahwat kekuasaannya, sehingga jabatan Ketum Demokrat yang sedang dipegang anak mantan bossnya pun direbut dengan cara extra ordinary.

Publik dan pengamat bahkan SBY pun terhenyak dan dikejutkan dengan langkah super cepat sang jendral yang ingin menggilas sang mayor (jabatan terakhir AHY ketika masih aktif di tentara), politik Indonesia hampir selalu tidak lepas dari 2 (dua) hal untuk memahami sebuah manuver yaitu
▪️BALAS DENDAM
▪️BALAS BUDI
Publik melihat tidak ada dendam antara Moeldoko dengan istana Cikeas, dan yang dilakukan Moeldoko seperti tidak tahu balas budi dengan Cikeas. Seperti syair lagu Tik Tok dari Ilir 7, publik bertanya :
Entah apa yang merasukimu
Hingga kau tega mengkhianatiku

Selain itu, jika ini bisa dilakukan oleh Moeldoko kepada Demokrat ataupun AHY, dengan begitu mudah dan dinginnya… Maka ini bisa dilakukan kepada Partai Politik lain… ini sungguh berbahaya kedepannya untuk demokrasi bangsa yang baru belajar ini, karena seseorang yang bukan anggota atau kader sebuah partai politik dengan mudahnya melalui kekuasaan yang dimiliki bisa langsung menjadi Ketua Partai.

Muhammad Rodhi Mu’amari, d’Angkringan Geopolitik