Minta Ruang Pemeriksaan Polres Dipasang CCTV, Habiburokhman: Masa Orang Masuk, Keluar Babak Belur

Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, meminta Komnas HAM untuk mendorong Polri memasang kamera pengawas atau CCTV di setiap ruang pemeriksaan para saksi maupun tersangka.

Dia berpendapat, pemasangan CCTV diperlukan guna mengetahui ada atau tidaknya kekerasan ketika pemeriksaan berlangsung.

Habiburokhman mengatakan penyiksaan dalam penyidikan kerap menjadi sorotan Komnas HAM. Hal itu pun sangat sulit untuk dibuktikan.

“Zaman teknologi ini CCTV pak, saya pikir di setiap polres, di ruang pemeriksaannya kita dorong untuk disediakan CCTV,” kata Habiburokhman saat rapat Komisi III DPR dengan Komnas HAM pada Selasa (6/4/2021), seperti dikutip dari Tribunnews.com.

“Jadi jangan di jalan-jalan saja kita meleng sedikit kena tilang gitu kan. Tapi di tempat melakukan pemeriksaan BAP ada CCTV sehingga bisa dibuktikan.”

Habiburokhman menuturkan dengan adanya CCTV, setiap tindakan yang dilakukan kepolisian terhadap tersangka maupun saksi dalam melakukan pemeriksaan dapat terpantau.

Termasuk jika dalam proses tersebut terjadi kekerasan atau penyiksaan yang dilakukan.

“Masa ada orang masuk, keluar babak belur tidak bisa dibuktikan, ini terjadi pelanggaran HAM. Dan kita tidak mau terjadi seperti ini, mestinya ada CCTV,” ucapnya.

“Saya pikir dengan semangat presisi Polri yang baru beliau akan mudah menerima ide ini.”

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan bahwa Komnas HAM menerima 28.305 aduan dalam lima tahun terakhir.

Dari jumlah aduan tersebut, sekitar 9801 aduan di antaranya tidak dilanjutkan karena alasan administratif.

Kemudian, ada 14.363 aduan yang diteruskan, yang masuk ke dalam dukungan pemantauan dan penyelidikan 4536 kasus dan 3400 kasus masuk ke dalam dukungan mediasi.

“Kalau kita lihat statistiknya yang paling banyak diadukan Kepolisian Republik Indonesia, yang kedua korporasi yang ketiga pemerintah daerah,” kata Taufan di Ruang Rapat Komisi III DPR.

“Kemudian tentu saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat dalam hal ini beberapa kementerian terkait.”

Taufan menjelaskan, Kepolisian paling banyak diadukan lantaran dianggap pengadu sebagai pelanggar HAM atau dianggap tidak baik dalam menegakkan hukum.

Sementara untuk korporasi selalu berhubungan dengan agraria dan perburuhan.

“Pemerintah daerah biasanya terkait juga dengan nanti soal agraria, intoleransi, rumah ibadah dan lain-lain itu. Wilayah yang tertinggi DKI Jakarta yang paling banyak diadukan. Kemudian Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Tengah,” kata Taufan. {kompas}