Masjid Istiklal di Sarajevo, Dibangun Pak Harto Usai Kunjungan Beresiko Ke Bosnia

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, tidak menghalangi pengurus Masjid Istiklal Džamija di Sarajevo, Bosnia & Herzegovina untuk terus beraktivitas.

Hanya dua bulan terhenti pada masa awal Covid-19, pada bulan Mei 2020, pengurus Masjid Soeharto atau Masjid Indonesia di negara Eropa ini, membuka kembali masjid ini untuk kegiatan ibadah dan kegiatan sosial.

Kegiatan ibadah di masa pandemi ini dipublikasi secara rutin oleh pengurus masjid melalui akun Facebook Istiklal džamija.

Ibadah rutin, shalat Jumat, donor darah, hingga kuis tentang sejarah Bosnia dan Herzegovina, dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

“U povodu Dana državnosti članovi Mreže mladih Istiklala su organizovali kviz o historiji Bosne I Hercegovine. Tom prilikom su ponovili lekcije iz historije, naučili nekoliko novih detalja I u vrijeme pandemije obilježili ovaj značajan dan.

Pada kesempatan Hari Kenegaraan, anggota Jaringan Pemuda Istiklala mengadakan kuis tentang sejarah Bosnia dan Herzegovina.

Pada kesempatan itu, mereka mengulang hikmah dari sejarah, mempelajari beberapa detil baru dan menandai hari penting ini selama pandemi,” demikian salah satu postingan yang diterbitkan pada 3 Desember 2020.

Masjid yang makmur ini bernama Masjid Istiklal Džamija. Sebagian masyarakat di sana menyebutnya Masjid Soeharto atau Masjid Indonesia.

Bangunan masjid tiga lantai dengan dua menara di sayap kiri dan kanan ini memang dibangun dengan uang sumbangan negara dan rakyat Indonesia.

Proses pembangunan masjid ini berlangsung selama enam tahun, dari tahun 1995 hingga 2002. Berlokasi di tengah lembah dengan tempat parkir yang luas di depan masjid, membuat masjid ini terlihat menonjol.

Apalagi, di sekitar bangunan masjid ini di Sarajevo, tidak banyak berdiri bangunan bertingkat tinggi.

Dikutip dari website soeharto.co, luas bangunan masjid yang dibangun dengan dana sebesar 2,7 dolar ini mencapai 2.500 meter persegi. Sedangkan, data fisik dua menaranya masing-masing diketahui mencapai 48 meter. Dan tinggi bangunan masjidnya mencapai 27 meter.

Maka tidak mengherankan bila Masjid Istiqlal ini kemudian menjadi salah satu ikon kota yang sempat menjadi mengalami perang yang berdarah-darah.

Kunjungan Penuh Resiko
Masjid ini menyimpan kisah heroik kepedulian Bangsa Indonesia terhadap rakyat Bosnia Herzegovina. Kisah itu diukir rakyat Indonesia melalui Presiden ke-2 RI, Jenderal Besar HM Soeharto.

Seluruh rakyat Bosnia tahu, ada peran Soeharto dalam pembangunan masjid yang menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sarajevo ini.

Kisah tentang kunjungan bersejarah Presiden Soeharto ini diceritakan oleh mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam buku ‘Pak Harto The Untold Stories’ yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2011.

Kala kunjungan ke Bosnia berlangsung, Sjafrie Sjamsoeddin menjabat sebagai komandan Grup A Pasukan Pengamanan Pesiden (Pasmpampres) dengan pangkat kolonel.

Dalam buku itu, Sjafrie berkisah, kala itu Panglima pasukan PBB di Bosnia tidak mengizinkan Soeharto berkunjung di Sarajevo.

Namun setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke ibu kota Bosnia-Herzegovina tersebut. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Soeharto.

Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, pada 13 Maret 1995.

Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang perempuan petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.

Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk dua awak media.

Dikutip Serambiwiki.com dari berbagai sumber, kala itu, 13 Maret 1995 kondisi Bosnia & Herzegovina masih bergejolak akibat perang yang melibatkan Bosnia, Kroasia, dan Serbia.

Dua hari sebelum Soeharto berkunjung, atau tanggal 11 Maret 1995, sebuah pesawat PBB ditembak jatuh di atas udara Bosnia.

Hal ini membuat panglima pasukan PBB di Bosnia lepas tangan dan tidak berani memberi jaminan keamanan jika Presiden Soeharto dan rombongan tetap memaksakan diri berkunjung ke Bosnia.

Namun, Pak Harto, sang Presiden Indonesia sudah bertekad bulat untuk melihat secara langsung kondisi rakyat Bosnia & Herzegovina yang menjadi korban keganasan agresi pasukan militer Serbia.

Pak Harto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, sepertinya ingin memberi dukungan langsung kepada pemerintahan Muslim Bosnia & Herzegovina yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya.

Perjalanan Pak Harto ke Sarajevo kala itu memang penuh risiko. Presiden kedua Republik Indonesia ini harus menandatangani surat pernyataan risiko.

Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa sang Presiden ini di Sarajevo.

Ketika syarat ini disodorkan, Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Sjafrie selaku Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Dia pun langsung menandatangani surat itu tanpa ragu.

Sjafrie kala itu mengaku ketar-ketir juga. Apalagi saat Soeharto menolak mengenakan helm baja. Dia juga tak mau menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.

“Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie, seperti dikutip dari web soeharto.co.

Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut.

Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan. “Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” terang Sjafrie.

Suasana mencekam saat pesawat mendarat di Sarajevo. Sjafrie mengaku melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.

Saat konflik itu, lapangan terbang Sarajevo dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.

“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” kataSjafrie.

Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia.

Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah itu. Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB.

Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.

Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia yang keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember.

Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia. Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto.

Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya. Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.

“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Pak Harto.

“Tapi resikonya sangat besar, Pak” kata Sjafrie lagi.

“Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat,” kata Pak Harto.

Kata-kata itu membekas di hati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat kata-kata Presiden Soeharto tersebut.

“Kalimat yang diucapkannya bermuatan keteladanan yang berharga bagi siapa pun yang hendak menjadi pemimpin,” ujar Sjafrie.

Diresmikan Oleh Megawati

Kunjungan Pak Harto menjadi cerita abadi di balik berdirinya Masjid Istiqlal di Sarajevo.

Sebelum pembangunan dituntaskan Presiden Ketiga RI BJ Habibie dan isterinya Ainun Habibie menyumbangkan sebuah mimbar dan aneka ornamen yang teruat dari kayu jati yang berukir indah dengan gaya ornamen perpaduan khas Jepara dan Turki.

Akhirnya, pada September 2001, Menteri Agama Indonesia, Said Aqil Husin al-Munawar meresmikan berdirinya masjid tersebut.

Dan, setahun kemudian pada bulan September 2002 selama kunjungan kenegaraannya ke Sarajevo, Presiden Megawati Soekarnoputri menyempatkan diri mengunjungi dan menandatangani prasasti pendirian Masjid Istiqlal di Bosnia ini. {TRIBUN}