Ketika David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya Israel pada 14 Mei 1948, sekitar 700.000 warga Palestina terusir dari rumah mereka. Pengusiran warga Palestina akibat deklarasi tersebut menciptakan krisis pengungsi yang masih belum terselesaikan hingga saat ini.
Orang-orang Palestina menyebut penggusuran massal kala itu sebagai Nakba, bahasa Arab untuk “malapetaka”. Warisan ini menjadi salah satu masalah yang paling sulit diselesaikan dalam negosiasi perdamaian yang sedang berlangsung.
Orang Palestina dan Israel mengingat kelahiran krisis tersebut dengan sudut pandang yang sangat berbeda sebagaimana dilansir Vox.
Orang-orang Palestina menganggap penggusuran tersebut merupakan titik kulminasi dari kampanye Yahudi selama bertahun-tahun yang terencana untuk menyikat Palestina.
Sementara orang Israel cenderung menyalahkan orang Arab yang melarikan diri secara spontan, tentara Arab, atau akibat masa perang yang tidak menguntungkan.
Kini, ada lebih dari 7 juta pengungsi Palestina yang didefinisikan sebagai orang-orang yang mengungsi pada 1948 dan keturunannya.
Tuntutan inti Palestina dalam negosiasi perdamaian dengan Israel adalah semacam keadilan bagi para pengungsi ini.
Mereka paling sering menuntut supaya warga Palestina memiliki hak untuk kembali ke rumah yang ditinggalkan keluarga mereka pada 1948.
Israel tidak dapat menerima hak untuk kembali tanpa mempertimbangkan identitas Yahudi atau demokrasinya. Pasalnya, menambahkan 7 juta orang Arab ke populasi Israel akan membuat orang Yahudi menjadi minoritas di Israel.
Itu karena total populasi Israel sekitar 8 juta. Jumlah itu sudah termasuk 1,5 juta orang Arab yang telah ada di sana.
Sehingga, orang Israel menolak untuk mempertimbangkan tuntutan Palestina yang meminta dikembalikannya para pengungsi dan keturunannya ke rumah mereka. {kompas}