News  

Pengalaman Ketemu Hamas Di Palestina: Bekal Untukmu Debat Dengan Akun-Akun Pro Israel

Sebagai jurnalis yang pernah ketemu Hamas pada 2009, Mas Kardono coba kasih bekal buatmu kalau mau debat dengan akun-akun pro-Israel. Narasi di Indonesia soal Israel dengan Palestina berkembang begitu banyak—terutama belakangan ini. Dan tak semuanya positif tentang Palestina.

Meski pemerintah Indonesia secara resmi tidak mengakui Israel, dan mengecam aksi serangan tersebut, namun sejumlah akun yang terindikasi adalah akun pendukung Israel melakukan kontra narasi yang melemahkan suara dukungan mayoritas masyarakat Indonesia ke Palestina.

Yang berkembang adalah: pemimpin Hamas korup dan menggelapkan uang bantuan dana, mengamini narasi Israel-AS dan mayoritas negara Barat yang menyebut Hamas teroris dan harus disingkirkan.

Serta jika tidak ingin diserang, makanya Hamas jangan meroket duluan, kapok kan sekarang diserang. Juga ada narasi yang bahkan menyebutkan Hamas itu didanai oleh Israel.

Apalagi, narasi-narasi tersebut kemudian ditambahi dengan sejumlah kisah konspirasi internasional, di mana gosipnya Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak pada 2008 bertemu dengan petinggi Qatar untuk mengatur pendanaan bagi Hamas.

Cerita yang bagi orang awam terlihat begitu memukau, namun bagi yang mau berpikir sejenak pasti berkomentar, “iki cerito opo maneeeh seeeh?”

Oke, mari kita bahas sejumlah kata kunci untuk memahami apa yang terjadi di sana.

Sejarah konflik

Untuk mempercepat bahasan, saya akan membatasi pada gambaran umum sejarah pada konflik modern, yang intinya berujung pada upaya pencaplokan lahan oleh Israel yang membuat orang-orang Palestina terancam terusir dari lahan yang telah mereka tempati beratus-ratus tahun sebelumnya.

Perang Dunia I berakhir dengan runtuhnya kekhalifahan terakhir, Kekhalifahan Ottoman Turki. Salah satu implikasinya adalah bekas wilayahnya di kawasan Palestina kini dikuasai Inggris.

Kawasan itu dihuni mayoritas oleh orang Arab (yang kini disebut Bangsa Palestina). Kaum Yahudi juga tinggal, namun sebagai minoritas. Simak saja peta pergeseran wilayah Israel yang kini banyak beredar di linimasa tersebut.

Pada 1920-1944, meningkatnya kampanye anti-Semit yang digelorakan oleh Nazi, banyak warga Yahudi yang kemudian migrasi ke Palestina. Selain keselamatannya terancam di Eropa, mereka juga memandang Palestina adalah Tanah yang Dijanjikan.

Alasan politik yang diperkuat alasan agama. Yang kemudian mengakibatkan terjadinya konflik antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bermukim di sana.

Hingga, pada 1947, PBB memutuskan Palestina dibagi menjadi dua negara. Yakni, negara kaum Yahudi dan negara Arab. Sementara, Yerusalem menjadi kota internasional di bawah pengelolaan PBB. Negara-negara Arab menolak, dan puncaknya terjadi pada 1948.

Tak mampu mengatasi problem tersebut, Inggris angkat kaki dari kawasan tersebut, Israel memproklamirkan diri sebagai negara, dan negara-negara Arab yang tak terima dengan proklamasi tersebut menyerbu.

Inilah yang kemudian disebut orang Palestina sebagai “al-nakban” atau kiamat. Pendudukan yang terjadi merugikan orang Palestina.

Setahun setelah perang berdarah itu, Israel mengontrol banyak teritori di kawasan tersebut. Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan Mesir menguasai Gaza.

Yang memilukan, 700 ribu penduduk Palestina terusir dari rumahnya dan menjadi pengungsi. Sebuah problem yang masih belum terselesaikan hingga kini. Dari 700 ribu orang itu, kini sudah total menjadi 7 juta orang Palestina yang hidup di pengungsian.

Masalah ini menjadi salah satu pembahasan yang buntu di meja perundingan. Mau dikemanakan mereka, karena Israel mentah-mentah menolak menerima para pengungsi tersebut?

Pada perang Enam Hari 1967, Israel makin menang banyak. Mereka juga mengontrol kawasan Yerusalem, Dataran Tinggi Golan (sebagian sudah dikembalikan ke Syria), termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Dua nama terakhir ini adalah dua wilayah yang dianggap sebagai “wilayah” Palestina. Yang tidak banyak diketahui orang, dua wilayah tersebut secara teknis sebenarnya masih dalam pendudukan Israel.

Ya, saya ulang: Pen-du-du-kan. Atau bisa juga disebut penjajahan. Saat saya liputan di Jalur Gaza pada Januari 2009, mata uang yang berlaku di sana adalah shekel. Mata uang Israel. Maka, alur sejarah berikutnya adalah bagaimana Bangsa Palestina berjuang untuk mempunyai sebuah negara?

Interupsi sejenak, mungkin perlu diberi tambahan informasi mengenai konsep Nation-State atau negara-bangsa. Negara dan bangsa adalah dua entitas yang berbeda. Sahnya sebuah negara itu salah satu yang terpenting adalah jika ada pengakuan dari negara lainnya.

Sebuah bangsa bisa jadi tak mempunyai negara. Contohnya adalah Bangsa Kurdi. Meski penduduknya banyak, dan semua orangnya memenuhi apa yang disebut Ben Anderson sebagai imagined communities, tetap saja mereka tidak memiliki sebuah negara.

Pemerintah Turki dan Irak sudah berkali-kali mencegah mereka memiliki negara. Atau mungkin yang bisa diperdebatkan adalah “bangsa” Timor Leste atau “bangsa” Papua. Eh.

PLO dan faksi-faksi di Palestina

Pada 1990-an dulu, saya dan banyak orang Indonesia mengagumi sosok Yasser Arafat. Dia adalah pemimpin Palestina Liberation Organization (PLO).

Saking terkenalnya di Indonesia, PLO sampai punya akronim baru bernada guyon, yakni pasukan lali omah (uzur sekali usia Anda kalau sampai tahu guyon jadul beginian).

Dibentuk pada 1964, pada dekade pertama, PLO memilih jalan perang. Yakni, memilih melenyapkan Israel dan menggantinya dengan negara Palestina.

Semua berubah ketika pada 1993, PLO akhirnya mengakui eksistensi Israel sebagai negara. Sebagai imbalannya, Israel harus mengakui adanya perwakilan pemerintahan orang Palestina. Di sinilah jalan panjang negosiasi dimulai.

Secara resmi, PLO adalah perwakilan nasional dari rakyat Palestina. Badan inilah yang menjalankan Palestinian Authority (PA), sebuah lembaga semi-otonom yang bertugas menjalankan roda pemerintahan di teritori Palestina (Tepi Barat dan Gaza).

Catatan: yang dominan di wilayah itu adalah Fatah, sebuah partai politik sekuler-nasionalis.

Meski menjadi badan resmi, namun PLO tak bisa mengontrol Jalur Gaza. Kawasan ini sepenuhnya dikontrol oleh Hamas. Penyebabnya? Digulingkannya PM Ismail Haniyah dan kekuasaan Hamas setelah menang pemilu pada 2006 oleh Israel-AS, dan Fatah turut andil di dalamnya.

Kini, wilayah yang terpisah itu (Tepi Barat dan Jalur Gaza) dikuasai oleh dua faksi terbesar: Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Ada beberapa faksi kecil-kecil lagi seperti kelompok Jihad Islam Palestina dan Al Jaysh al Islam. Namun, mereka belum signifikan perannya.

Secara politik, dengan digolongkannya Hamas sebagai “organisasi teroris” oleh Israel, AS, dan negara-negara Barat, hal ini menyulitkan proses perdamaian.

Karena, biasanya perlawanan keras terhadap Israel datang dari Jalur Gaza yang dikuasai Hamas. Anehya, negara-negara Barat hanya mau berunding dengan Fatah yang tak punya kontrol di Jalur Gaza.

Jadinya? Ya sulit dong untuk melakukan de-eskalasi ketegangan.

Hamas

Membahas soal Palestina modern ini, tak akan bisa tanpa membahas Hamas. Berdiri sejak 1987, tanzhim yang bernama lengkap Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah inilah yang konstan melakukan perlawanan fisik terhadap pendudukan Israel.

Meski hanya bersenjatakan roket ala kadarnya dan taktik perang gerilya, namun kiprah Hamas ini cukup memusingkan Israel. Membuat dunia masih tahu bahwa bangsa Palestina masih ada dan tetap melawan.

Soal cap sebagai kelompok teroris, saya agak berbeda pandangan dengan parameter Israel dan AS. Setidaknya, Hamas tidak bisa disamakan dengan ISIS atau pun Al-Qaeda. Mereka beda dengan mereka sejak masih awal.

Pada Februari 1989, ketika Soviet meninggalkan Afghanistan, kepercayaan diri mujahidin di Afghanistan melambung. Bahwa semangat jihad bisa mengalahkan negara superpower. Namun, kemudian muncul persimpangan jalan.

Setelah Soviet kalah, lalu apa selanjutnya? Di sinilah kemudian muncul dua aliran.

Yang pertama adalah pendapat Syekh Abdullah Azzam, salah satu tokoh Mujahidin paling disegani. Dia menginginkan proyek selanjutnya adalah pembebasan Palestina dari belenggu Israel, yang dianggap sebagai kafir ajnaby (kafir asing). Selain itu, Azzam juga salah satu pendiri Hamas.

Yang kedua adalah pendapat Osama bin Laden dan gerbang tanzhim Jihad Islam Mesir-nya Ayman Al Zawahiri. Mereka fokus untuk menghancurkan kafir mahaly atau kafir tempatan, seperti negara-negara Islam yang pemerintahannya bukan pemerintahan Islam.

Apalagi, Ayman. Dia bahkan terang-terangan menyerang Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai antek-tiran.

Hamas ini sendiri memang berafiliasi ke IM. Itulah kenapa ketika IM memegang tampuk kekuasaan di Mesir pada 2011 (menyusul revolusi penggulingan Presiden Hosni Mubarak), mereka langsung digoyang.

Pada 2013, kudeta militer menjatuhkan Muhammad Mursyi dari kursi kepresidenan. Banyak yang berspekulasi, Israel-AS di balik penggulingan tersebut. Dugaan yang mudah sekali dimengerti.

Lah gimana? Jika IM memegang tampuk kekuasaan di Mesir, Jalur Gaza tak akan pernah aman bagi Israel. Hamas bisa menjadi sangat kuat dengan suplai barang dari Rafah.

Dua pendapat yang muncul itu berakhir dengan tewasnya Azzam oleh bom mobil sembilan bulan lagi. Selanjutnya, kelompok Mujahidin menjadi kelompok teror jihad global dan Palestina tak pernah menjadi prioritas penting di agenda mereka.

Jadi, memang sejak awal, Hamas bukan kelompok jihad global yang menginspirasi serangan di Eropa atau mensponsori aksi teror di Asia seperti Al-Qaeda dan ISIS.

Hamas lebih pantas disandingkan dengan IRA (paramiliter yang ingin mempersatukan Irlandia) atau MILF (paramiliter Bangsa Moro di Filipina), yang tujuan utamanya adalah kemerdekaan. Bukan mewujudkan kekhilafahan.

Selain itu, tahukah Anda bahwa Hamas juga merevisi Piagam 1988-nya pada 2017 lalu?

Jika di Piagam 1988 tegas-tegas menyatakan tidak ada Israel dalam peta Palestina, namun pada 2017, Hamas mengisyaratkan menerima two-state solution.

Yakni, dengan menerima adanya pemerintahan Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Artinya, Hamas sudah cukup melunak belakangan ini.

Soal ini menjadi salah satu yang menjadi ganjalan dalam meja perundingan. Karena ini, menjadi salah satu tools bagi Israel untuk terus meluaskan wilayah. Caranya dengan melakukan settlement di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Yang paling masif di Tepi Barat.

Loh kok bisa? Kan itu dua kawasan teritori Palestina Authority? Ingat, Israel merasa memiliki dan secara de facto mengontrol dua kawasan tersebut.

Tercatat sekarang ada 500 ribu warga Israel yang tinggal di settlement. Sebanyak 75 persennya berada di Tepi Barat, dan penempatannya sengaja ditaruh terpencar di sejumlah wilayah Tepi Barat.

Tujuannya untuk membuat warga Palestina tercerabut dari akar lingkungan sosialnya, sementara komunitas Yahudi semakin menancapkan akarnya di wilayah Palestina.

Perlahan, tapi pasti, wilayah dengan kultur Yahudi akan semakin meluas. Merangsek dan pada akhirnya mengusir semua orang Palestina.

Di settlement inilah kemudian muncul apa yang jika dalam demo-demo mendukung Palestina disebut sebagai apartheid. Sebab, di banyak wilayah Tepi Barat ada banyak ruas jalan yang bertuliskan: “Israelis Only”.

Artinya, hanya orang Israel yang berhak mengakses jalan tersebut. Sementara penduduk Palestina dipaksa harus lewat pinggir-pinggirnya, itu pun harus melewati sejumlah check point dan diperiksa secara ketat.

Jadi, bayangkan, ketika Anda kecil dulu, semua lingkungan adalah orang-orang yang saling mengenal dalam satu kultur, kemudian suatu hari ada rombongan migran datang, pelan-pelan makin banyak dan menggusur keberadaan banyak dari relasi dan kerabat Anda.

Kemudian, Anda tidak boleh melalui jalan yang biasa Anda lalui, dan dipaksa lewat pinggir dan diperiksa oleh rombongan migran itu seolah-olah Anda adalah hewan berbahaya.

Jadi, jika Bangsa Palestina merasa marah dan melakukan perlawanan, itu hal yang sangat wajar. Dan jika menganut UUD 1945, maka mereka patut dibela. Apalagi, legal standing Indonesia jelas: mengakui Palestina dan menolak Israel.

Artinya, di mata Indonesia, Negara Palestina diduduki oleh sebuah kelompok ras pendatang yang dominan dan sewenang-wenang.

Selain settlement, juga masih belum jelas nasib 7 juta pengungsi Palestina yang hidup di pengungsian. Mereka sama sekali tidak bisa kembali ke rumahnya dulu karena ditolak Israel.

Makanya, saya heran sekali jika ada netizen Indonesia ini yang justru menyalahkan Hamas dan malah sedikit pro dengan sikap Israel. Apalagi sampai menganggap bahwa Gaza-Israel ini sebuah “konflik”.

Ini bukan konflik, Bung. Ini pendudukan dan penggusuran. Titik.

Sampai sini paham? {mojok}