News  

Anies Baswedan-Gatot Nurmantyo, Pasangan Ideal?

Riuh juga comment pembaca di beberapa WhatsApp group atas tulisan kemarin, Anies-AHY atau Anies-Puan Diantara Prabowo-Puan.

Umumnya, mereka tidak sepakat Anies-Puan apalagi Puan-Anies. Sementara Prabowo Subianto sudah mereka anggap sebagai bagian dari masa lalu.

Mayoritas anggota WhatsApp group, veteran Prabowo-Sandi, Pilpres 2019 kemarin. Militansi mereka tidak perlu diragukan. Jangankan dibayar. Justru mereka yang mengeluarkan uang untuk Prabowo-Sandi.

Ada juga dari WhatsApp group lain yang lebih heterogen. Pasangan Anies-Puan atau Prabowo-Puan, merupakan pasangan yang paling mereka tolak.

Wajar bila mereka melupakan Prabowo, idolanya saat Pilpres 2019. Mereka ‘sakit hati’ saat Prabowo-Sandi merapat menjadi ‘pembantu’ Jokowi-Ma’ruf Amin.

Imbasnya tentu saja ke 2024. Prabowo masuk saku mereka. PDIP harus ‘dihajar’ habis-habisan agar jadi partai gurem di Pileg 2024. Harapan dan mimpi besar yang banyak mewarnai komentar atas tulisan kemarin.

Tidak hanya mimpi besar ‘tenggelamnya’ PDIP. Mereka all out berjuang dan berdoa untuk duet Anies Baswedan – Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Menurut mereka, sosok Anies dan Gatot diharapkan mampu mengembalikan kejayaan NKRI yang agamis, utuh, bersatu, maju dan modern berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tidak seperti sekarang, kekiri-kirian dan cenderung otoriter.

Hanya saja, baik Anies maupun Gatot sama-sama bukan kader partai dan ketua partai. Walaupun Anies dinilai lebih dekat dengan PKS. Sama-sama agamis. Punya chemistry yang sama.

Sedangkan problem terbesar Gatot Nurmantyo, selain faktor elektabilitas, juga belum ada kendaraan politik untuk mengantarkannya berkompetisi pada Pilpres 2024.

Lain halnya, bila elektabilitas Gatot berada diurutan tiga besar. Akan banyak partai yang melirik dan mendekat. Walaupun elektabilitas bukan jaminan.

Kecuali ada perubahan dalam sistem kepemiluan Indonesia. Misalnya, dicabutnya presidential threshold dalam UU Pemilu. Peluang Anies dan Gatot maju bersama sangat besar.

Publik harus mengawal dan mendesak agar UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu harus direvisi, khususnya mengenai presidential threshold.

Publik juga harus mendesak DPR dan Pemerintah untuk mencabut presidential threshold seperti yang diatur dalam Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Presidential threshold atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden menjadi 0%.

Adanya presidential threshold, menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, sebesar 20 persen akan membuat Pilpres 2024 dikuasai cukong. Sebab, ketentuan itu membuat hanya pihak yang berduit yang mampu ‘membeli’ parpol untuk mencalonkan presiden.

“Kalau presidential threshold dipertahankan, di 2024 maka yang bisa calonkan presiden cuma cukong saja. Dia beli enam parpol Istana, masing-masing Rp1 triliun, ajukan satu paslon,” kata Refly dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (8/9) seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Bandung, 20 Syawal 1442/1 Juni 2021
Tarmidzi Yusuf, Pegiat Dakwah dan Sosial