News  

Pledoi Habib Rizieq Shihab Singgung Ahok Hingga Airlangga Hartarto Rahasiakan Positif COVID-19

Habib Rizieq Syihab menyinggung sejumlah pejabat pemerintah yang merahasiakan kondisi kesehatannya terkait dengan COVID-19. Habib Rizieq mempertanyakan, para pejabat tersebut bisa melakukan itu sementara ia dihadapkan dengan konsekuensi pidana.

Dalam pembacaan pleidoi atau nota pembelaan, Habib Rizieq awal mulanya menyinggung soal cuitan Presiden Jokowi di Twitter pada 3 Maret 2020 yakni:

‘Saya telah memerintahkan menteri untuk mengingatkan agar rumah sakit dan pejabat pemerintah untuk tidak membuka privasi pasien yang dirawat karena virus corona. Hak-hak pribadi mereka harus dijaga. Begitu juga Media massa, saya minta untuk menghormati privasi mereka.’

Diketahui, pada tanggal 3 Maret merupakan masa awal Indonesia diserang COVID-19. Saat itu, belum ada aturan-aturan lebih teknis perihal penanggulangan COVID-19 di Indonesia.

Dalam lanjutan pleidoinya, Habib Rizieq juga menyinggung soal siapa saja pejabat negara yang merahasiakan kondisi kesehatannya, padahal terjangkit COVID-19. Mereka mulai dari Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

“Sejumlah Pejabat dan Tokoh Nasional banyak yang merahasiakan Kondisi Kesehatan mereka, seperti Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merahasiakan dirinya kena COVID pada Tahun 2020, dan Komisaris Utama Pertamina Ahok juga merahasiakan dirinya sekeluarga terkena COVID.

Sehingga anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay pada tanggal 22 Januari 2021 di berbagai media massa mengatakan bahwa tidak ada kewajiban seorang pasien positif COVID-19 secara aktif harus mengumumkan dirinya terpapar,” kata Habib Rizieq di PN Jakarta Timur (10/6).

Hal tersebut, kata Habib Rizieq, sekaligus membantah terkait tuntutan JPU pada halaman 22 bagian dakwaan ketiga. Isinya terkait pengisian general consent (persetujuan umum) di RS Ummi bahwa dia tidak bersedia datanya dibuka adalah berarti menghalangi penanggulangan wabah.

Habib Rizieq mengatakan, terkait hal itu JPU telah mengabaikan keterangan ahli di persidangan yakni dr Tonang yang merupakan ahli kesehatan dan epidemiologi, dr Luthfi Hakim selaku ahli medco legal & hukum pidana kesehatan, serta dr Nasser selaku ahi hukum kesehatan.

“Mereka telah sepakat menyatakan di depan persidangan bahwa kerahasiaan data pasien dilindungi UU, hanya boleh dibuka saat darurat sesuai aturan, bukan dibuka untuk publik tanpa aturan,” kata Habib Rizieq.

“Penilaian JPU ini bahwa pengisian general consent rumah sakit adalah pelanggaran hukum sangat berbahaya sekali, karena formulir general consent merupakan protap standar di setiap rumah sakit dan juga merupakan hak kerahasiaan pasien yang dilindungi Undang-Undang,” sambungnya.

Parahnya lagi, kata dia, JPU menganggap hak kerahasiaan pasien sebagaimana dimaksud dalam general consent rumah sakit sebagai bentuk pelanggaran terhadap pelaksanaan penanggulangan wabah, padahal data pasien yang diperlukan untuk penanggulangan wabah oleh pihak rumah sakit, diklaim Habib Rizieq, tetap dibuka sesuai aturan.

“Seperti pengiriman sampling pemeriksaan pasien ke laboratorium dan pelaporan rekam medis pasien secara real time ke Dinkes Kota / Kabupaten mau pun ke Kemenkes RI,” pungkasnya.

Dalam kasus ini, Habib Rizieq didakwa melanggar sejumlah hal saat dirawat di Rumah Sakit Ummi, Bogor.

Salah satunya terkait tidak memberikan data hasil swab kepada pemerintah, pada saat itu kondisi Kota Bogor tengah menerapkan protokol ketat terkait COVID-19. Habib Rizieq pun dituntut 6 tahun penjara atas kasus tersebut. {kumparan}