Industri tekstil dan turunannya kini sedang terancam. Banyak pabrik yang harus menunggak utang ke bank karena sudah tidak sanggup lagi membayar cicilan. Jumlah pabrik yang menunggak pun terancam bertambah dari hari ke hari, apalagi jika melihat daya beli masyarakat yang belum pulih.
Demi menghindari semakin banyak pabrik yang bermasalah, Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa pabrik sudah melakukan beragam cara agar bisa efektif dalam memanfaatkan cashflow.
Salah satu caranya adalah negosiasi dengan pegawai dalam urusan gaji. Langkah itu mau tidak mau dilakukan karena keterbatasan dana.
“Jumlah pabrik sulit bayar cicilan masih di bawah 10%, karena memang ada adjustment yang dilakukan, misalkan sudah menurunkan produksi lagi, upah karyawan jadi ada yang nego.
Jadi urusan bank beberapa masih bisa bayar bunga, tapi ini tergantung, kondisinya dinamis, kalau cashflow tertekan terus, lama-lama bisa lebih banyak lagi (pabrik sulit bayar cicilan),” kata Redma kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/6/21).
Meski masih bisa bayar bunga, namun tidak sedikit yang sudah kesulitan untuk membayar biaya pokok. Lama-kelamaan bukan tidak mungkin banyak juga yang akhirnya angkat tangan kesulitan dalam membayar biaya operasional apapun.
“Pilihan-pilihan dengan cashflow ketat gini ada kewajiban yang dijalankan. Sekarang bayar listrik nggak bayar satu bulan bisa diputus, malah nggak bisa kerja. Akhirnya bank jadi nomor belakang, minimal bisa bayar bunga udah oke.
Padahal biasanya bayar bunga dan pokok, tapi lama-lama bayar bunga agak berat, jadi hal wajar kalau liat runutannya seperti itu, makanya pemerintah perlu ambil tangan, kalau nggak makin banyak masalah,” kata Redma.
Pemerintah harus bisa menjamin pasar dalam negeri agar dikuasai oleh industri dalam negeri itu sendiri. Jika tidak, maka yang terjadi selama ini terus berlangsung, yakni sebagian besar pasar tekstil digerogoti barang tekstil impor.
Pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga harus bergerak simultan, misalnya Dua Ditjen di bawah Kemenkeu, yakni Ditjen Bea Cukai hingga Ditjen Pajak.
“Orang-orang importir masuk pakai impor borongan, nggak dikenakan pajak, dia bebas-bebas saja nggak bayar pajak. Ritel-ritel di Tanah Abang impor nggak bayar PPN, PKP (Pengusaha Kena Pajak) pakai faktur biasa KTP, nggak pakai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), ini harus dibereskan,” sebutnya.
Selain itu, pemerintah juga harus mawas diri dengan kinerja pengendalian impor. Banyak produk impor masuk ke dalam negeri akibat pengawasan yang kurang. Bukan tidak mungkin, pengawasan di lapangan juga mandek.
“Perdagangan juga kerjanya dia nggak mau bereskan barang-barang impor dan nggak sesuai, pakaian bayi misalnya, nggak pakai SNI, nggak pernah diperiksa di market. Baju-baju nggak pakai label bahasa Indonesia. Ada label China, Thailand, Vietnam gampang aja, hal ini nggak pernah dikerjain oleh Kemendag,” tegasnya. {CNBC}