News  

Reorientasi Kebijakan COVID-19

Pada satu titik kita harus bertanya apakah kebijakan penanganan COVID-19 yang sekarang sustainable, baik secara ekonomi maupun sosial. Dan apa kriteria kuantitatif yang bisa menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut?

Dalam tulisan sebelumnya kami sampaikan gambaran besar bahwa biaya ekonomi COVID-19 sedikitnya lima (5) kali lebih besar daripada nilai kehidupan statistik daripada korban terkait COVID-19. Artinya, untuk setiap jiwa yang hilang terkait COVID-19 (apakah disebabkan atau meninggal bersama COVID-19), secara ekonomi kita membayarnya lima (5) kali lebih besar daripada nilai ekonomi kehidupan secara statistik. Implikasinya mudah ditebak, kebijakan sekarang sangat tidak sustainable secara ekonomi.

Ambil satu contoh. Biaya COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional diperkirakan sekitar masing-masing 700 triliun rupiah dalam dua tahun terakhir. Saat ini kita sudah kesulitan sekitar 500 triliun rupiah yang mungkin ditutupi dengan berhutang.

Bila kita butuhkan sejumlah tambahan 700 triliun rupiah tahun depan, mau tidak mau pemerintah harus mencetak uang dalam jumlah mungkin 500 sampai 700 triliun rupiah. Konsekuensinya adalah inflasi, yang membuat biaya ekonomi yang lebih mahal.

Contoh lain, pendidikan daring. Bila pendidikan daring dilanjutkan sampai semester genap tahun depan, itu artinya anak siswa dan mahasiswa kita belajar daring dua tahun penuh. Sebagai dosen dan juga orang tua dari anak siswa, dan hidup di AS yang memiliki infrastruktur dan fasilitas telekomunikasi sangat memadai, belajar daring kurang lebih seperti kencan maya. Dan efek buruknya terhadap produktivitas dan kesehatan mental pelajar dan mahasiswa tersebut luar biasa.

Karena itu, perlu pendekatan baru terhadap penanganan COVID-19. Pendekatan ini tetap berpijak pada data terkait COVID-19 dan kalkulasi konsekuensi kebijakannya.

Data Akurat dan Komprehensif
Pertama, perlu data korban jiwa terkait COVID-19 lebih akurat, baik secara medis, demografis, dan geografis.
Berapa yang meninggal karena COVID-19?
Berapa yang meninggal bersama COVID-19?
Berapa dengan penyakit bawaan serius?
Apa saja penyakit bawaan tersebut?
Bagaimana dengan data-data demografis dan geografis korban?

Dengan kata lain, kita perlu data dan informasi karakteristik daripada korban jiwa Covid.

Seluruh daerah harus punya sistem informasi baku yang kemudian bisa diagregasi secara nasional dan dengan cepat.

Data harus akurat dan harus mutakhir.
Mungkin data-data ini sudah ada. Tetapi bila sudah, saya belum melihat secara nasional dan daerah ada kompilasinya. Dan yang bisa tersedia diakses.

Pemahaman ini akan memberikan kita tuntunan untuk mengambil kebijakan yang lebih masuk akal. Bila ternyata 60-70% korban memiliki penyakit bawaan tertentu, misalnya diabetes, jantung, atau hipertensi akut, maka pembatasan kegiatan lebih tersegmentasi pada kelompok penduduk dengan penyakit bawaan ini.

Jadi sebelum tes COVID-19, mungkin penduduk (khususnya usia 40 tahun ke atas) perlu di tes kadar gula dan tekanan darahnya sebagai deteksi awal apakah mengidap penyakit diabetes dan/atau hipertensi atau tidak. Ini memberikan kita pemahaman berapa persentase penduduk kita (khususnya usia 40 tahun ke atas) dengan penyakit kronis di atas.

Sebagai contoh. Menurut data rumah sakit di Jakarta dari 2 Maret sampai 31 Juli 2020, yang dilaporkan Henry Surendra, dkk di The Lancet Regional Health (2021) dari 497 pasien yang meninggal terkait Covid:

46.6 % usia 60 ke atas.
78.3 % usia 50 ke atas.
90.8 % usia 40 ke atas
96.1 % usia 30 ke atas.

Lebih lanjut:
38 % tanpa comorbid.
30 % dengan satu comorbid.
32 % dengan lebih dari 1 comorbid.

Berdasarkan penyakit bawaan:
41 % hipertensi.
29 % diabetes.
21 % penyakit jantung.

Artinya, korban usia mahasiswa ke bawah sangat kecil yang bisa dianggap lebih rendah dari umumnya penyakit lain. Juga, 62 % yang meninggal memiliki 1 atau lebih comorbid dengan hipertensi dan diabetes sebagai comorbid utama.

Pendataan secara akurat dan benar akan karakteristik medis, demografis, dan geografis daripada korban COVID-19 akan membuat langkah-langkah pengendalian COVID-19 lebih terarah dan fokus, bukan lagi secara menyeluruh dan global. Jangan sampai kita membatasi aktivitas orang sehat dan produktif dan yang memiliki risiko korban relatif kecil. Termasuk misalnya untuk penduduk usia 30 tahun ke bawah.

Dalam hal ini, pendidikan daring perlu ditinjau kembali. Kembali ke sekolah secara fisik sudah keharusan apalagi di daerah-daerah dengan resiko minim. Karakteristik kematian COVID-19 berdasarkan geografis memberikan kita informasi akan daerah-daerah di mana pendidikan in-person (hadir di sekolah atau kampus) wajib dilakukan. Kekuatiran bahwa mereka akan menjadi penyebar virus harus dibandingkan dengan impak negatif pendidikan daring.

Kriteria Tingkat Pembatasan
Pembagian zona-zona PPKM sekarang didasarkan indikator tingkat kematian dan hospitalisasi. Misalnya:

Level 3: Untuk per 100 ribu penduduk, tingkat kematian 2-5 kasus dan 10-30 hospitalisasi.

Level 4: Untuk per 100 ribu penduduk, tingkat kematian di atas 5 dan hospitalisasi di atas 30.

Sebagai gambaran, pada tahun 2019, tingkat kematian (oleh berbagai sebab) per 100 ribu penduduk di Indonesia adalah 651 jiwa. Sementara di tahun yang sama, rata-rata 5 ribu per 100 ribu penduduk pernah di rawat inap di rumah sakit.

Artinya apa? Apakah kriteria level PPKM tersebut masuk akal?

Misalnya, dalam 2 minggu terakhir, 6 kematian terkait COVID-19 per 100 ribu penduduk sudah membuat satu daerah mengalami PPKM level 4, yang membuat kegiatan ekonomi bisa mandek, meski di daerah tersebut rata-rata meninggal 25 orang dalam 2 minggu terakhir oleh berbagai sebab.

Kalkulasi Biaya Sosial Ekonomi
Sudah waktunya ada beberapa studi komprehensif yang menganalisa biaya sosial dan ekonomi COVID-19. Memang impak kebijakan COVID-19 sangat kompleks. Meski demikian, bisa dilakukan estimasi berdasarkan berbagai asumsi dan model yang masuk akal. Kalkulasi ini akan memberikan kita salah satu dasar untuk menentukan kebijakan yang diambil.

Perlunya Reorientasi
Kombinasi ketiga faktor di atas, yakni data yang akurat dan komprehensif, perspektif akan dasar penentuan tingkat PPKM, serta kalkulasi biaya sosial ekonomi COVID-19 membuat kita untuk melakukan reorientasi penanganan COVID-19. COVID-19 bukan sesuatu yang harus ditakuti sedemikian rupa sehingga harus menyebabkan menanggung biaya ekonomi dan sosial yang jauh diluar kemampuan kita.

Selain itu, berbagai model serta langkah pengendalian yang ditawarkan oleh WHO dan para pakar epidemiologi serta kesehatan umum global tidak boleh kita terima begitu saja. Dari awal sudah terbukti bahwa pemahaman mereka tentang virus ini tidak lebih (bahkan lebih buruk) daripada orang awam. Misalnya, pada awal-awal COVID-19 di tahun 2020, WHO serta “pakar” epidemiologi serta kesehatan umum global mengatakan bahwa dalam 1-2 tahun, tingkat infeksi COVID-19 akan mencapai 70% dengan jumlah kematian mencapai 50 juta orang.

Kenyataannya, meski dengan angka inflasi, tingkat infeksi dan jumlah kematian global terkait Covid hanya 2.7% dan 4.35 juta orang.

Mengingat angka realitas kasus dan kematian terkait Covid (meski sudah inflasi) tidak mencapai 10 % daripada yang diperkirakan oleh para ahli global dan mereka masih tetap memberikan arahan terhadap kebijakan penanganan Covid, kita wajar bertanya apakah ada agenda-agenda tertentu?

Agenda kita yang terutama dan terbesar adalah menyelamatkan dan memulihkan Indonesia dari COVID-19. Kita hanya bisa lakukan itu kalau kita betul-betul bersandar pada kebijakan yang didasarkan data dan informasi yang akurat serta analisa yang tepat dan benar.

Juga agenda itu bisa tercapai jika kita juga secara seksama dan serius menghargai bahwa manusia itu punya sistem imunitas tubuh. Pertahanan alamiah adalah karunia terbesar Tuhan kepada manusia. Bukan tanpa alasan manusia sekarang berjumlah 7.8 miliar jiwa meski dunia mengenal segudang penyakit. Tetapi, para pakar di atas seolah-olah berpikir bahwa Tuhan hanya penonton atau imaginasi saja.

Saya kuatir, tanpa reorientasi kebijakan penanganan COVID-19, kita akan seperti terus menggali lubang kemerosotan sendiri.

Elwin Tobing, Profesor Ekonomi di AS; Presiden INADATA Consulting, LLC. di Irvine, AS