News  

Sebut GBHN Tak Lagi Relevan, Hamdan Zoelva: Jangan Ubah Konstitusi Parsial, Rusak Negara Jadinya

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tak relevan lagi diterapkan dalam sistem ketatanegaraan saat ini. Sebab, UUD 1945 sudah berubah.

Hamdan mengatakan dahulu MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang membuat GBHN. Sementara presiden sebagai mandataris dari MPR. Dengan begitu, apabila presiden tak sanggup menjalankan mandat, maka DPR dapat mengundang MPR. Sidang istimewa pun digelar.

“Kalau dianggap tidak mampu maka presiden bisa diberhentikan oleh MPR,” kata Hamdan di Jakarta, Jumat (20/8/2021).

Hamdan pun kembali mempertanyakan apabila Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam implementasinya tak bisa memberhentikan presiden, apa gunanya? Sebab, dahulu GBHN merupakan alat untuk mengontrol kinerja presiden.

“Sekarang siapa tanggung jawab? Dulu presiden, dan MPR meminta pertanggungjawaban. Ini dua hal, pertama dari aspek urgensi, kemudian kedua dari aspek substansi.

Keduanya tidak masuk. Jadi, ini rada aneh, jangan mengubah konstitusi parsial, tidak melihat sebagai satu sistem yang utuh, rusak negara ini jadinya,” kata Hamdan.

Hamdan mengkritik wacana amendemen UUD 1945 yang disuarakan MPR. Menurut Hamdan, mengubah konstitusi tak bisa sembarangan.

Hamdan mengatakan tidak ada urgensi negara untuk melakukan amandemen UUD 1945 pada saat ini. Apalagi, hampir dua tahun belakangan, negara tengah dilanda pandemi Covid-19.

“Masalah besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan masalaah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena persoalan UUD? Apakah karena tidak adanya GBHN atau PPHN?,” ujar Hamdan.

Hamdan memahami maksud dan tujuan MPR akan menghidupkan kembali GBHN atau kini disebut PPHN. Namun, Hamdan mencatat persoalan justru bukan pada pembangunan yang tidak konstan akibat belum memiliki PPHN.

“Mungkin boleh kita tanya, gara-gara konstitusi atau gara-gara politisi yang berubah-ubah? Saya sih berkesimpulan politisinya yang memandang persoalan dari sisi lima tahunan.

Konstitusi itu jangka panjang, kalau 5 tahunan pasti akan berubah-ubah tidak mungkin konstan seterusnya,” tegas ketua umum DPP Syarikat Islam (SI) ini.

Dengan begitu, Hamdan mengatakan dalam kontens pembangunan jangka panjang, persoalan yang terjadi bukan karena konstitusi, tetapi konsistensi para politisi.

Sebab, soal pembangunan, menurut Hamdan, Indonesia sudah memiliki rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) yang disusun untuk 25 tahun.

“Ini tidak pernah dilihat, tidak konsisten, lalu pertanyaannya, tidak konsistennya apa, apa sumbernya konstitusi atau tidak? Dari hasil riset kita, tidak konsisten pengambilan kebijakan politik, bukan bersumber dari konstitusi,” ucap Hamdan.

Hamdan juga menyinggung GBHN era Soekarno dan Soeharto. Menurut Hamdan, pada 1960 sampai 1967, GBHN disusun berdasarkan pidato Soekarno yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR.

Kemudian era Soeharto, GBHN dibuat melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang ditetapkan oleh MPR menjadi GBHN. Seluruh perencanaan pembangunan dibuat oleh eksekutif dalam hal ini presiden.

“Sekarang GBHN siapa yang buat? Kalau dilihat Ketetapan MPR, (berarti) MPR yang buat. Kalau MPR yang buat apa melibatkan presiden? Ini jadi soal. Jadi MPR nyusun sendiri, presiden punya sendiri, kan jadi soal dalam implementasi,” demikian Hamdan. {beritasatu}