News  

Pengamat: Isu Amandemen UUD 1945 Dan Presiden 3 Periode Titipan Oligarki

Direktur eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul memberi tanggapan terkait bergulirnya isu amendemen UUD 1945 dan 3 periode Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Seperti diketahui, sebelumnya Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Ferry Noor mengatakan bahwa presiden telah menolak usulan tersebut.

Kendati demikian, menurut Ferry Noor, Jokowi tetap menyerahkan keputusan tersebut kepada MPR. Adib pun mengatakan bahwa isu tersebut merupakan titipan oligarki.

“Pertama, kalau isu amendemen 3 priode ini dipaksakan terus, ini tak lain adalah titipan oligarki politik,” ujar Adib kepad GenPI.co, Senin (6/9).

Bukan tanpa alasan, menurut Adib amendemen itu seharusnya melalui sebuah proses dinamika di masyarakat.

“Sebab, rakyat adalah asas tertinggi untuk amendemen ini bisa dilaksanakan. Situasi pandemi dan ekonomi lagi sulit, muncul isu amendemen 3 periode? Ini ada titipan oligarki politik,” katanya.

Oleh sebab itu, Adib menilai bahwa oligarki yang semakin haus sedang berusaha mendorong amendemen UUD 194 dan penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

“Mereka tidak punya simpati dan empati lagi soal kondisi rakyat. Jadi rakyat hanya dijadikan tameng soal dinamika kenapa amendemen perlu dilaksanakan,” tandasnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Political and Policy Public Studies (P3S) Jerry Massie juga memiliki pendapat yang sama. Oleh sebab itu, dirinya menolak adanya mengubahan konstitusi tersebut.

“Tak perlu ada amandemen untuk jabatan presiden. Saya yakin ini akan mengganggu penanganan Covid-19. Ini kepentingan politik mereka yang rakus kekuasaan,” ujarnya.

Jerry juga mempertanyakan mengapa para legislator di parlemen sangat ngotot membesarkan isu 3 periode tersebut walaupun Presiden Jokowi dan rakyat sangat menolak.

“Mau dipaksakan tak dikehendaki rakyat. Jadi presiden dan rakyat menolak, kenapa para legislator mau ngotot memajukan agenda ini?” tuturnya.

Menurut Jerry, seharusnya para anggota dewan melihat secara konstekstual terkait mana yang menjadi urgensi dan yang bukan.

“Yang paling penting, jangan bohongi publik dengan ide sesat tersebut. Kalau amanah konstitusi sudah diobok-obok, bahaya,” tandasnya. {genpi}