News  

Korban Pelecehan Seks Diajak Damai Dan Diminta Cabut Laporan Oleh 5 Terlapor Pegawai KPI Pusat

Korban pelecehan seks dan perundungan diduga oleh lima pegawai KPI Pusat mengaku dipertemukan dengan lima terlapor pada awal pekan ini. Pertemuan itu disebut membahas penyelesaian masalah dengan cara damai di antara dua belah pihak.

Korban melalui kuasa hukumnya, Rony E Hutahaean, mengatakan pelapor dituntut mencabut laporan di kepolisian oleh kelima terlapor.

“Apalagi klien kami diminta mencabut laporan polisi di Polres Jakarta Pusat. Ini kan sesuatu yang aneh. (Yang minta cabut laporan) terduga kelima pelaku, dan itu adalah mereka bertemu berdasarkan informasi klien kami,” ujar Rony saat dimintai konfirmasi, Jumat (10/9/2021).

Rony menyayangkan dan menilai janggal pertemuan tersebut. Apalagi dirinya tak dilibatkan dalam kapasitas mendampingi kliennya.

“Mestinya ini harus diletakkan dulu persoalan dengan baik dan disampaikan kalau memang ada niat perdamaian harus disampaikan ke Polres Jakpus, karena ini sudah masuk proses hukum,” jelas Rony.

“Kami tidak tahu apa sih, menjadi pertanyaan bagi kami, apa yang mendasari sehingga mereka antipati dengan kuasa hukum? Kok, mereka seakan-akan anti dengan kehadiran kami,” sambungnya.

Rony juga menduga para terlapor memanfaatkan kondisi psikis korban pelecehan seks yang labil. Dia menduga, dengan kondisi tersebut, kliennya mau menyetujui perdamaian tersebut dan tidak melanjutkan proses hukum.

“Berulang kali kami sampaikan bahwa klien kami terganggu psikologinya dan orangnya adalah labil, artinya dengan adanya kondisi klien seperti itu. Kami menduga bahwa dimanfaatkan kondisi klien kami pada saat itu,” kata Rony.

“Kami duga dimanfaatkan untuk melakukan rencana perdamaian,” lanjutnya.

Terlapor Minta Cabut Laporan

Terlapor dugaan pelecehan dan perundungan pegawai KPI mengakui adanya pertemuan dengan korban dugaan pelecehan seks, MS, pada awal pekan ini. Pertemuan itu disebut membahas perdamaian di antara kedua belah pihak.

Salah satu terlapor berinisial RM, lewat pengacaranya bernama Anton, mengatakan pertemuan itu terjadi pada Rabu (8/9). Pada intinya pertemuan itu dilakukan untuk mencapai kesepakatan damai. Anton menyebut pihak kerabat terlaporlah yang meminta perdamaian.

“Salah satu poinnya kita minta cabut LP (laporan polisi) dan (poin) kedua rehabilitasi nama-nama para terlapor yang sudah babak belur oleh netizen,” kata Anton saat dihubungi wartawan, Kamis (9/9).

Anton juga membenarkan pihaknya menyodorkan surat kesepakatan perdamaian hitam di atas putih dengan beberapa poin persyaratan. Salah satunya korban diminta mencabut laporan di Polres Metro Jakarta Pusat.

“Jadi hal yang wajar kalau misalnya kita nggak mau perpanjangan (kasus) tentu ada hitam putih dong, perdamaian. Dalam perdamaian itu, pasti ada poin-poin yang disepakati beserta permohonannya. Termasuk permohonannya, misalnya kita minta cabut LP-nya,” ujar Anton.

Syarat Perdamaian

Anton kemudian mengungkap syarat perdamaian yang diajukan oleh pihaknya, yakni permintaan maaf dari korban dan juga rehabilitasi nama serta menganulir isi rilis yang sempat tersebar luas.

“Untuk dia permohonan maaf, kemudian dia merehabilitasi nama klien saya atau menganulir rilis, dia nggak siap bahasa kasarnya gitu. Karena apa? Nanti ‘gua diserang dong sama netizen’, bahasa dia begitu,” ungkap Anton.

Dia menambahkan, pihaknya membantah adanya tekanan dari terlapor kepada MS. Anton menyebut mediasi untuk mencapai perdamaian itu berlangsung cair.

“Penekanan itu nggak ada, itu hanya negosiasi kalau kita mau berdamai. Hal yang wajar kalau klien saya minta dicabut karena klien saya dilaporkan dituduh melakukan pelecehan seksual. Klien saya minta cabut itu LP-nya, lalu minta maaf rehabilitasi namanya., hanya itu. Tapi dia keberatan,” jelasnya. {detik}