News  

Lembaga Survei Dalam Sistem Demokrasi Lontong Sayur

Perang opini melalui lembaga survei terus berlanjut. Terutama nama-nama yang dirilis belum memiliki kendaraan politik. Sebut saja, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Kedua nama ini makin melambung namanya dalam survei versi Indonesia Election and Strategic (inDEX) Research.

Sementara itu, nama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Ketua PDIP Puan Maharani justru hanya memiliki elektabilitas satu koma. Airlangga Hartarto hanya 1,5%. Lebih tragis lagi, Puan Maharani hanya mengantongi elektabilitas 1,3%. Anehnya, Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB, balihonya bertebaran dimana-mana tidak disebut sama sekali dalam survei versi inDEX Research.

Sudah bisa ditebak. Partai Golkar, PDIP dan PKB tampaknya menjadi inceran elit politik tertentu yang disebut-sebut memiliki elektabilitas tertinggi. Hasil survei sebagai pembenaran untuk mendapatkan tiket dari partai politik. Koalisi Golkar dan PKB telah memenuhi kuota presidential threshold, yaitu 24%. Sesuai aturan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu presidential threshold minimal 20%.

Dengan tingginya elektabilitas Ganjar Pranowo versi inDex Research. Harapannya, meningkatkan ‘bargaining’ untuk mendapatkan tiket dari PDIP. Walaupun Ganjar Pranowo dalam bayang-bayang mendapatkan sanksi dari PDIP. Terlepas, apakah dinamika sanksi itu murni atau hanya skenario untuk menaikkan elektabilitas PDIP dan Ganjar Pranowo. Yang jelas, Puan Maharani ‘dikorbankan’ elektabilitasnya versi banyak lembaga survei.

Untuk membuktikan angka-angka yang dirilis oleh berbagai lembaga survei benar-benar ilmiah dan independen atau pesanan perlu dilakukan audit lembaga survei. Sayangnya, belum pernah ada lembaga survei yang diaudit. Kebanyakan lembaga survei sangat tertutup.

Terutama soal bank data dan sumber pembiayaan survei. Membuat lembaga survei suka-suka hati merilis hasil survei yang dipertanyakan kebenaran dan kejujurannya.

Kecurigaan lembaga survei sebagai corong penggiringan opini dari kandidat tertentu makin menguat. Ujung-ujungnya berharap mendapat perahu politik untuk memenuhi persyaratan presidential threshold. Transaksi ‘jual beli’ partai bukan rahasia umum lagi. Publik sudah banyak mengetahuinya.

Meminjam istilah aktivis demokrasi, Chris Komari, demokrasi lontong sayur. Menurut Chris Komari, demokrasi lontong sayur itu ibarat orang Kristen yang baru masuk Islam, mualaf. Muslim tetapi menolak istilah ARAB untuk menjelaskan ajaran Islam, baik rukun Islam maupun rukun Iman. Lebih dari itu, orang yang mengaku mualaf, tetapi tidak mau mengadopsi ajaran Islam. Masih mempertahankan ideologi dan ajaran Kristen.

Demokrasi lontong-sayur. Cermin carut marut dan demokrasi palsu. Indonesia yang bangga mengklaim sebagai negara demokrasi ternyata demokrasi lontong sayur. Demokrasi dari pemodal, oleh pemodal untuk pemodal. Sedangkan PSK, Pelacur Survei Komersial makin menjamur bak cendawan di musim hujan.

Bandung, 2 Rabiul Awwal 1443/9 Oktober 2021
Tarmidzi Yusuf, Pegiat Dakwah dan Sosial