News  

Kegelisahan Itu Nyata Bukan Opini

Banyak anak negeri merasakan kegelisahan yang teramat gelisah terkait dengan kondisi Indonesia selama 7 (tujuh) tahun terakhir.

Tidaklah berlebihan bila muncul kembali desakan agar rakyat bangkit dan bergerak. Menyelamatkan Indonesia yang sedang tergadai dan terpuruk dalam segala hal.

Sebut saja misalnya upaya mengganti Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila melalui RUU HIP. Sekarang berganti nama menjadi RUU BPIP. Lucunya lagi, BPIP seolah menjadi institusi strategis yang mengkooptasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Wajar bila ada yang berpendapat politisasi riset dan inovasi atas nama Pancasila. Pancasila menurut Soekarno. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945.

Rezim juga dianggap tidak mampu membongkar bahkan terkesan melindungi kejahatan HAM yang dilakukan aparat negara terhadap enam laskar FPI. Pembantaian 6 (enam) laskar FPI yang dilakukan aparat negara dengan sangat kejam, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Yang diadili justeru polisi kroco. Aktor intelektual berbintang tak tersentuh hukum bahkan berpeluang bertambah bintang.

Dua kekuatan utama NKRI, Islam dan TNI sedang diobok-obok. Ulama, Habaib dan aktivis Islam dikriminalisasi. Imam Besar Habib Rizieq Shihab harus mendekam di penjara hanya karena mengatakan sehat. Kerumunan Petamburan dan Megamendung menyebabkan IB HRS bersama Pengurus FPI lainnya mendekam di penjara selama 8 bulan.

Lain halnya kerumunan yang dilakukan petinggi negeri. Kerumunan Pilkada. Kerumunan vaksin dan kerumunan lainnya. Tak tersentuh hukum sama sekali. Rakyat merasakan ketidakadilan semakin kasat mata.

TNI sedang menangis dan berduka. Jenderal yang memusuhi rakyat dan Islam dipromosikan. Sedangkan jenderal yang membela rakyat dan Islam dipecat dan diadili.

Hal yang berbeda dengan Kepolisian. Jabatan sipil strategis lainnya banyak dijabat oleh polisi aktif maupun purnawirawan polisi. Cita-cita reformasi tercederai dan melukai hati seluruh rakyat Indonesia. Apalagi mulai tahun 2022 hingga 2023 ada celah Kepala Daerah seperti Gubernur, Walikota dan Bupati dijabat oleh polisi aktif.

Bukan rahasia umum lagi, banyak pejabat tinggi Indonesia yang terafiliasi dengan partai terlarang, Partai Komunis Indonesia. Baik yang ada di eksekutif, parlemen, lembaga peradilan, BUMN dan Perguruan Tinggi. Konon kabarnya sudah merambah hingga RT/RW.

Indonesia bermimpi menjadi negara maju terjebak utang infrastruktur yang diklaim sebagai Proyek Strategis Nasional seperti kereta cepat Jakarta Bandung dan proyek Ibu Kota Negara baru yang menimbulkan persepsi publik bagian dari skenario Belt and Initiative Road. Ujung-ujungnya Indonesia bagian dari Indo China Raya.

Kegelisahan publik Indonesia makin menjadi-jadi pasca kedatangan TKA China komunis, mirip-mirip tentara secara besar-besaran. Diduga sebagai bagian dari strategi dan persiapan perang fisik menaklukkan Indonesia.

Belum lagi kegelisahan ummat Islam terhadap Detasemen Khusus Anti Teror atau Densus 88. Digunakan oleh segelintir elit untuk menggebuk dan memberangus ummat Islam dan kelompok kritis lainnya bertopeng terorisme, radikalisme dan ekstremisme. Rakyat menangkap kesan adanya militerisasi kepolisian.

Terakhir, kegelisahan akan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat diberangus atas nama UU Ormas, UU ITE dan Covid-19. HTI dan FPI menjadi korban keganasan rezim Islamphobia.

Kedzaliman demi kedzaliman yang terus menerus terjadi akhir-akhir ini, tidak terlepas dari euforia reformasi. Kudeta terhadap konstitusi Republik Indonesia oleh MPR periode 1999 – 2004 yang mengatasnamakan reformasi.

Sebagaimana kita ketahui sejak tahun 2002 berlaku UUD 1945 Palsu, yaitu UUD 2002. Euforia reformasi telah disalahgunakan dengan mengkudeta UUD 1945 Asli.

Bandung, 14 Rabiul Awwal 1443/21 Oktober 2021
Tarmidzi Yusuf, Pegiat Dakwah dan Sosial