News  

3 Pekan Banjir Rendam 35 Ribu Rumah Di Sintang Tak Juga Surut, Potret Kegagapan Urus Bencana

Banjir yang melanda Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat tak kunjung surut. Banjir tersebut diketahui sudah merendam permukiman warga selama tiga pekan terhitung sampai hari ini, Jumat (12/11). Ketinggian air bervariasi, bahkan ada sejumlah kawasan yang terendam banjir hingga 2-3 meter.

Bencana air bah yang merendam 12 kecamatan itu mengakibatkan setidaknya tiga warga meninggal dunia. Kurang lebih 35 ribu unit rumah terendam banjir, akses internet mati, sejumlah kawasan terputus dari akses listrik, hingga fasilitas umum seperti jembatan mengalami kerusakan berat.

Banyak masyarakat kemudian mempertanyakan bentuk intervensi pemerintah dalam mengatasi banjir lantaran tiga pekan bukanlah masa yang singkat, banyak kerugian warga di sana.

Masyarakat setempat juga mengeluhkan minimnya bantuan yang mereka terima, adapun banjir menyebabkan banyak warga terserang diare dan gatal-gatal.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru mengirim bantuan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp1,5 miliar guna percepatan penanganan banjir yang melanda di empat Kabupaten di Kalimantan Barat.

Adapun rinciannya adalah Rp500 juta guna mendukung penanganan banjir di Kabupaten Sintang, Rp500 juta diberikan kepada Kabupaten Malawi, Rp250 juta untuk Kabupaten Sekadau dan Rp250 juta untuk Kabupaten Sanggau.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah daerah (Pemda) Sintang sangat belum siap menangani bencana alam, sementara pemerintah pusat juga terkesan lambat dalam memberi bantuan bencana alam di daerah.

Lagu Lama Pemerintah Salahkan Hujan Penyebab Bencana Banjir
Padahal menurutnya Undang-undang RI Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah jelas mengatur kewenangan Pemda dan pusat dengan segala intervensinya, serta upaya antisipasi serta mitigasi bencana alam di Tanah Air.

“Kita memang selalu belum siap, artinya lambat ya karena harusnya ini kan ada 12 kecamatan yang masih tenggelam itu seharusnya tertanganinya harus dengan cepat. Kita tidak siaga, padahal di dalam UU 24 Tahun 2007 itu kan ada kesiapsiagaan. Pemda kurang merespons itu, pada akhirnya korban berjatuhan baru bantuan datang,” kata Trubus, Jumat (12/11).

Trubus kemudian melihat fenomena banjir Sintang dari dua sisi. Pertama, bagaimana Pemda Sintang masih pasif menangani daerahnya sendiri, dan yang kedua pemerintah pusat yang seakan melempar tanggung jawab hanya di Pemda.

Pemda yang sejatinya mengetahui karakteristik wilayahnya sendiri menurut Trubus tidak proaktif dengan kebijakannya. Pemda seharusnya sudah wajib mengerahkan segala upaya untuk segera membuat banjir surut, sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat.

“Pemda yang inkonsisten dalam kebijakannya, jadi itu kan masalah political will ya memang. Di daerah itu biasanya alasan kendala anggaran sedikit lah, SDM tidak memadai, itu selalu menjadi alasan klasik,” jelasnya.

Sementara pemerintah pusat menurut Trubus juga terkesan lambat dalam merespons bencana daerah ini. Padahal banjir di Kabupaten Sintang sudah ditetapkan sebagai darurat bencana per 13 Oktober hingga 16 November 2021.

Adapun menurut UU 20 Tahun 2007, status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.

Dalam Pasal 50 dijabarkan, dalam hal status keadaan darurat bencana,BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai kemudahan akses yang meliputi pengerahan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik.

Kemudian imigrasi, cukai, dan karantina; perizinan; pengadaan barang atau jasa; pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan atau barang; penyelamatan; dan komando untuk memerintahkan sektor atau lembaga.

“Jelas ya kalau sudah status darurat pemerintah pusat bisa intervensi. Jadi menurut saya ini seperti lempar tanggung jawab saja, tapi persoalannya banjirnya sendiri tidak tertangani karena mereka saling tunggu-menunggu atau saling lempar tanggung jawabnya,” ujar Trubus.

Trubus menyebut, dengan penetapan status itu maka pemerintah pusat lebih bisa memberikan banyak intervensi melalui penyaluran bantuan-bantuan sosial dari banyak pihak.

Trubus mendorong upaya itu dimasifkan lantaran ia khawatir bencana susulan terjadi kembali dan biasanya menurutnya bisa lebih parah level bencananya.

Trubus meminta lemahnya penanganan bencana belakangan ini dapat dijadikan evaluasi. Termasuk sinergi Pemda dan pemerintah pusat terkait komunikasi publik di masa bencana. Dia menyoroti silang pendapat pemerintah ihwal banjir Sintang.

Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji sebelumnya mengakui bahwa deforestasi dan pertambangan adalah penyebab bencana banjir yang menerjang beberapa wilayahnya belakangan ini, termasuk Sintang.

Di sisi lain, Kepala BNPB Ganip Warsito menyebut banjir Sintang disebabkan faktor cuaca, dalam hal ini curah hujan yang tinggi. BNPB beranggapan bahwa intensitas hujan yang tinggi menyebabkan air di wilayah hulu Sungai Kapuas meluap, sehingga kemudian terjadi banjir.

“Itu menurut saya komunikasi yang buruk, dimana kemudian masing-masing membuat asumsi, argumentasi, yang sebenarnya membingungkan publik. Namun masalah banjirnya malah tidak tertangani,” kata dia.

Untuk itu, Trubus berpesan Pemda dan pemerintah pusat tidak perlu saling tunggu menunggu dan lempar tanggung jawab dalam menangani bencana di Indonesia.

Menurutnya yang paling penting adalah siapa bisa menanggulangi bencana dan meringankan beban masyarakat dengan cepat, itu yang paling baik untuk dilakukan kedepannya.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menampik anggapan bahwa pemerintah pusat dan pemda saling lempar tanggung jawab dalam persoalan menangani bencana khususnya banjir di Sintang.

Ia menjelaskan segala kewenangan dan kebijakan sudah diatur dalam UU. Adapun keputusan penetapan status darurat bencana menurutnya merupakan kewenangan pemda sepenuhnya dan dilakukan secara bertahap, berjenjang, dan bertingkat.

Namun demikian, Abdul mengklaim bahwa pemerintah pusat melalui BNPB akan tetap hadir memberikan sokongan terhadap daerah yang dilanda bencana, kendati pemda belum menetapkan status darurat bencana misalnya.

Abdul menggarisbawahi, penetapan status darurat tersebut dilakukan apabila memang pemda merasa tidak sanggup menangani bencana secara mandiri, sehingga membutuhkan intervensi dan bantuan dari pemerintah pusat.

“Sehingga tidak semua kejadian bencana BNPB harus sudah berbuat apa. Kalau begitu nanti kita mengkerdilkan pemda jadinya, jadi yang harus optimal dulu kita fungsikan adalah pemda,” kata Abdul kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/11).

Abdul sekaligus menjelaskan, bahwa pemda memang bertanggung jawab terhadap bencana yang terjadi di wilayahnya sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota.

Seiring dengan banjir Sintang yang sudah ditetapkan dengan status darat hingga 16 November nanti, maka BNPB dalam hal ini mewakili pemerintah pusat, menurut Abdul akan memberikan sokongan semaksimal mungkin sesuai yang diminta oleh pemda.

“Di sini tidak bisa sebenarnya pemda mengatakan tidak siap, karena itu bagian dari standar pelayanan minimum yang harus mereka sediakan, peran BNPB adalah mendukung,” jelasnya.

Abdul juga menyebut, pihaknya baru mendapat laporan luapan banjir masih menggenang di Sintang pada awal November ini. Ia menampik bahwa pemerintah pusat yang baru mengirim bantuan seolah abai dengan bencana alam di Sintang.

Abdul mengaku, pada awalnya ia menerima laporan dari BPBD Sintang bahwa banjir terjadi pada awal hingga pertengahan Oktober 2021, BNPB juga sudah menerjunkan tim untuk menangani banjir akibat luapan sungai Kapuas.

Setelah itu, pemda setempat tidak memberikan perkembangan lanjutan sehingga menurut BNPB banjir sudah dapat ditangani.

Namun ternyata pada awal November 2021, BPBD Sintang kembali melaporkan bahwa banjir masih mengenangi ribuan rumah warga dengan ketinggian yang bervariatif hingga mencapai 2-3 meter itu.

“Kita di BNPB dapat update banjir lagi itu di awal November. Awalnya, asumsi kita itu kalau tidak update kondisi lagi itu berarti tidak berkembang banjirnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Abdul juga menyebut bahwa penanganan bencana di Indonesia merupakan kolaborasi antar banyak kementerian dan lembaga.

Ia menjelaskan, bencana di Sintang ini perlu banyak sinergi, seperti misalnya perlu sokongan dari Kementerian PUPR untuk perbaikan dan pengoptimalan tanggul di sungai Kapuas yang menjadi faktor penyebab banjir di Sintang.

Abdul melanjutkan banjir di Sintang disebabkan karena intensitas hujan tinggi yang menyebabkan debit air di sungai Kapuas tinggi, sementara daya tampungnya berkurang. Sehingga kemudian meluap dan merendam rumah warga yang berada di sekitar bantaran sungai Kapuas.

Ia juga menyebut, bencana banjir di Kalimantan Barat ini memang dapat terus berulang.

Ditambah pada November hingga Februari sebagian besar wilayah di Tanah Air mengalami fenomena La Nina yang dapat memicu terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan dari 20 persen hingga 70 persen.

“Untuk itu, kita harus kerja keras membenahi di hulu supaya serapan air optimal, dan kemudian secara bertahap mungkin untuk yang menuju puncak musim hujan yang disertai La Nina, tanggul-tanggul sungai daerah luapan air itu ditutup dulu,” kata dia.

Pada akhirnya, bencana yang diakibatkan faktor alam yang mutlak terjadi ini menurut Abdul harus bisa dijadikan pembelajaran seluruh pihak agar lebih bersinergi. Ia juga mewanti-wanti kepada seluruh pemda untuk selalu berkomunikasi dengan pemerintah pusat.

Adapun untuk penanganan bencana banjir di Sintang saat ini, ia mengatakan bahwa seluruh pihak sudah berupaya sebaik mungkin baik di pemerintah pusat maupun pemda.

“Ini kenapa kita membutuhkan informasi dari pemda, mereka mengkalkulasi mana yang bisa ditangani baik secara kelengkapan personil dan sebagainya, kemudian mana yang tidak bisa, disitu pemerintah pusat maju,” ujar Abdul. {cnn}