News  

Muktamar NU: Dari Gegeran Ke Ger-Geran

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA

Muktamar NU yang dimulai dengan gejolak diprediksi berakhir dengan “happy ending”. Tidak mungkin figur-figur kyai besar seperti calon-calon terkuat, misalnya Kyai Said dan Gus Yahya, memberikan teladan buruk, misal mengesankan pada publik ambisi harus tercapai, apapun risikonya.

Mustahil asumsi publik bahwa kyai-kyai dan ormas NU sudah kehilangan marwah mereka, terafirmasi.

Keyakinan kita bahwa polemik dan dinamika jelang Muktamar akan berakhir “happy ending”, salah satunya, terinspirasi dari status FB Cak Imin “Muktamar NU serunya, biasanya dari gegeran ke ger-geran.

Wait and see, sambil ngopi ” dan tulisan Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi (Khadim Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang sekaligus Wakil Ketua PWNU Jawa Timur) berjudul “Dinamika Muktamar Para Kiai”.

Yang jelas memberikan sinyal bahwa Jam’iyyah Nahdlatul Ulama memiliki tradisi kuat mengolah perbedaan, mengubah gegeran (konflik) menjadi ger-geran (canda tawa bersama).

Mengapa bisa begitu? Ada banyak alasan. Pertama, tradisi ger-geran (canda) ini bukan semata tradisi, tetapi juga masih terbukti efektif menjadi bagian metode berdakwah.

Bisa dilihat dari kyai-kyai NU saat berdakwah, baik di tengah masyarakat maupun di atas panggung. Kadang bagi orang yang tidak paham, kontens keagamaan yang disampaikan jauh lebih sedikit dari guyonan dan hiburannya.

Tradisi dan metode berdakwah yang bahagia macam ini tumbuh subur di Nusantara, khususnya di kalangan Kyai NU.

Tradisi ger-geran ini menggambarkan tentang bagaimana menjalani hidup, sekaligus menerjemahkan spirit agama bahwa “hidup hanyalah permainan dan denda gurau”. Karena hidup hanya Senda Gurau maka tidak perlu ada yang betul-betul perlu dimasukkan ke hati.

Karena itu pula, seperti catatan KH. Ahmad Fahrur Rozi, pada setiap pagelaran muktamar pasti ada Gegeran, tetapi selalu berujung ger-geran, rujuk dan ishlah; misalnya Abul Hasan rujuk dengan Gus Dur (1994); Hasyim Muzadi rujuk dengan Gus Dur (2004); kubu Gus Solah ishlah dengan kubu Kyai Sa’id (2015).

Kedua, ger-geran ini bukan saja warisan tradisi yang sudah mendarah daging sejak masa silam, tetapi lebih sebagai kebutuhan di masa depan. Bangsa kita hari ini sudah sangat pintar, kaya informasi, kritis dalam analisa mereka. Intinya, generasi milenial kita adalah generasi yang berpengetahuan luas.

Tetapi, bukankah kita semua sudah tahu, makhluk Tuhan paling berilmu tinggi itu bukan manusia, melainkan iblis?

Bukankah manusia pertama Adam as dimuliakan Allah, bahkan malaikat disuruh bersujud padanya, adalah karena ketakwaan, bukan ilmu? Dan ketika ketakwaan itu sempat hilang, Adam terusir dari surga?

Dalam atmosfer kontemporer, di mana generasi mudanya mendambakan keteladanan, maka gegeran terus-menerus tanpa ger-geran adalah membuat mereka jengah. Belakangan di media massa tersebar artikel-artikel yang mengatasnamakan Forum Muda Nahdliyyin Indonesia (FMNI).

Kalau risalah-risalah yang diterbitkannya kita baca dengan serius, maka kesan pertama yang muncul di hati kita adalah kemunculan generasi baru Nahdliyyin, anak-anak muda Nahdliyyin, yang jengah melihat perilaku senior-senior mereka di NU.

Para anak muda ini mengusulkan agar ada ishlah, musyawarah dan mengedepankan kepentingan marwah organisasi.

Tentu saja, beberapa kyai yang lebih senior merasa tersinggung dengan beberapa kalimat yang dibuat oleh FMNI, karena aspek senioritas mereka merasa tersentil, tersinggung, dan berpikir kenapa tiba-tiba anak-anak muda ini “lancang” dan berani memberikan masukan-masukan dan saran pada yang senior.

Persoalan ini tentu saja sama-sama benar dari dua sisi. Kemunculan kritik-kritik FMNI adalah konsekuensi langsung dari Gegeran Jelang Muktamar 34 ini. Jika kaum muda menngkritik keras maka tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, Gegeran tanpa Ger-geran memang membosankan.

Ger-geran bukan lagi tradisi, tetapi kebutuhan yang niscaya. Para calon terkuat yang sudah terbaca oleh publik sebagai orang yang penuh ambisi kekuasaan, mereka boleh terus gegeran sampai muktamar 34 ini berjalan.

Tetapi, paca calon ketua umum (caketum) ini juga harus memikirkan cara ger-geran, agar dinamika internal ini berakhir “happy ending”. Jika para caketum ini tidak mampu mencari cara dan solusi untuk “happy ending”, tentu saja akan gelisah.

Bagaimana tidak gelisah, sementara di sisi lain, kita semua sangat kagum pada kedewasaan para elite politisi, yang mampu mendamaikan Jokowi dan Prabowo pasca Pilpres 2019. Jika politisi saja bisa ishlah dan rujuk, kenapa Kyai NU tidak?!

Untuk itulah, generasi muda Nahdliyyin tidak perlu terlalu gelisah, melihat kyai-kyai senior sedang gegeran, karena nanti di akhir cerita mereka pasti akan ger-geran.

Tetapi, walaupun akhir cerita bisa ditebak, proses perjalanan cerita ini tetap harus kita tulis bersama. Jika ada kiyai senior memang tidak ideal di mata subjektivitas kaum muda, maka kritiklah saja. Karena yang baik menurut senior adalah juga subjektivitas senioritas.

Dinamika dan dialektika semacam itu sudah biasa, sebagai bagian dari hukum gerak sejarah. Sejarah kehidupan manusia dibangun di atas tesis, anti-tesis, dan hipotesis. Jadi, kritik dari kaum muda, walau memang tampak terlalu pedas, tetap bermakna.

Alhasil, semua gegeran yang berkembang semakin meruncing belakangan ini adalah hal lazim. Kyai-kyai NU paham bahwa dunia ini hanyalah permainan (la’ibun) dan senda gurau (lahwun).

Tetapi, adakah sebuah permainan yang tidak dijalani secara serius? Bukankah permainan-permainan seperti bulu tangkis, sepak bola, dan lainnya, semua itu permainan yang dijalani dengan serius?

Hal yang sama dalam hal perebutan jabatan ketua umum PBNU ini. Para pemain selama mereka di lapangan memang harus dan wajib serius dalam bermain. Bahkan seolah-olah menempatkan lawan sebagai musuh sesungguhnya yang harus ditaklukkan.

Setelah time over dan permainan selesai, para kontestan akan saling berangkulan, berjabat tangan dan tukar menukar jersey. Inilah alasan mengapa setiap selesai muktamar, selalu ada rujuk dan ishlah antar kubu.

Hari ini kita tidak sedang memandang mana yang terbaik, apakah Muktamar 34 ini harus dimajukan atau diundurkan. Dua opsi tersebut dan seluruh logika argumentasi di baliknya hanyalah taktik dan strategi masing-masing kontestan.

Masing-masing argumentasi dari yang pro-penundaan dan pro-pemajuan sama-sama masuk di akal. Jika ada ledakan tabrakan yang membahana, hal itu tidak sampai merusak marwah organisasi.

Kita tahu MMA dan Boxing, dua jenis olahraga, saat itu kekerasan tidak merusak marwah dua cabang olahraga tersebut. Tetapi, jika kekerasan antar kontestan terjadi di cabang olahraga lain seperti bulu tangkis, catur, dan lainnya yang menuntut kesunyian barulah akan merusak marwah organisasi.

Pertanyaan: perebutan kursi kekuasaan, adakah yang tidak melibatkan gegeran? Sepanjang sejarah tidak ada kisah proses transisi kekuasaan yang berjalan mulus.

Misalnya, tahun 2015, Muktamar NU memang kalah bagus dari Muktamar Muhammadiyah. NU dinilai Ricuh, dan Muhammadiyah dinilai teduh. Itu benar.

Tetapi, apakah Muktamar Muhammadiyah sepenuhnya teduh? Tentu tidak. Ahmad Syafii Maarif (2000) dan Azyumardi Azra (1999) mencatat sejarah Muktamar Muhammadiyah, yang dipenuhi konflik kekanak-kanakan, dan dilanda konflik kepemimpinan. Artinya, suksesi kekuasaan pasti diwarnai konflik. Itu lazim.

Alhasil, konflik atau gegeran adalah hukum alam yang melekat pada setiap tahap transisi kekuasaan. Gesekan keras dan tajam bukan perkara substansial yang perlu menyita perhatian penuh kita semua.

Yang paling penting adalah kesadaran komprehensif kita bahwa jika kita siap berkonflik maka kita juga harus menyiapkan mental untuk rujuk, ishlah, berdamai.

Jika kita mau sedikit bermain gegeran, kita juga siapkan langkah untuk ger-geran. Ini tingkat kedewasaan yang kita harapkan bersama. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; {tribun}