News  

Rugikan Negara Nyaris Rp.1 Triliun, Kejagung Usut Korupsi Proyek Satelit Kemhan

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut dugaan pelanggaran hukum di balik proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur yang ada di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015. Kasus korupsi tersebut disebut merugikan negara hampir Rp 1 triliun.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, pihaknya sudah memantau permasalahan tersebut sejak lama.

Sejak beberapa tahun terakhir kejaksaan sudah mendalaminya. Bahkan, permasalahan tersebut sudah masuk tahap penyelidikan. Menurut Burhanuddin, gelar perkara akan dilakukan dalam waktu dekat.

“Beberapa bulan bahkan beberapa tahun kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini dan sekarang sudah hampir mengerucut.

Insyaallah dalam waktu dekat kami akan naik penyidikan. Insyaallah dalam satu-dua hari kami akan tindak lanjuti ini. Memang dari hasil penyelidikan cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan,” kata Burhanuddin dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis (13/1).

Namun, Burhanuddin belum menyampaikan siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut. Menurutnya, dari Kejaksaan Agung masih melakukan pendalaman.

“Ini masih pendalaman. Artinya kami belum menentukan penyidikan ya, baru akan kami tentukan dalam satu-dua hari.

Pasti kerugian kami sudah kami lakukan pendalaman, tetapi finalnya nanti ada di BPK dan BPKP. Kami belum bisa sebutkan,” ujarnya.

Di kesempatan itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md, mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran hukum berupa penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 lalu itu. Buntut urusan itu membuat negara rugi sekitar Rp800 miliar.

“Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia sudah kontrak,” kata Mahfud.

Mahfud menyebut tanggung jawab ada di tangan pembuat kontrak.

“Yang bertanggung jawab yang membuat kontrak itu, karena belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara-cara itu, apalagi itu sudah terjadi, sudah agak lama, 2011 sudah muncul tentang ini menurut BPKP,” ujarnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu kemudian menjelaskan duduk perkara masalah ini. Menurutnya, pada 19 Januari 2015 lalu Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur(BT).

Sehingga hal itu terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit.

Bila tak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Guna mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit itu, Mahfud menjelaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit.

Hal itu untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

“Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited, pada tanggal 6 Desember 2015,” kata dia.

Meski persetujuan penggunaan dari Kemkominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016, Mahfud mengatakan Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit itu kepada Kemkominfo.

Lalu, pada tanggal 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT. Dini Nusa Kusuma (PT. DNK).

“Namun PT. DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan,” kata Mahfud.

Mahfud juga mengatakan Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan membangun Satkomhan ketika melakukan kontrak dengan Avanti Tahun 2015.

Di sisi lain, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan pihak Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu Tahun 2015-2016 yang anggarannya dalam Tahun 2015 juga belum tersedia.

“Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan,” ucap dia.

Merespons hal itu, Mahfud menjelaskan pihak Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration. Pasalnya, Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

“Lalu, pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat Negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp515 Miliar,” kata Mahfud.

Tak hanya itu, Mahfud mengatakan pihak Navayo telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance.

Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Melihat hal itu, Mahfud mengatakan pihak Navayo mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemhan

Namun pemerintah menolak untuk membayar. Sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

“Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo,” kata dia.

“Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” tambah Mahfud.

Melihat hal demikian, Mahfud mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus dugaan penyelewengan kewenangan di proyek satelit Kemhan itu diusut tuntas.

“Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” ucap dia. {tribun}