News  

Siap-Siap! Tarif Listrik Non Subsidi Bakal Naik Bulan Juli 2022

Pemerintah mengungkapkan akan menyesuaikan atau menaikkan tarif listrik untuk pelanggan non subsidi (tariff adjustment) paling cepat pada kuartal III-2022 atau bisa dimulai pada Juli 2022.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menjelaskan, penyesuaian tarif listrik pelanggan non subsidi tidak pernah terjadi sejak 2017.

Oleh karena itu, automatic tariff adjustment (Atta) atau penyesuaian tarif listrik di tahun ini akan ditinjau dalam kurun waktu maksimal enam bulan, sesuai dengan kesepakatan dengan Badan Anggaran DPR RI. Penyesuaian tarif pun, kata Rida, akan bersifat situasional tergantung faktor lainnya.

“Kalau perekonomian dan pandemi mereda dan pulih, dan dalam kesempatan membangun energi, ini akan lebih baik, ini bersifat situasional,” ungkapnya dalam konferensi pers Selasa (18/1/2022).

Dia menegaskan, untuk kuartal I 2022 ini pemerintah masih belum melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi.

Begitu juga dengan kuartal II, dengan melihat makin merebaknya kasus Covid-19 terutama adanya varian Omicron, maka menurutnya kemungkinan pemerintah juga tidak akan melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi hingga Juni 2022 mendatang.

Menurutnya, kenaikan tarif listrik non subsidi juga akan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro, sehingga inflasi atau daya beli masyarakat tetap terjaga.

“Triwulan I nggak dinaikkan dan triwulan II, III, dan IV belum ditentukan. Dengan adanya Omicron, kemungkinan triwulan II nggak, tapi mungkin akan dipertimbangkan di triwulan III dan IV. Di saat harga minyak goreng, harga LPG stabil. Jangan semuanya naik, nanti inflasi nggak terkontrol,” jelasnya.

Kenaikan tarif listrik non subsidi ini menurutnya juga akan selalu dikoordinasikan dengan beberapa kementerian terkait, seperti Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), dan Kementerian Keuangan.

Pembahasan mengenai tarif listrik non subsidi ini juga masih terus bergulir dan terus menjadi perhatian para anggota Kabinet Indonesia Maju.

“Itu sedang berjalan, agar ini tetap menjaga perekonomian positif dan menjaga iklim investasi kondusif,” tuturnya.

Dia mengatakan, sektor industri juga sangat bergantung pada harga listrik. Kalau harga listrik mahal dan tidak kompetitif, investasi di Indonesia bisa tidak lagi menarik.

“Kalau tidak kompetitif, investornya bisa minggat. Oleh karena itu, banyak pertimbangan untuk kenaikan tarif listrik non subsidi ini dan secara sistem akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian,” tuturnya.

Dia mengungkapkan, ditahannya tarif listrik non subsidi ini membebani APBN sebesar Rp 25 triliun per tahun.

“Kita nggak tahu ke depannya, tapi mudah-mudahan ke depan makin membaik dan kalau daya beli masyarakat, daya saing industri makin kompetitif, kenapa juga harus menahan Atta (Automatic Tariff Adjustment), itu kan membebankan APBN Rp 25 triliun setiap tahun.

Dan pada saat yang sama, saya dengar beberapa harga juga naik, inflasinya bisa dibayangkan seperti apa kalau tarif listrik juga ikutan naik,” paparnya.

Sebelumnya, Rida menjelaskan, saat ini PLN memiliki 38 golongan pelanggan. Sebanyak 25 golongan mendapatkan subsidi dan 13 golongan atau 41 juta pelanggan tidak mendapatkan subsidi.

Sebanyak 13 golongan pelanggan non subsidi inilah yang selama ini tarif listriknya tidak diubah pemerintah, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) saat terjadi perubahan kurs, ICP, dan inflasi.

Oleh karenanya, dengan skema tariff adjustment ini, kenaikan tarif listrik diperkirakan mulai naik dari Rp 18 ribu hingga Rp 101 ribu per bulan sesuai dengan golongan.

“Kalau diubah, itu naiknya Rp 18 ribu per bulan (900 VA), 1.300 VA naiknya Rp 10.800 per bulan. Lalu, kemudian yang R2 (2.200 VA) itu mungkin naiknya Rp 31 ribu per bulan. R3 (3.300 VA) naiknya Rp 101 ribu per bulan. Nah seterusnya,” tutur Rida dalam Rapat Kerja di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Rabu (7/4/2021). {cnbc}