News  

Terungkap! Ternyata Ada Andil Pemerintah Di Balik Lonjakan Harga Minyak Goreng

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga minyak goreng naik 34 persen sejak Desember 2020 hingga Desember 2021. Di akhir tahun lalu, harga minyak goreng mencapai kisaran Rp 20.000 per liter.

Jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat itu, yakni Rp 11.500 per liter.

Ternyata ada andil pemerintah di balik lonjakan harga minyak goreng saat ini. Hal itu diakui oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan. Oke menyebut, ada kebijakan pemerintah yang membuat harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melesat di pasar global.

“Ini adalah anomali akibat pandemi, akibat kelakuan pemerintah Indonesia yang menjadikan harga CPO tinggi, yang dianggap jadi berkah dan dijadikan sebagai kontributor terhadap perdagangan internasional kita,” kata Oke Nurwan pada acara Diskusi Publik INDEF: Minyak Goreng Naik, Subsidi atau DMO-DPO, Kamis (3/1).

Oke juga mengaku pemerintah selama ini terlalu melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Sehingga minyak goreng naik karena mengikuti harga CPO. Harga CPO menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah di level 5.828 RM (Ringgit Malaysia) per ton pada 28 Januari 2022 lalu.

Sebagai pembanding ekor sebelumnya adalah RM 4.000 per ton pada 2008 alias 14 tahun lalu.

“Pemerintah melihat saat ini ada yang tidak benar, dan kami mengakui ternyata minyak goreng kita ada sistem di kebijakan kita yang terlalu melepas mekanisme perdagangan, intervensi pemerintahnya. Di mana harga minyak goreng dalam negeri dibiarkan ketergantungan ke harga CPO internasional,” ungkap Oke.

Untuk meredam gejolak harga minyak goreng, Kemendag menetapkan DMO (domestic market obligation) dan domestic price obligation (DPO) kepada produsen CPO dan turunannya.

Kemendag juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter yang mulai berlaku 1 Februari 2022. Tapi persoalan harga minyak goreng masih belum teratasi.

Faisal Basri Beberkan Kebijakan Pemerintah yang Bikin Harga Minyak Goreng Meroket

Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan, walaupun harga sawit dunia melesat, volume ekspor CPO dan turunannya hanya naik sangat tipis dari 34,0 juta ton tahun 2020 menjadi 34,2 juta ton tahun 2021.

Kenaikan sangat tipis volume ekspor walaupun terjadi lonjakan harga, beriringan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton tahun 2020 menjadi 46,89 juta ton tahun 2021.

Mengapa harga minyak goreng melonjak padahal produksi dan ekspor CPO – yang menjadi bahan baku utama minyak goreng – hanya berubah sangat tipis? Ditambah lagi, permintaan minyak goreng tidak mengalami lonjakan.

Dikutip dari blog Faisal Basri (faisalbasri.com), ada satu faktor terpenting yang lepas dari perhatian pemerintah dan diskusi publik, yakni pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri.

Di masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng).

Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam minyak biosolar).

Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen. Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton tahun 2019 menjadi 8,42 juta ton tahun 2020.

“Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut tahun 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan tahun 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada tahun 2019 masih sekitar 37 persen. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan,” papar Faisal Basri.

Faisal menambahkan, tentu saja pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.

“Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu. Hingga kini sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS,” tuturnya.

Itu lah dilema antara CPO untuk ‘perut’ dan CPO untuk energi. “Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk ‘perut’ dan CPO untuk energi,” Faisal Basri menyimpulkan. {kumparan}