News  

Curiga Ada Praktik Pencucian Uang di Balik Bisnis Crazy Rich Dadakan Milenial Indonesia

Fenomena crazy rich ‘milenial’ di Indonesia semakin seru diperbincangkan. Bagaimana tidak. Dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penipuan investasi opsi biner alias binary option. Mereka adalah Indra Kenz dan Doni Salmanan.

Keduanya kerap memamerkan kekayaan di media sosial sebelum menjadi tersangka dugaan penipuan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Di luar itu, masih banyak lagi crazy rich Indonesia yang gemar pamer harta. Sebut saja pasangan suami istri Gilang Widya Pramana dan Shandy Purnamasari.

Lalu, Maharani Kemala. Shandy dan Maharani adalah pendiri MS Glow. Sementara, Gilang yang sering disebut Juragan 99 juga memiliki beberapa bisnis, mulai dari perusahaan jasa transportasi darat hingga menjadi Presiden Arema FC.

Selanjutnya, ada pula Rudy Salim yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat. Ia terkenal sukses sebagai pengusaha jual mobil mewah dan bekerja sama dengan artis Raffi Ahmad untuk mengakuisisi Cilegon United FC menjadi Rans Cilegon FC.

Menariknya, crazy rich ini kebanyakan anak kemarin sore alias masih muda. Rata-rata usia mereka di rentang 23 tahun-34 tahun.

Fenomena ini yang membuat sebagian pihak curiga. Masyarakat melihat mereka seakan-akan kaya mendadak dan terkenal bak sultan saat ini.

Peneliti Indef Mirah Midadan curiga ada praktik pencucian uang dalam bisnis crazy rich milenial. Pasalnya, mereka seakan menjadi orang tajir melintir dalam waktu singkat.

“Kecurigaan (tindakan pencucian uang oleh crazy rich) ada. Sebelum ada kasus penangkapan dua orang ini sudah diskusi dengan senior-senior, kami bilangnya ada orang nitip duit,” ungkap Mirah kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/3).

Memang, tak ada jangka waktu pasti atau ideal berapa lama seseorang berbisnis bisa menjadi crazy rich. Namun, Mirah menilai 5 tahun-10 tahun adalah waktu yang sangat singkat.

“Pejabat kalau korupsi saja itu tidak bisa dilakukan dalam waktu 1 tahun-2 tahun, dikit-dikit dikumpulin jadi banyak,” ujar Mirah.

Apalagi membangun usaha sendiri. Mirah sangsi berbisnis bisa memutar uang dengan cepat. Pasalnya dalam bisnis ada proses pemasaran dan naik turun penjualan.

“Apakah dalam satu bisnis bisa putar uang secepat itu, walaupun menggunakan influencer, memang penjualan bisa meningkat, tapi tidak secepat itu juga,” terang Mirah.

Terlebih, Mirah mengatakan crazy rich ini tak pernah memperlihatkan risiko dari usaha yang dijalankan. Padahal, dalam berbisnis, risiko pasti ada.

“Tren bisnis yang dilakukan crazy rich hanya mendapatkan keuntungan besar, tapi tidak diikuti risiko besar. Belum pernah dengar ada risiko yang ikut dalam bisnis itu,” ungkap Mirah.

Jika benar crazy rich ini menjadi bagian dari kejahatan pencucian uang, Mirah merasa miris. Pasalnya, para crazy rich itu ternyata tak sepenuhnya sadar kalau sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

“Mereka (crazy rich) bisa jadi tidak tahu apa-apa, mereka tidak tahu kalau dijadikan boneka,” tegas Mirah.

Meski begitu, kecurigaan pencucian uang di balik crazy rich Indonesia harus dibuktikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“PPATK yang punya akses untuk melacak,” imbuh Mirah.

Selain itu, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga bisa mengecek potensi pencucian uang di masyarakat. Mirah mengatakan DJP dapat melihat total pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkan oleh wajib pajak (WP) badan, kemudian diukur dengan gaya hidup pemilik dari perusahaan tersebut.

“Dari PPh bisa lihat keuntungan perusahaan. Kalau PPh kecil, pendapatan perusahaan tidak sebesar gaya hidup mereka, itu aneh. Pokoknya bisa dihitung dari PPh,” jelas Mirah.

Senada, Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menilai banyak anak muda yang menerima titipan uang dan tidak mengetahui secara pasti sumber dana tersebut.

“Yang saya lihat saat ini banyak anak muda terima titipan uang secara lugu dan mereka ignorant terkait sumber nya. Jangan lupa uang-uang ilegal sedang mencari pelabuhan,” ucap Rhenald.

Menurut Rhenald, setidaknya butuh waktu 15 tahun-20 tahun untuk bisa mengkonsumsi hal-hal yang seringkali dipamerkan oleh crazy rich. Hal ini dengan asumsi berbisnis dari nol dan tanpa hak istimewa (privilege).

“Yang dipamerkan adalah yang disebut personal goods, yang melekat pada fisik manusia, yakni pakaian, aksesoris, tas, transportasi, seperti kendaraan sampai pesawat, rumah,” papar Rhenald.

Meski begitu, ia mengatakan kasus setiap crazy rich berbeda-beda. Ia mencontohkan Rudy.

Menurut dia, Rudy memang pandai berjualan mobil mewah. Bisnisnya jelas dan pintar bergaul dengan artis atau orang-orang yang suka pamer harta.

“Jadi ini (Rudy jadi crazy rich) banyak wajarnya, karena barangnya riil, dan tidak konsumtif. Yang lain harus dilihat kasus per kasus. Saya tidak bisa sebutkan satu-satu,” jelas Rhenald.

Rhenald menjelaskan kecurigaan soal tindakan pencucian di balik kekayaan crazy rich milenial ini harus dijawab oleh PPATK.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengaku pihaknya terus memantau aliran dana dari crazy rich Indonesia. Namun, ia tak menyebut pasti siapa saja yang sedang dipantau secara khusus. “Iya (pemantauan) akan berkembang terus,” ujar Ivan.

Menurut Ivan, pantauan aliran dana crazy rich masih diproses oleh analis PPATK. Ia masih belum bisa membeberkan hasil dari pantauan sementara.

Jika memang ada indikasi pencucian uang oleh crazy rich, maka PPATK akan melapor ke kepolisian untuk ditindaklanjuti. “Hasil analisis diserahkan ke kapolri atau Bareskrim,” pungkas Ivan. {cnn}